Suhadi*
Suatu hari ada seorang pemuda melamar pekerjaan di sebuah perusahaan swasta. Pemilik perusahaan itu kemudian bertanya kepada pemuda tersebut, “kamu bisanya apa?” pemuda itu menjawab, “saya lulusan SMA”. Sambil membuka lembaran kertas di dalam stopmap, pengusaha itu menganggukkan kepala, “oh…!”. Tidak lama kemudian pengusaha tersebut meminta nomor handphone pemuda tersebut dan mencatatnya sambil bilang, “tunggu kabar satu bulan lagi ya!” seraya mengulurkan tangan untuk berjabat dengan mimik wajah agar pemuda itu meninggalkan ruangnya.
Dari cerita di atas tampak jelas lulusan SMA tidak memiliki nilai tawar dalam dunia kerja. Ucapan “oh…!” dan “tunggu satu bulan lagi ya!” oleh pemilik perusahaan menandakan lulusan SMA tidak bisa apa-apa. Terlebih sebentar lagi masyarakat kita akan panen raya lulusan SMA.
Mengapa demikian? Adakah sesuatu yang salah dalam proses pendidikan di SMA? Lantas bagaimana cara mengatasi masalah ini?
Beragam pandangan dalam menanggapi ritual lulus SMA. Pandangan masyarakat secara umum, SMA merupakan jembatan untuk melanjutkan kuliah. Bagi yang tidak mampu, SMA hanya sebagai ritual biasa untuk bisa diterima di masyarakat dengan predikat biasa-biasa saja. Adapula yang berpandangan bahwa sekolah di SMA hanya untuk menunda usia nikah dini yang penuh dengan resiko. Termasuk juga hanya menghindari cemo’ohan tetangga gara-gara anaknya tidak sekolah SMA. Padahal dalam kenyataannya, sekolah SMA menghabiskan biaya yang tidak murah. Kenapa dalam masyarakat tidak adanya keinginan, anak-anaknya yang lulus SMA harus bisa ini dan bisa itu.
Ada beberapa faktor kenapa lulusan SMA tidak bisa apa-apa. Pertama, pandangan masyarakat yang pesimistik. Entah kenapa masyarakat pesimis dengan lulusan SMA. Padahal di era 80-an, pendidikan setingkat SMA (SPG: Sekolah Pendidikan Guru) telah diakui keilmuan dan perilakunya menjadi seorang guru. Terkesan kualitasnya turun.
Kedua, istilah pada mata pelajaran yang diajarkan tidak mengundang rasa ingin tahu. Lihat saja pelajaran Bahasa Indonesia dari kelas X hingga XII bunyinya tetap Bahasa Indonesia, termasuk Fisika, Kimia, dan Sosiologi. Hal demikian menyebabkan siswa, orang tua, dan masyarakat tidak ingin tahu tentang apa yang di ajarkan. Padahal berbagai materi tentang teori dan keterampilan diajarkan.
Ketiga, relatif rendahnya orientasi guru terhadap masa depan anak didiknya. Ketidak mampuan ini dapat kita buktikan dengan bertanya kepada guru, “berapa anak didik anda yang berminat menjadi ekonom, politikus, ahli bedah, budayawan, hingga ahli nuklir?” Pasti sebagian besar para guru menjawab normatif, “ya semoga anak didik saya menjadi orang yang sukses”. Alangkah lucunya negeri ini dimana para guru SMA yang orientasi mengajarnya serba tidak jelas.
Ke-empat, rendahnya keberpihakan sekolah dalam menggunakan anggaran pendapatan sekolahnya untuk kegiatan belajar anak didiknya. Hal ini dapat dilihat secara umum anggaran pendapatan sekolah sebagian untuk pengadaan sarana dan prasaranya fisik (gedung, meubeler, taman, dan pagar), belanja pegawai, dan honor tambahan jam untuk pengajar, yang sarat dengan proyek fiktif belaka.
Untuk mewujudkan lulusan SMA apa saja bisa, hendaknya dilakukan; Pertama, membangun masyarakat dengan mental optimis bahwa SMA itu bisa, bukan tidak bisa apa-apa. Dengan optimisme tersebut, maka masyarakat akan menjadi pengendali mutu dari proses di SMA. Masyarakat akan terlibat aktif dan muncul rasa memiliki yang ditunjukkan dalam mendampingi belajar anak-anaknya, serta merancang, melaksanakan, menilai, dan menindaklanjuti berbagai kegiatan belajar di sekolah.
Kedua, mengganti nama pelajaran yang saat ini tidak mengundang rasa ingin tahu. Dalam sosiologi misalnya, mata pelajaran yang perlu ditulis di buku raport jangan kata sosiologi, tetapi langsung pada kompetensi dasarnya. Di kelas XII jurusan IPS misalnya terdapat kompetensi dasar dengan materi; Lembaga Sosial, Perubahan Sosial Budaya, dan Penelitian Sosial Sederhana. Jika dalam buku raport dituliskan demikian, maka siswa, orang tua, masyarakat, dan pelaku usaha (perusahaan) akan tahu tentang kemampuan apa yang harus dikuasai dan dimiliki.
Ketiga, hendaknya para guru mengedepankan orientasi masa depan anak didiknya bahwa lulus SMA harus berkarya. Dengan menginternalisasikan orientasi cara pandang tersebut, maka para guru dan anak didiknya akan berusaha sekuat tenaga untuk menguasai materi dengan predikat semua bisa. Nilai-nilai etos kerja sangat mendesak untuk digagas dan diimplementaskan. Jangan hanya “nilai malu” saya yang terkesan kejawaannya dan terbukti malu-maluin para lulusannya.
Keempat, prioritaskan anggaran belanja sekolah untuk mendanai proses pembelajaran. Misalnya belajar materi tentang “penegakan hukum” jurusan IPS dan materi tentang “bakteri” jurusan IPA. Pihak sekolah hendaknya menantang kreativitas guru dan anak didiknya untuk merancang kegiatan belajar yang berkualitas dengan mendanai dan membelanjakan berbagai macam kebutuhan belajar.
Tentu ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi arena orientasi masa depan manusia Indonesia (rizqi, jodoh, dan maut) telah masuk dalam perangkap dogma. Selanjutnya, kita akan melakukan apa?
* penulis adalah Guru Sosiologi & Antropologi SMA di kabupaten Rembang Jawa Tengah