Oleh: Suhadi Rembang
Abstraksi
Abstraksi
Studi terdahulu tentang perkawinan belia ini dipaparkan dengan tujuan untuk mengetahui posisi dari studi perkawinan belia sebelum dilakukan. Dengan demikian studi perkawinan belia yang dilakukan tetap memiliki derajat manfaat praktis dan teoritis. Studi pendahuluan ini juga dimaksudkan dalam bagian dari bahan penyusunan instrumen penelitian. Studi tentang perkawinan belia telah dilakukan oleh beberapa penulis sebelumnya. Beberapa studi terdahulu tentang perkawinan belia telah dilakukan dalam perspektif hukum, sosial, budaya, kesehatan/ biologis, ekonomi, pendidikan, psikologi, agama, geografis, dan perspektif kependudukan.
Studi terdahulu tentang perkawinan belia secara tematik sebagian besar didominasi pada faktor-faktor yang mendorong dan dampak dari perilaku perkawinan belia. Studi tersebut memuat tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan belia dari sisi tradisi, sosial, budaya, psikologis, fertilitas, dan usia kawin.
Studi terdahulu perkawinan belia juga telah dilakukan dari perspektif hukum. Studi hukum yang telah dilakukan diantaranya mengkaji tentang dokumen (undang-undang) tentang perkawinan belia, perbedaan masalah kawin pada wanita yang usia muda dan usia ideal, tiga sistem hukum yang melandasi perkawinan, dan asas-asas perkawinan perspektif hukum adat. Selanjutnya dalam perspektif demografi telah dilakukan yaitu tentang perkawinan muda di sepanjang pantura, dan kematian balita dalam keluarga nikah belia. Perkawinan belia juga telah dilakukan dalam fokus di bidang kesehatan (biologis dan psikologis) khususnya tentang dampak biologis dan psikologis nikah belia.
Dalam perspektif pendidikan, studi perkawinan belia yang telah dilakukan mengkaji tentang pendidikan mempengaruhi sikap terhadap besarnya keluarga ideal dan nilai anak, serta perbedaan jumlah anak pada wanita dengan tingkat pendidikan menengah dan sekolah dasar. Begitu pula dalam perspektif agama, Studi terdahulu diantaranya tentang legalisasi agama dalam perkawinan belia. Kemudian yang terakhir dalam perspektif sosial budaya, studi yang pernah dilakukan yaitu tentang nilai anak dalam keluarga, dan reproduksi makna nikah belia.
Sumber Tulisan
Studi perkawianan belia dilakukan Puspitasari tahun 2006. Dalam studi tersebut mengkaji tentang faktor- faktor apa saja yang mendorong perkawinan usia muda, bagaimana dampak yang dialami oleh mereka yang melangsungkan perkawinan usia muda, serta bagaimana bentuk pola asuh keluarga pasangan usia muda di desa Mandalagiri kecamatan Leuwisari kabupaten Tasikmalaya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab terjadinya perkawinan di usia muda dipengaruhi oleh berbagai macam faktor-faktor yang mendorong mereka untuk melangsungkan perkawinan di usia muda diantaranya; faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor orang tua, faktor diri sendiri, serta faktor adat setempat. Terjadinya perkawinan usia muda di Desa Mandalagiri Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya ini mempunyai dampak tidak baik terhadap mereka yang telah melangsungkan pernikahan juga berdampak pada anak-anak yang dilahirkannya serta masing-masing keluarganya.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua pekawinan di usia muda berdampak kurang baik bagi sebuah keluarga karena sedikit dari mereka yang telah melangsungkan perkawinan diusia muda dapat mempertahankan dan memelihara keutuhannya sesuai dengan tujuan dari perkawinan itu sendiri. Hasil temuan dilapangan bahwa pola asuh demokratis lebih mendorong anak menjadi mandiri dan berprestasi di bandingkan dengan anak diasuh dengan cara otoriter. Hasil pola asuh pada pasangan muda ini untuk masing-masing pengasuh adalah pola asuh demokratik. Dengan pola asuh demokratik ini orang tua tidak mengekang pada anak- anaknya dan memaksakan kehendaknya pada anak-anaknya, sebaliknya mereka memberikan kepercayaan penuh terhadap anak-anaknya untuk bisa menjalani kehidupan dimasa yang akan datang.
Penelitian Wahyudi tahun 2004 mengulas tentang bagimana sesungguhnya pelaksanaan perkawinan pada masyarakat adat suku Sasak Lombok. Dalam penelitiannya, Wahyudi menitikberatkan pada faktor-faktor yang menyebabkan perceraian dan akibat-akibat hukum yang ditimbulkan dari tradisi kawin cerai.
Dalam penelitian Wahyudi menemukan bahwa faktor penyebab kawin cerai terdapat enam faktor. Pertama, faktor kebudayaan dengan adanya tradisi merari'. Tradisi merari' yaitu apabila seorang laki-laki ingin melakukan perkawinan maka perempuan yang mau diajak kawin harus dilarikan terlebih dahulu dan hal ini merupakan tindakan yang legal secara adat. Dari data yang ditemukan hampir 58% perkawinan yang di lakukan di bawah tangan sehingga perkawinan mereka tidak dicatatkan. Hal ini juga didorong oleh adanya kawin musiman yaitu saat panen tiba banyak melakukan perkawinan tapi saat musim paceklik tiba banyak .juga yang melakukan perceraian. Kedua, tingkat pendidikan masyarakat yang sangat kurang. Dari basil penelitian masyarakat yang banyak melakukan perceraian adalah mereka yang pendidikannya rendah bahkan tak pernah sekolah. Ketifa, tingkat kawin muda yang cukup tinggi jumlahnya. Empat, yaitu faktor agama yang mempermudah perceraian yaitu cukup dengan menyatakan keinginan bercerai oleh pihak si laki-laki kepada pihak si wanita maka jatuhlah talak mereka. Kelima, faktor ekonomi masyarakat Lombok banyak yang menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) keluar negeri sehingga isteri yang tak tahan menunggu kawin lagi dengan orang lain.
Dalam studi Boedirochminarni tahun 2001 tentang faktor-faktor yang berhubungan terhadap perkawinan wanita muda usia di pedesaan. Penelitian Boedirochminarni ini bertujuan untuk mengetahui perkawinan pada wanita muda usia di pedesaan ditinjau dari kehidupan sosial budaya. Faktor sosial budaya yang dikaji diantaranya meliputi pendidikan, adat istiadat, dan norma agama. Penelitian ini juga untuk mengetahui perkawinan pada wanita muda usia di pedesaan ditinjau dari faktor ekonomi; meliputi: tingkat kemiskinan orang tua, jenis pekerjaan orang tua. 3) Untuk mengetahui perkawinan pada wanita muda usia di pedesaan ditinjau dari faktor fisiologis; meliputi usia pertama menstruasi. 4) Untuk mengetahui perkawinan pada wanita muda usia di pedesaan ditinjau dari faktor psikologis. Adapun faktor psikologis yang dikaji meliputi usia pertama tertarik dengan lelaki pujaan. Penelitian dengan pendekatan kuantitatif ini menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan terhadap perkawinan wanita muda usia di pedesaan, khususnya di desa Sumberejo adalah faktor ekonomi sebanyak 14 (35 %); kedua adalah faktor sosial budaya sebanyak 12 (30 %), ketiga adalah faktor fisiologis sebanyak 7 (17,5 %), dan keempat adalah faktor psykologis sebanyak 5 (12,5 %).
Dalam studi yang dilakukan oleh Hidayati tahun 2007 tentang faktor-fakotr yang berhubungan dengan perkawinan usia muda dengan pendekatan komparasi hasil dengan studi meta analisis. Hasil penelitian menyebutkan bahwa 50,6% responden kawin muda, mayoritas hanya berpendidikan dasar, berpengetahuan baik tentang perkawinan, tidak bekerja sebelum menikah, memiliki pendapatan kurang dari rata-rata pendapatan responden, dan dibesarkan dilingkungan yang rata-rata usia kawin kurang dari 20 tahun. Uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan pengetahuan (X2=7,177, p value 0,007), status bekerja responden (X2=5,733, p value 0,017), status bekerja suami responden (X2=4,901, p value 0,027), dan adat istiadat (X2=4,729, p value 0,030) dengan perkawinan wanita usia muda, sementara tidak ada hubungan pendidikan dan pendapatan keluarga dengan perkawinan wanita usia muda. Dari meta analisis diperoleh hasil 75% pendidikan berhubungan, 100% pengetahuan berhubungan, 100% status bekerja responden berhubungan, 25% pendapatan keluarga berhubungan, 50% adat istiadat berhubungan dengan perkawinan usia muda.
Banyak faktor yang terkait dengan fertilitas, terutama di Indonesia, terdapat tiga faktor yang harus mendapat perhatian, yaitu : (1) penggunaan kontrasepsi modern, (2) praktek pembatasan kelahiran secara tradisional, dan (3) perubahan pola perkawinan (Singarimbun, 1986:2).
Studi tentang faktor yang mempengaruhi usia kawin juga dilakukan oleh Widiyastutik pada tahun 2005 di kecamatan Gunungpati kota Semarang. Dalam studi Widiyastutik dengan pendekatan kuantitatif ini menyimpulkan bahwa dilihat dari segi umur, mereka menikah sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan, sementara itu mereka menikah pada umur 23 tahun bagi laki-laki dan 20 tahun bagi perempuan. Dilihat dari segi pendidikan sebagian besar pendidikan suami dan istri adalah tamat Sekolah Dasar (SD). Dilihat dari segi pendapatan, rata-rata pendapatan keluarga yaitu sebesar Rp 901.614 per bulan. Pandangan orang tua terhadap usia kawin laki-laki adalah 28 tahun dan perempuan adalah 22 tahun.
Kajian pernikahan belia juga dilakukan oleh Hasibuan tahun 2010. Hasibuan mengkaji bagaimana peran UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam mencapai tujuan pernikahan itu, dan bagaimana pula UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyikapi hak-hak anak yang tidak terpenuhi. Dalam kajian dokumentatif, Hasibuan menemukan suatu kejelasan dan sinkronisasi di antara UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maupun UU yang terkait dengan penetapan umur pernikahan ini, maka tujuan pernikahan bisa tercapai serta tanpa mengesampingkan juga hak-hak anak. Idealnya, menurut Hasibuan, dalam melakukan perkawinan itu sudah mempunyai tiga unsur yaitu kemampuan biologis, ekonomis dan psikis. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Dalam penelitian Yuliana tahun 2006 tentang beberapa masalah yang timbul antara wanita yang kawin muda dengan wanita yang kawin di usia ideal. Dalam penelitian tersebut, Yuliana menemukan beberapa perbedaan antara lain; masalah kelahiran anak pertama, masalah sosial ekonomi, dan masalah perceraian antara wanita yang kawin muda dengan wanita yang kawin di usia ideal. Penelitian tersebut tidak menemukan adanya perbedaan masalah baik dari sisi kelahiran anak pertama, masalah sosial ekonomi, dan masalah perceraian antara wanita yang kawin muda dengan wanita yang kawin di usia ideal. Hanya saja Yulina dalam akhir laporan memberikan rekomendasi dalam peelitian lanjutan diadakannya penelitian pada usia perkawinan yang lebih lama yaitu lebih dari tiga tahun serta menambahkan variabel masalah kependudukan.
Studi yang dilakukan oleh Purnami tahun 1992 tentang perkawinan usia muda dan kaitannya dengan kematian balita. Studi kuantitatif ini dilakukan di desa Cermo kecamatan Sambi kabupaten Boyolali. Dalam studi itu ditemukan bahwa ada kaitan antara perkawinan usia muda, kondisi sosial ekonomi, kecuali lama pendidikan responden, program pelayanan kesehatan ibu dan anak, serta perilaku budaya, berkaitan dengan kematian balita.
Studi dokumentatif tentang tinjauan hukum Islam terhadap faktor-faktor penyebab perkawinan usia muda dan implikasinya. Studi ini dilakukan di masyarakat Bulungihit kabupaten Labuhan Batu, Sumatra Utara. Hasil penelitian yang penyusun temukan bahwa kasus perkawinan usia muda yang terjadi di masyarakat Bulungihit kebanyakan disebabkan oleh faktor adat, tradisi dan budaya setempat. Adapun akibat perkawinan usia muda lebih banyak menimbulkan dampak yang negatif dari pada positif.
Dalam studi yang dilakkan Pamungkas dkk tahun 2006 tentang perkawinan usia muda dengan fokus penelitian tentang jumlah anak dan fertilitas pada masyarakat nelayan Kalisari, Surabaya. Beberapa pasangan menikah pada usia muda dan telah dikaruniai anak, namun demikian mereka yang memilih kawin usia muda, baik karena keinginan sendiri ataupun karena perintah orang tua, telah sadar bahwa sekarang sudah bukan jaman “banyak anak banyak rejeki” seperti dulu lagi. Mereka telah sadar bahwa anak memberikan manfaat yang lebih ke arah positif dan untuk pemenuhan kebutuhan sangat sulit. Tanpa dapat dipungkiri bahwa biaya membesarkan dan pemeliharaan anak sangat mahal, bukan dengan maksud bahwa anak adalah beban finansial. Proses modernisasi menyadarkan bahwa kebutuhan anak bukan hanya makan dan rumah, akan tetapi juga pemenuhan kebutuhan sosial.
Menarik apa yang dilakukan Nazaruddin tahun 1998 dalam penelitiannya tentang makna kawin muda dan perceraian upaya memahami masalah sosial dan perspektif penyandang masalah. Dalam penelitian tersebut Nazaruddin mengkaji sejauh mana peristiwa kawin muda dan perceraian terjadi di Indramayu serta mengapa daerah Indramayu kerapkali diidentikkan dengan daerah kawin cerai, serta untuk mengetahui apakah perkawinan usia muda dan perceraian menurut masyarakat Indramayu adalah merupakan masalah sosial atau bukan masalah.
Dalam penelitian tersebut menyimpulkan bahwa masalah sosial kawin muda dan perceraian ditafsirkan oleh informan sebagai suatu masalah sosial yang perlu dihindari. Akan tetapi terdapat informan yang menafsirkan makna kawin dan bercerai di usia muda sebagai suatu solusi/alternatif pemecahan masalah. Konsekuensinya di antara mereka ada yang melaksanakan perkawinan dan perceraian di usia muda. Walaupun demikian perkawinan usia muda dan perceraian itu sendiri bukanlah kebiasaan atau bahkan budaya mereka karena peristiwa itu hanyalah hasil kompromi anggota masyarakat yang menjadi informan dengan masalah yang dihadapi pada saat itu. Oleh karena itu makna kawin muda dan perceraian itu sendiri terus menerus disempurnakan sesuai dengan dinamika kemampuan berpikir mereka.
Perkawinan Dalam Perspektif
Perkawinan memiliki berbagai variabel, yaitu: (1) jenis perkawinan; (2) usia kawin; (3) hidup selibat; (4) hidup menjanda; dan (5) perceraian dan perpisahan (McDonald, 1990:79-91). Setiap varibel perkawinan memiliki pengaruh, baik langsung maupun tidak, terhadap fertilitas.
Langkah-langkah pertama kali memasuki masa perkawinan di dasari oleh perasaan berikut:
A. rasa tertarik;
B. rasa ingin bersama;
C. saling memelihara (meliputi rasa saling membagi dan membutuhkan);
D. kerukunan; dan
E. cinta (Shelton dan Thrrick 1992).
Ada alasan tersendiri di balik berlangsungnya suatu perkawinan menurut Hauck (1995), :
a. Alasan neurotik:
1. untuk menjengkelkan orang tua (terutama oleh para remaja);
2. untuk mengatasi rendah diri;
3. untuk menjadi terapis pasangan (biasanya karena ada pihak yang lemah, sakit, kekanak-kanakan);
4. takut menjadi perawan tua dan jejaka tua;
5. takut untuk tidak tergantung;
6. takut melukai perasaan orang lain; dan
7. karena anda telah jatuh cinta.
b. Alasan bijaksana dengan kedewasaan dan rasional
1. keberhasilan;
2. kehidupan seks yang aman dan menyenangkan;
3. perkawinan masih merupakan institusi terbaik untuk membesarkan anak; dan
4. untuk mencapai gaya hidup yang unik.
Konsumsi perkawinan ditunda sampai sang gadis mengalami haid. Seperti yang terlihat dalam tabel berikut:
Tabel 1. Penundaan Hubungan Seks Setelah Menikah dan Usia Kawin.
Penundaan Hubungan Seks | Umur kawin pertama | ||||
<15 (n=140) | 15-17 (n=295) | 18-20 (n=222) | 21= (n=115) | Jumlah (n=772) | |
Tidak ditunda | 26,6 | 67,8 | 84,0 | 85,2 | 67,6 |
Tertunda 0-2 tahun | 13,6 | 9,8 | 5,0 | 0 | 7,7 |
Tertunda >2th | 22,3 | 5,8 | 0,5 | 0 | 6,4 |
Tak pernah hub. Seks | 37,5 | 16,6 | 10,5 | 14,8 | 18,2 |
100 | 100 | 100 | 100 | 100 |
Sumber: Singarimbun, diolah
Pernikahan dianjurkan karena dapat memenuhi tujuan-tujuan sosial tertentu (Caldwell, 2000:356). Secara tradisional, menikah merupakan suatu alasan logis dan 'diwajibkan' untuk memperolah keturunan yang sah dan diakui oleh masyarakat. Perkawinan merupakan cara yang dianggap ideal dalam berbagai hal, seperti penguasaan seksualitas, legitimasi dan legalitas atas anak-anak, dan terpenting adalah pembagian hal da kewajiban antara suami dan istri (Allan, 2000: 611-2).
Menurut Hilman Hadikusuma (1983) asas-asas perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai berikut:
1. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga, rumah-tangga dan hubungan kerabat yang rukun, damai, bahagia dan kekal.
2. Perkawinan tidak saja harus syah dilaksanakan menurut agama atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat persetujuan dari para anggota kerabat.
3. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai istri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat.
4. Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan orang tua dan anggota kerabat, masyarakat adat dapat menolak kedudukan istri atau suami yang tidak diakui oleh masyarakat adat setempat.
Menurut Hawthorn ([1970:42] dalam Lucas, 1990:69) bahwa dalam semua masyarakat kesadaran akan pembatasan kelahiran memang tergantung pada latar belakang daerah kota atau tempat tinggal, pendidikan atau penghasilan. Pendidikan yang kuat pengaruhnya terhadap variabel-variabel pengaruh lainnya seperti sikap terhadap besarnya keluarga ideal dan nilai anak.
Menurut Hull dan Hull ([1977] dalam Lucas, 1990:69) bahwa wanita yang tidak berpendidikan dan berpendidikan tingkat menengah mempunyai rata-rata anak lebih sedikit daripada yang berpendidikan sekolah dasar. Norma yang menunjukkan bahwa dari golongan status ekonomi yang lebih rendah mempunyai fertilitas yang relatif lebih tinggi, hampir dapat dikatakan sebagai suatu hukum sosial ekonomi ([Wrong, 1977:81] dalam Lucas, 1990:68).
Berdasarkan studi terdahulu tentang perkawinan belia dan sepengatahuan penulis, studi perkawinan belia dengan menitikberatkan pada perspektif sosial budaya dengan menggunakan pendekatan teori Dramaturgi, relative sedikit dilakukan. Dengan demikian studi perkawinan belian menarik kemudian dengan menggunakan perspektif teori dramaturgi.
Sumber Tulisan
Boedirochminarni. 2001. Faktor-faktor yang Berhubungan Terhadap Perkawinan Wanita Muda Usia di Pedesaan (Studi: Desa Sumberejo, kecamatan Pagak, kabupaten Malang ). Dept. Of Economic and Development Studies. Universitas Muhamadiyah Malang.
Caldwell, J.C. 2000. "Fertility (fertilitas)" dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Adam Kuper dan Jessica Kuper (ed.). Jakarta: RajaGrafindo Persada
Erving Goffman, 1959. The presentation of Self in everiday life.
Hasibuan, Muhammad Rajab . 2010. Penetapan Umur Dalam Rangka Mencapai Tujuan Pernikahan (Perbandingan Antara UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak). Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Hidayati, Widi. 2007. Analisis Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Perkawinan Wanita Usia Muda (Komparasi Hasil Dengan Studi Meta Analisis). Undergraduate thesis, Diponegoro University.
Lucas, D. 1990.. "Fertilitas" dalam Pengantar Kependudukan, David Lucas [et. al]. Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada dan Gadjah Mada University Press. Hlm. 53-78.
McDonald, P. 1990. "Perkawinan dan Nupsialitas" dalam Pengantar Kependudukan, David Lucas [et. al]. Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada dan Gadjah Mada University Press. Hlm. 79-93.
Nazaruddin, Pepen. 1998. Makna Kawin Muda dan Perceraian Upaya Memahami Masalah Sosial dan Perspektif Penyandang Masalah: Studi di Kecamatan Kandanghaur Kabupaten DT II Indramayu Propinsi Jawa Barat. UNSPECIFIED thesis, UNSPECIFIED.
Pamungkas, Ani dkk. 2006. Perkawinan Usia Muda: Jumlah Anak dan Fertilitas. Di ajukan Sebagai Laporan Akhir Kuliah Lapangan Antropologi Kependudukan di Kawasan Nelayan Kalisari, Kelurahan Mulyosari, Kecamatan Mulyorejo, Surabaya. Jurusan Antropologi . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Airlangga.
Puspitasari , Fitra. 2006. Perkawinan Usia Muda: Faktor-faktor Pendorong dan Dampaknya terhadap Pola Asuh Keluarga (Studi Kasus di Desa Mandalagiri Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya). Fakultas Ilmu Sosial Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Universitas Negeri Semarang. Skripsi.
Purnarni. 1992. perkawinan usia muda dan kaintannya dengan kematian balita.
Sarwono, Solita dan Santo Koesoebjono. 2004. Paradoks Program KB. Jumlah anak turun, lansia bertambah (Family planning paradox: fewer children, more elderly). Suara Pembaruan 12 November, d a l a m http://home.planet.nl/~koeso002/articles/ Paradoks%20KB.htm
Singarimbun, M. 1980. Faktor-Faktor Sosial dan Kebudayaan yang Mempengaruhi Fertilitas dan Mortalitas. Seri Kertas Kerja No. 17. Cetakan kedua. Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gajah Mada.
Singarimbun, M. 1986. Perubahan Perilaku Fertilitas di Sriharjo. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada.
Wahyudi, Hamzan. 2004. Tradisi Kawin Cerai Pada Masyarakat Adat Suku Sasak Lombok Serta Akibat Hukum Yang Ditimbulkannya (Studi Di Kecamatan Pringgabaya Kabupaten Lornbok Timur). Masters Thesis, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
Yuliana, 2006. Perbedaan Beberapa Masalah Yang Timbul Antara Wanita Yang Kawin Muda Dengan Wanita yang Kawin di Usia Ideal. Fakultas Kesehatan Masyarakat. UNAIR.