Perkawinan Belia Dalam Perspektif Teori Dramaturgi

Perkawinan Belia Dalam Perspektif Teori Dramaturgi

A. Latar Belakang
Penelitian ini akan mengkaji tentang perilaku “perkawinan belia” pada masyarakat desa Tegaldowo kecamatan Gunem Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Istilah pernikahan belia penulis pinjam dari istilah yang digunakan oleh Abdurrahman Wahid dalam artikelnya di harian umum Kompas terbit 20 November 1997. Ketertarikan penulis untuk mengkaji perkawinan belia, berangkat dari percakapan di tempat kerja yang tidak jauh dari lokasi yang disinyalir marak praktik perkawinan belia. Terlebih ketertarikan penulis pada hal tersebut ketika percakapan mengarah pada pola perilaku orang tua anak perkawinan belia yang lebih bangga jika anaknya janda, daripada anaknya yang akan lulus SD belum dilamar laki-laki calon suami gadis belia tersebut.
Pasca percakapan itu, segera penulis konsultasikan kepada dosen antropologi program pasca sarjana Unnes, yaitu Prof. Dr. Tri Marheni Puji Astuti. Dalam konsultasi singkat sembari berjalan menuju tempat parkir mobil seusai perkuliahan Metode Penelitian Sosial yang diiringi hujan rintik-rintik pada akhir tahun 2010, Prof Heni (sapaan akrap beliau) memberi masukan yang intinya bahwa penelitian yang menyangkut tentang masalah-masalah sosial budaya selalu aktual. Masalah-masalah sosial budaya yang masih ada di masyarakat itu salah satunya adalah perkawinan belia, ungkapnya. Dari percakapan singkat itu, penulis lanjutkan dengan browsing di internet yang berhubungan dengan perkawinan belia di lokasi yang akan dieksplorasi bahan tambang dan materialnya untuk bahan baku pabrik semen gresik.
Searching segera penulis lakukan dengan search engine Google. Pelacakan dokumen tentang perkawinan belia di desa Tegalowo tidaklah sulit. Beberapa portal webiste yang menyediakan informasi tentang perkawinan belia diantarnya dari wikipedia Indonesia, harian Kompas, website pemerintah kabupaten Rembang, dan beberapa blogging. Berikut ulasan singkat tentang pelacakan dokumen yang bersangkutan.
Ulasan yang memuat perkawinan belia di desa Tegaldowo dari wikipedia Indonesia:


Sering orang tua tidak mempedulikan apakah anak gadisnya mau dinikahkan atau tidak. Anak gadis usia belia di Tegaldowo banyak yang sudah menjanda, dan menurut tradisi di sana lebih diterima ketimbang menjadi perawan tua. Sebelum reformasi, cukup banyak terjadi anak perempuan usia di bawah usia 12 tahun dinikahkan dengan pria berusia 20 tahun lebih. Namun, sejak abad 21, tradisi menikahkan anak di bawah usia SD sudah amat jarang. Hanya pernikahan anak usia SLTP yang masih sering terjadi. Menurut data dari KUA Gunem, antara bulan januari 2008 sampai Juni 2009 tercatat 21 pernikahan di bawah usia 16 tahun. Hal ini terkait dengan kepercayaan yang mereka anut, yaitu bahwa jika orang tua memiliki anak perempuan dan ditanyakan atau diminta seorang pria untuk dinikahi harus diterima. Jika menolak, maka dipercaya anak itu takkan menemui jodoh kembali di kemudian hari” (http://id.wikipedia.org/wiki/Tegaldowo,_Gunem,_Rembang).
Perilaku perkawinan belia di Tegaldowo juga menjadi program perhatian pemerintah setempat. Pernyataan Bupati Rembang Jawa Tengah, Mochamad Salim dalam harian Kompas mengatakan:

"Kami sudah awali kegiatan sosialisasi dengan homestay KRR di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, kemarin. Kami pilih desa tersebut untuk sosialisasi pertama karena cukup banyak kasus pernikahan dini yang ditemukan," . berdasarkan data dari kantor urusan agama (KUA) kecamatan setempat, dalam kurun waktu tahun 2009-2009, jumlah kasus pernikahan dini sebanyak 21 kasus” (HU. Kompas; Sabtu, 31 Juli 2010).


Publikasikan dalam blogspot Radio-Rock Semarang dari wawancara yang dilakukan Noni Arni dengan seorang informan (pelaku dan pencatata nikah) pada bulan November 2009 juga memuat tentang perkawinan belia. Berikut transkip wawancaranya:


Noni: ”Dijodohin sama ibu..?”
Informan: “iya..”
Noni: “Setelah tahu dijodohkan?”
Informan: “Saya masih kecil jadi biasa saja, belum ada pikiran saya suka dengan pasangan saya. Saya belum mengerti, karena waktu itu masih kelas 4 SD saya mulai di jodohkan. Dua kali dijodohkan gagal dan perjodohan ketiga baru saya dinikahkan. Waktu menikah saya belum lulus SD ”
Ulasan perkawinan belia dalam transkip hasil wawancara Noni dengan Suwandi, seorang pegawai pencacat nikah di Tegaldowo:

