Misi Kemanusian dalam Keroncong Lasem yang Terlupakan

Misi Kemanusian dalam Keroncong Lasem yang Terlupakan

Hingga sekarang Lasem sangat menarik menjadi obrolan semua kalangan. Bagaimana tidak, karena Lasem telah menjadi ikon kota multikultural yang pluralis dan toleran. Akulturasi damai agama-agama besar mulai dari Hindu, Budha, Kapitayan, hingga Islam pun terjadi disini. Tak hanya itu, Lasem juga menjadi simbol tata kota multikultural dengan beragam etnis mulai Jawa, Cina, dan Arab dengan hidup damai berdampingan.

Setiap mendengar kata Lasem, dikepala kita langsung terbayang dengan keindahan batik tulisnya, keakraban masyarakatnya, citarasa kopinya, keasrian pantainya, kemegahan arsitektur kota tuanya, dan beragam situs pusaka yang bertebaran disegala sudut kota. Namun ada satu identitas Lasem yang belum banyak diketahui orang, yaitu keberadaan grup musik keroncong lasemnya.

Menurut beberapa sumber yang dapat dipercaya, keroncong lasem telah eksis sejak era 70-an. Para pengikut keroncong kala itu tidak hanya mereka yang duduk dalam kelas sosial biasa, kaum terdidik dan hingga keturunan bangsawan lasem telah jatuh cinta pada alunan musik ini.

Jenis musik klasik berirama halus ini telah menyatu dengan ekspresi seni masyarakat kala itu. Setiap ada upacara rites hidup, mulai acara kelahiran, sunatan, mantenan, hingga pindah rumah, panggung keroncong lasem selalu dinantikan. Apalagi ketika ada perayaan hari-hari besar, keroncong lasem selalu tampil dengan penonton yang selalu merindukan gesekan biola yang sello yang genit dan menawan. Mereka yang hadir merasa nyaman dan tenang ketika pentas keroncong digelar. Saat itu, keroncong lasem benar-benar menjadi pemantik dalam mendorong tatalaku sosial yang di idam-idamkan.

Keroncong lasem telah menjadi media kerukunan sosial. Dengan bermodal ketajaman filling para pemain, seakan keroncong telah menyihir para penonton dengan menjauhkan pikiran jahat yang mengancam hak hidup dan misi kemanusiaan. Melalui keroncong ini pula, banyak seniman dan pegiat sosial dilahirkan. Saat itu pula, keroncong lasem bak lembaga pendidikan sosial yang arif dan menggairakan.

Namun sekarang, keroncong lasem semakin tersisih oleh zaman. Mundur perlahan namun pasti, alunan keroncong telah tergantikan oleh musik lain yang berseberangan dengan detak jantung seni orang lasem yang telah berurat dan berakar. Dan yang perlu dihawatirkan, jika keroncong lasem telah berfungsi membangun tatalaku rukun dengan beragam misi kemanusian itu, dengan hadirnya musik lain, bukan tidak mungkin perlahan akan hilang dari permukaan.

Walaupun mulai dilupakan, ternyata masih ada satu grup keroncong lasem yang masih eksis hingga sekarang. Kita patut memberi apresiasi yang besar, karena masih ada pelestari keroncong di lasem. Grup keroncong tersebut adalah “Gema Irama” yang ada di desa Gedongmulyo, Lasem.

Keroncong yang telah tutur sejarah lasem. Para pemainnya juga tidak pernah belajar musik secara khusus. Dengan modal ketajaman filling para pemain, hiburan rakyat ini sering menggema disudut rumah yang terletak di desa Gedungmulyo Lasem ini.


Mas Danang, mas Yoyok, mas Yoto sedang menghibur warga dengan grup keroncong Gema Irama Lasem (Doc. Foto Rumah Baca Pamotan, 2014)
Grup keroncong Gema Irama ini merupakan satu-satunya keroncong di kabupaten Rembang yang masih tersisa. Mereka terdiri belasan personel aktif. Mereka diantaranya adalah mas Ali yang pegang orgen, mas Dirman pegang selo, mas Yoto pegang cuk/ ukulele, mas Anwar pegang cak, mas Pangat pegang cak/cang, mas Heru pegang bas, mas Danang pemegang biola, serta mbak Yayuk, mbak Wiwik, mbak Diyah, mas Ari, dan mas Yoyok yang selalu aktif sebagai penyanyi keroncong lasem ini.

Personel grup keroncong ini mengaku prihatin karena saat ini sangat minim generasi muda yang mau meneruskan serta melestarikan musik keroncong. Banyak yang cinta bermain musik, namun cuma sedikit yang mencintai keroncong. “Kami sendiri sering mengajak yang muda-muda. Tapi ya itu, rumongso sulit, ndak cocok, padahal belum mencoba masuk irama musik keroncong secara mendalam”, tandas mas Danang dengan keluh kesahnya.

Kegelisan mereka bukanlah terletak pada sepinya order keroncong Gema Irama. Para personelnya mengaku tidak mementingkan berapa upah yang diberikan saat manggung. Mereka gelisah karena musik keroncong semakin sepi penikmat dari kalangan anak muda. Sesekali mereka pentas saat ada acara keluarga para personelnya. Sesekali mereka juga diundang pada acara sosial di statiun radio, kegiatan di polsek, dan baru-baru ini juga pentas di Komunitas Rumah Baca Pamotan saat peringatan hari pahlawan.

Walaupun semakin ditinggalkan, mereka tetap semangat latihan musik. Dua kali dalam seminggu, mereka latihan di rumahnya mas Ali, salah seorang pimpinan keroncong Gema Irama. Selain memperdalam rasa dalam syair dan irama lagu keroncong, campursari, hingga dangdut, mereka juga selalu mempelajari pola irama lagu-lagu yang sedang ngetren saat ini untuk dikroncongkan. Tujuannya untuk menarik perhatian anak-anak muda agar cinta dengan alunan musik keroncong. Bahkan tidak hanya itu, dengan kreatif mereka telah menggarap syair keroncong yang didalamnya memuat sejarah lasem. Sebuah langkah baru dalam menstranformasikan nilai-nilai sejarah lasem yang dituangkan dalam lagu keroncongnya.

“Ada lagu ciptaan sendiri, cuma belum rekaman. Lagu berisi tentang kota lasem dan kota budaya. Kemarin baru saja kami garap dengan stail orgen. Lagu ini berkenaan dengan cinta dua negeri antara Campa dan Jawa, antara Binangti dan Pangeran Badranala. Lagu ini menggambarkan cerita pernikahan antara bangsawan Jawa dengan putri campa, sebagai bentuk akulturasi budaya lewat perkawinan”, tandas Mas Danang, pelestari keroncong lasem yang jatuh cinta dengan biolanya ini.

“Lagu ini juga menampilkan apa yang ada di Lasem, selain sejarahnya juga yang lainnya. Menurut kami, ada empat tokoh perang lasem sebagai mutiara yang sudah hilang, yang sekarang harusnya menjadi teladan masyarakat Lasem”, imbuhnya.

Sikap para personel Gema Irama yang ingin melestarikan keroncong lasem ini ternyata tidak lepas dari sejarah keroncong di Lasem itu sendiri. Apa yang dilakukannya sekarang merupakan ajaran kemanusiaan yang pernah diajarkan oleh para pendahulunya. “Gema irama itu generasi keroncong kedua setelah group keroncong Timbul Nada. Kami belajar dari Pak Selamet Wijawa dan beliau-beliau yang sekarang sudah kapundut semua. Dulu kami hanya ikut beliau-beliau. Kita nimbrung dan terus latihan”, ujar mas Ali, saat menceritakan sejarah keroncong di Lasem.

Grup keroncong lasem ternyata diperankan oleh para tokoh masyarakat Lasem. Dengan talenta seninya, para kaum terdidik lasem, sejarawan, guru, hingga pegawai, telah tampil dalam garda depan keroncong lasem. “Seingat saya Timbul Nada ada pak Selamet Wijaya yang pegang biola, pak Sarwan pegang flood/ suling, pak Sakban pegang selo, pak Dirman pegang cuk, pak Subari pegang cang, dan pak Setiaji pegang melodi. Beliau-beliau ini sudah meninggal semuanya. Melalui merekalah kami (keroncong Gema Irama) sekarang ada”, pungkas Ali.

Hal senada juga dituturkan Matoya, tentang keberadaan group keroncong Timbul Nada saat itu. “Setiap grup Timbul Nada manggung, Bapak Selamet Wijaya selalu pegang biola. Beliau sangat suka dengan lagu mawar biru karena penyanyinya adalah instrinya sendiri, Bu Selamet Wijaya”, ungkapnya.

“Saya menonton keroncong lasem sudah ratusan kali. Pak Selamet dengan para pensiunan PWRI selalu bermain keroncong di hari Selasa malam. Mulai dari Kaliori, Rembang, Sluke, Pamotan, Gunem, dan Lasem sendiri, pak Selamet berkeroncong sembari berbincang perihal masalah-masalah pensiunan. Pokoknya selalu main saat tanggapan manten”, tambah Matoya, Pegiat Paguyuban Bhre Lasem.

Pelajaran berharga yang dapat kita petik dari keroncong lasem adalah keroncong itu sebagai alat untuk misi kemanusiaan, bukan sebagai tujuan mencari upah. Misi kemanusiaan itu dapat kita lihat adanya kegiatan pendampingan para pensiunan PWRI yang rawan dengan ketidakpastian  hidup tenang diusia lanjutnya yang diperankan grup keroncong Timbul Nada di era 70-an. Melalui keroncong, (almarhum) Selamet Wijaya dan kawan-kawan berkeliling mulai Kaliori hingga Gunem, menghibur para lansia. Disela-sela menghibur inilah, keroncong lasem telah memerankan diri sebagai konselor para lansia.

Keunikan keroncong lasem ini tidak berhenti begitu saja. Melalui keroncong, misi kemanusiaan ini kemudian dilanjutkan grup keroncong Gema Irama di era 2000-an. Keroncong generasi kedua ini semakin kreatif dalam mengemas pentasnya. Mereka tidak hanya menghibur para lansia dengan lagu keroncong, campursari, dan dangdut saja, lagu-lagu pop juga mereka keroncongkan.  Dan yang menarik, mereka membuat syair keroncong yang sarat dengan sejarah lasem. Sebuah proses pencerahan sosial yang sangat halus dilakukan.

Tentu ini semua tidak pekerjaan mudah kawan. Karena mereka telah mampu mentransformasikan misi kemanusiaan dalam pentas seni dalam mewujudkan masyarakat yang pluralis dan toleran. Bukankah demikian?

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama