Suatu telaah kritis tulisan Ricklefs dalam bukunya (terjemahan)
yang berjudul “Sejarah Indonesia Modern 1200-2008”
Oleh: Suhadi Rembang[1]
Tulisan yang dimuat pada halaman 327 hingga halaman 351, terlihat jelas bahwa politik etis[2] yang didedahkan dari buah pikir para akademisi Belanda sebagai buah kasih dari Belanda kepada Indonesia (Jawa khususnya), gagal total. Tiga program unggulan yang dijalankan sebagai balas kasih[3] mulai dari program edukasi, irigasi, dan transmigrasi, menurut Ricklefs, hanya sebagai topeng (bahasa penulis) agar Belanda mendapatkan simpati dan nama baik, jika kelak harus hengkang dari tanah kepulauan ini. Gagalnya politik etis inilah yang menurut Ricklefs hanya sebagai zaman penjajahan baru. Terbukti, dalam catatan akhir Ricklefs, program politik etis hanya menjadi industri pergerakan sosial yang menentang hingga melawan keberadaan Belanda itu sendiri.
Kegagalan itu, menurut Ricklefs (2008), dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, lahirnya politik etis dibarengi dengan gerakan investasi global di Indonesia. Ricklefs memandang, apapun program dalam politik etis, nantinya tetap memiliki kepentingan profit. Hal tersebut kemudian dapat dilihat adanya kebijakan yang melebar, dari Jawa, meluas menjadi ke luar Jawa. Luar Jawa lebih menarik sebagai pusat politik etis karena daerah tersebut masih memiliki sumber daya alam yang luar biasa. Sedangkan jawa telah dalam keadaan rusak yang tentunya menyedot dana besar dari kas negara Belanda.
Kedua, adanya dua pandangan yang memiliki pusaran berbeda. Ada yang berpandangan politik etis harus mampu menumbuhkan kecerdasan dan kesejahteraan agar tercipta kemandirian sosial. Namun pusaran kedua berpandangan berbeda, dimana kecerdasan dan kesejaheraan tidak serta merta di berikan agar tercipta kemandirian sosial. Kasus ini dapat dilihat dengan program pendidikan yang tidak menggunakan bahasa pengantar lokal, mereka yang sekolah hanya anak-anak bupati, hingga penyumbatan aliran dana politik etis.
Ketiga, terjadinya pertarungan sturktur pada pemerintahan lokal (Indonesia), dimana para bupati dan pejabat pemerintahan lokal lainnya cenderung menguasai dan menimati porgram politik etis Belanda. Adapun sasaran masyarakat lokal, menjadi penonton dari luar.
Kegagalan politik etis itu kemudian, menurut Ricklefs, menjadi industri yang menghasilkan masalah-masalah sosial dan struktural. Transmigrasi hanya sebagai program mobilisasi buruh untuk menanam tanaman unggulan pasar internasional. Transmigrasi juga menciptakan kekaburan hubungan antar kepulauan yang tidak harmonis lagi karena adanya sentralisasi yang memihal pulau-pulau tertentu. Selanjutnya, program edukasi juga menghasilkan masalah baru. Masyarakat lokal harus menanggung biaya bangunan sekolah dan iuran sekolah sekaligus yang didirikan di desa-desa. Program edukasi ini kemudian semakin mencekik masyarakat desa. Mereka sedang dihantui busung lapar, namun untuk menjadi cerdas harus menggadaikan martabatnya agar anak-anaknya bisa sekolah. Begitu halnya dalam hal irigasi. Program ini hanya sebagai proyek irigasi yang mangkrak, yang tidak mampu mendulang kemandirian pangan di tiap-tiap desa.
Terlepas dari sisi kritis seorang Ricklefs dalam mengkritisi program politik etis yang gagal total itu, ada hal yang menarik yang patut kita cermati. Pertama, Ricklefs tidak memotret pemikiran pribumi akan pengaruhnya dalam melahirkan potilik etis. Mengapa Ricklefs hanya menampilkan pusaran pemikiran politik etis itu hanya dari sudut Belanda. Terlihat politik etis hanya memiliki relasi tunggal (Belanda). Kedua, Ricklefs dengan lugas membandingkan kegagalan politik etis Belanda di Indonesia dengan keberhasilan politik etis Amerika Serikat di Vietnam. Mengapa perbandingannya hanya Vietnam dan memiliki relasi dengan Amerika Serikat. Ricklefs juga tidak dengan lengkap memuat peranan kaum imperialis klasik hingga modern dalam menancapkan program politik etis pada daerah-daerah jajahannya. Tentu saja, tulisan Ricklefs ini mengundang tanya.
Tulisan Ricklefs tentang zaman penjajahan baru dapat kita jadikan bahan pelajaran untuk membangun Indonesia masa depan. Ricklefs telah memberikan pelajaran penting pada kita (bangsa Indonesia), dimana dalam menjalankan program pembangunan, harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Keberanian Ricklefs menuding Belanda dalam politik etis yang penuh dengan keragu-raguan akan data yang memuat hasil politik etis, jangan sampai kita tiru. Jangan-jangan banyaknya kasus kemiskinan pada diri kita ini, akibat dari keberlangsungan zaman penjajahan baru.
Sumber review: Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. Halaman: 327 – 351. Ngaliyan, 25 November 2011 [1] Guru Sosiologi SMA Negeri 1 Pamotan, sedang studi lanjut di Pendidikan IPS PPs UNNES. [2] Politik etis berawal dari kritik yang dimuat oleh novel Max Havelar (1860) yang menuntut kebiadapan pemerintah Belanda dalam menciptakan penderitaan masyarakat Jawa (lihat hal, 37). [3] Saya tidak begitu sepakat dengan istilah balas kasih yang dicetuskan pada akademisi Belanda yang menaruh empati pada Indonesia. Istilah politik etis pun, saya melihat ada unsur eufimistis dan hiperbol. Adapun van Deventer menyebutnya sebagai “suatu utang kehormatan”. Apakah kita pernah dipandang terhormat. Lagi-lagi kita sedang dalam pangkuan hegemoni istilah.Bagaimana tidak, rakyat kita ini dipaksa untuk memperkaya Belanda, tetapi mengapa harus di balas dengan kasih. Jelas, paksa dan kasih adalah dua kutup yang berbeda. Adapun van Deventer menyebutnya sebagai “suatu utang kehormatan”. Apakah kita pernah dipandang terhormat. Lagi-lagi kita sedang dalam pangkuan hegemoni istilah.
Sampul Buku M.C Ricklefs (Sumber: Serambi) |
Tulisan yang dimuat pada halaman 327 hingga halaman 351, terlihat jelas bahwa politik etis[2] yang didedahkan dari buah pikir para akademisi Belanda sebagai buah kasih dari Belanda kepada Indonesia (Jawa khususnya), gagal total. Tiga program unggulan yang dijalankan sebagai balas kasih[3] mulai dari program edukasi, irigasi, dan transmigrasi, menurut Ricklefs, hanya sebagai topeng (bahasa penulis) agar Belanda mendapatkan simpati dan nama baik, jika kelak harus hengkang dari tanah kepulauan ini. Gagalnya politik etis inilah yang menurut Ricklefs hanya sebagai zaman penjajahan baru. Terbukti, dalam catatan akhir Ricklefs, program politik etis hanya menjadi industri pergerakan sosial yang menentang hingga melawan keberadaan Belanda itu sendiri.
Kegagalan itu, menurut Ricklefs (2008), dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, lahirnya politik etis dibarengi dengan gerakan investasi global di Indonesia. Ricklefs memandang, apapun program dalam politik etis, nantinya tetap memiliki kepentingan profit. Hal tersebut kemudian dapat dilihat adanya kebijakan yang melebar, dari Jawa, meluas menjadi ke luar Jawa. Luar Jawa lebih menarik sebagai pusat politik etis karena daerah tersebut masih memiliki sumber daya alam yang luar biasa. Sedangkan jawa telah dalam keadaan rusak yang tentunya menyedot dana besar dari kas negara Belanda.
Kedua, adanya dua pandangan yang memiliki pusaran berbeda. Ada yang berpandangan politik etis harus mampu menumbuhkan kecerdasan dan kesejahteraan agar tercipta kemandirian sosial. Namun pusaran kedua berpandangan berbeda, dimana kecerdasan dan kesejaheraan tidak serta merta di berikan agar tercipta kemandirian sosial. Kasus ini dapat dilihat dengan program pendidikan yang tidak menggunakan bahasa pengantar lokal, mereka yang sekolah hanya anak-anak bupati, hingga penyumbatan aliran dana politik etis.
Ketiga, terjadinya pertarungan sturktur pada pemerintahan lokal (Indonesia), dimana para bupati dan pejabat pemerintahan lokal lainnya cenderung menguasai dan menimati porgram politik etis Belanda. Adapun sasaran masyarakat lokal, menjadi penonton dari luar.
Kegagalan politik etis itu kemudian, menurut Ricklefs, menjadi industri yang menghasilkan masalah-masalah sosial dan struktural. Transmigrasi hanya sebagai program mobilisasi buruh untuk menanam tanaman unggulan pasar internasional. Transmigrasi juga menciptakan kekaburan hubungan antar kepulauan yang tidak harmonis lagi karena adanya sentralisasi yang memihal pulau-pulau tertentu. Selanjutnya, program edukasi juga menghasilkan masalah baru. Masyarakat lokal harus menanggung biaya bangunan sekolah dan iuran sekolah sekaligus yang didirikan di desa-desa. Program edukasi ini kemudian semakin mencekik masyarakat desa. Mereka sedang dihantui busung lapar, namun untuk menjadi cerdas harus menggadaikan martabatnya agar anak-anaknya bisa sekolah. Begitu halnya dalam hal irigasi. Program ini hanya sebagai proyek irigasi yang mangkrak, yang tidak mampu mendulang kemandirian pangan di tiap-tiap desa.
Terlepas dari sisi kritis seorang Ricklefs dalam mengkritisi program politik etis yang gagal total itu, ada hal yang menarik yang patut kita cermati. Pertama, Ricklefs tidak memotret pemikiran pribumi akan pengaruhnya dalam melahirkan potilik etis. Mengapa Ricklefs hanya menampilkan pusaran pemikiran politik etis itu hanya dari sudut Belanda. Terlihat politik etis hanya memiliki relasi tunggal (Belanda). Kedua, Ricklefs dengan lugas membandingkan kegagalan politik etis Belanda di Indonesia dengan keberhasilan politik etis Amerika Serikat di Vietnam. Mengapa perbandingannya hanya Vietnam dan memiliki relasi dengan Amerika Serikat. Ricklefs juga tidak dengan lengkap memuat peranan kaum imperialis klasik hingga modern dalam menancapkan program politik etis pada daerah-daerah jajahannya. Tentu saja, tulisan Ricklefs ini mengundang tanya.
Tulisan Ricklefs tentang zaman penjajahan baru dapat kita jadikan bahan pelajaran untuk membangun Indonesia masa depan. Ricklefs telah memberikan pelajaran penting pada kita (bangsa Indonesia), dimana dalam menjalankan program pembangunan, harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Keberanian Ricklefs menuding Belanda dalam politik etis yang penuh dengan keragu-raguan akan data yang memuat hasil politik etis, jangan sampai kita tiru. Jangan-jangan banyaknya kasus kemiskinan pada diri kita ini, akibat dari keberlangsungan zaman penjajahan baru.
Sumber review: Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. Halaman: 327 – 351. Ngaliyan, 25 November 2011 [1] Guru Sosiologi SMA Negeri 1 Pamotan, sedang studi lanjut di Pendidikan IPS PPs UNNES. [2] Politik etis berawal dari kritik yang dimuat oleh novel Max Havelar (1860) yang menuntut kebiadapan pemerintah Belanda dalam menciptakan penderitaan masyarakat Jawa (lihat hal, 37). [3] Saya tidak begitu sepakat dengan istilah balas kasih yang dicetuskan pada akademisi Belanda yang menaruh empati pada Indonesia. Istilah politik etis pun, saya melihat ada unsur eufimistis dan hiperbol. Adapun van Deventer menyebutnya sebagai “suatu utang kehormatan”. Apakah kita pernah dipandang terhormat. Lagi-lagi kita sedang dalam pangkuan hegemoni istilah.Bagaimana tidak, rakyat kita ini dipaksa untuk memperkaya Belanda, tetapi mengapa harus di balas dengan kasih. Jelas, paksa dan kasih adalah dua kutup yang berbeda. Adapun van Deventer menyebutnya sebagai “suatu utang kehormatan”. Apakah kita pernah dipandang terhormat. Lagi-lagi kita sedang dalam pangkuan hegemoni istilah.
Tags
Politik Etis