Adat orang sini kalau punya anak perempuan sudah ada yang ngelamar harus diterima, kalau tidak diterima bisa sampai lama tidak laku-laku. Percaya hal seperti itu masyarakat di sini. Entah nantinya jodoh atau tidak tetep di terima. Habis saya terima nikahnya..terus besoknya sudah pulang itu banyak. Bisa diartikan dipaksa. Angka perceraianpun tinggi masalahnya kayak gitu”
Berdasarkan pelacakan dokumen tentang perkawinan belia di Tegaldowo, penulis berpandangan bahwa keputusan perkawinan belia cenderung didominasi oleh orang tua anak, bukan pelaku perkawinan belia. Terlebih melihat adanya orientasi kebutuhan sosial orang tua dalam bentuk nilai sosial dimana anak memiliki nilai tukar yang berharga dalam keluarga, ketika anak tersebut telah dikawini oleh laki-laki. Namun pandangan orang tua seolah-olah tidak mengedepankan masa depan kelangsungan hubungan perkawinan anak itu sendiri. Bahkan dalam pelacakan dokumen di atas dapat dilihat, bahwa orang tua tidak terbebani dengan status janda atau duda karena perkawinan belia memiliki pondasi hubungan yang labil. Jelas pandangan ini berseberangan dengan pandangan umum, dimana orang tua akan terbebani ketika anak-anaknya gagal dalam membangun hubungan keluarga.
Pandangan umum yang sama juga terlihat pada alasan medis dalam memandang perkawinan belia, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Ikatan Dokter Anak untuk menghentikan kebiasaan kawin muda yang dilansir dalam http://stat.k.kidsklik.com pada hari Senin, 3 November 2008:


"Secara medis anak perempuan usia di bawah 16 tahun masih dianggap belum matang secara seksual karena organ reproduksinya belum mengalami menstruasi sehingga tidak dianjurkan untuk menikah," kata Ketua Satgas Perlindungan Anak (IDAI) DR Rahmat Sentika di Jakarta”.
Resiko perkawinan belia memiliki dampak biologis dan psikologis pada pihak perempuan. Dampak biologis nikah belia yang dilansir oleh Suryadi Danuwisastra, Kepala Bidang KB dalam Pikiran Rakyat mengatakan:
Angka kematian ibu melahirkan terkait dengan usia ibu melahirkan, bisa karena terlalu muda, terlalu banyak, atau terlalu sering melahirkan. Ibaratnya, remaja sedang tumbuh lalu harus mengandung janin yang juga perlu ia beri makan. Rebutan dalam perkembangan, walaupun mungkin selamat, namun kualitas anak yang dilahirkan remaja tentu akan berbeda dengan yang dilahirkan perempuaan dewasa yang memang sudah siap untuk melahirkan” (HU. Pikiran Rakyat; 21 Maret 2007; 01).
Adapun dampak psikologis dalam perkawinan belia dilansir oleh dr. H.M. Zainie Hassan A.R., Sp.K.J. (ahli jiwa) dalam harian Pikiran Rakyat mengatakan:


Usia remaja menimbulkan persoalan dari berbagai sisi seperti pendidikan yang mungkin belum lulus SMA. Karena minim pendidikan, pekerjaan semakin sulit didapat dan berpengaruh pada pendapatan ekonomi keluarga,” ujarnya. Terlebih jika menikah muda karena ketelanjuran berhubungan seks. Ada penolakan keluarga yang terjadi akibat malu. “Ini bisa menimbulkan stres. Ibu hamil usia muda mempunyai risiko bunuh diri lebih tinggi, khususnya jika mereka hamil di luar nikah dan tanpa didukung keluarga” (HU. Pikiran Rakyat; 21 Maret 2007; 01).
Menurut penulis perlu dilakukan studi dalam upaya melihat perilaku perkawinan belia menurut sudut pandangan masyarakat Tegaldowo. Upaya ini penting dilakukan karena biasanya perilaku perkawinan belia dipandang dari perspektif etik (peneliti perkawinan belia) saja dan bukan dilihat dari perspektif emik (pelaku perkawinan belia). Tentunya untuk memahami perkawinan belia di Tegaldowo dengan baik, maka perlu memahami perkawinan belia dari perspektif emik.

B. Permasalahan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji dan memahami perilaku perkawinan belia dari perpektif pelaku perkawinan belia. Dalam hal ini penulis tertarik mengkaji dan memahami bagaimana masyarakat Tegaldowo dalam melihat perkawinan belia. Nilai apa yang diinterpretasikan dalam melakukan tindaka perkawinan belia.
Dalam mengkaji dan memahami perilaku perkawinan belia, penulis akan menggunakan beberapa konsep dari perspektif teori Dramaturgi dari Erving Goffman (1959) sebagai berikut:
  1. perilaku manusia sangat bergantung pada waktu, tempat, dan khalayaknya;
  2. dalam setiap perilaku manusia terdapat dua arena yaitu panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage); dan
  3. perilaku manusia dalam berinteraks-i akan menghasilkan makna.

C. Tujuan Penelitian
Secara garis besar penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui;
  1. karakteristik masyarakat Tegaldowo dalam perilaku perkawinan belia
  2. perspektif perkawinan belia pada masyarakat Tegaldowo
  3. peranan masyarakat dan pemerintah dalam memandang perkawinan belia

D. Manfaat Penelitian
  1. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi bagi pelaku pembangunan bidang kesejahteraan sosial terutama bagi mereka yang terlibat di dalam pembinaan generasi mudan dan pembinaan keluarga muda. Diharapkan dari penelitian ini nantinya dapat memberikan gambaran tentang masalah perkawinan belia. Oleh kerena itu nantinya hasil penelitian ini dapat dipahami oleh pelaksana program untuk lebih menyempurnakan dan lebih mengoptimalkan pelaksanaan program pembangunan bidang kesejahteraan sosial.

  1. Manfaat Teoritis
Memberikan masukan terhadap penulis dalam upaya memahami perilaku perkawinan belia dari sudut pandang pelaku perkawinan belia dengan menggunakan perspektif teori Dramaturgi dari Erving Goffman. Hal ini penting dipahami oleh para penulis tentang perilaku perkawinan belia yang terjadi di masyarakat. 

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama