Terdapat suatu kisah yang mengesankan sekaligus tragis dan mencengangkan. Pada suatu waktu, ada pengerjaan proyek jalan di desa tertinggal. Masyarakat gegap gempita menyambut proyek tersebut. Mereka berpandangan dengan dibangunnya jalan, dapat berhubungan antar warga dusun yang sebelumnya terhambat karena medan curam dan menegangkan.
Dalam bulan puasa proyek jalan itu dikerjakan. Dengan senang hati masyarakat memberi asupan gizi untuk pekerja di pagi siang dan sore hari. Sebagai rasa terimakasih masyarakat, mereka menempatkan dua orang dalam struktur sosial tinggi yang dianggap berjasa. Pertama adalah mantan DPR kabupaten dan kedua adalah si pemborong proyek. Orang pertama semakin yakin bahwa apa yang dilakukan adalah tindakan membangun bangsa. Orang pertama semakin semangat mencari akses pengajuan rencana pembangunan di anggaran pembangunan tingkat kabupaten. Demikian dengan orang kedua, seusai pembangunan proyek, menyumbangkan keuntungan proyeknya untuk membangun serambi masjid di desa tersebut yang masih berserak.
Singkat cerita, tidak lama kemudian hasil pengerjaan jalan itu rusak. Barangkali komposisi materi untuk betonisasi jalan desa tertinggal itu syarat dengan pengurangan. Barangkali jenis besi, semen, pasir, dan proses pencampuran berstandar di bawah rata-rata.
Masalah yang cukup serius diperbincangan dalam satu kasus di atas, dari sederetan kasus lainnya, adalah adanya penyimpangan program pembangunan. Misi suci para pembangun telah mendapatkan raport merah. Namun anehnya para pembangun itu tetap menganggap dirinya suci, karena telah menyisihkan keuntungannya untuk derma. Tampak terjadi kekacauan yang luar biasa, dimana mentalitas pembangunan bangsa yang turut aktif menciptakan sederetan problem bangsa yang luar biasa yaitu tarsir derma yang dijungkirbalikkan dengan simbol-simbol yang selama ini diyakini suci dan semakin sepi diperdebatkan karena alasan tabu.
Selama ini kita menganggap bahwa derma merupakan tindakan memberi untuk membangun negeri. Derma juga sebagai industri seribu wajah dalam menciptakan struktur sosial suci. Lantas apajadinya jika harta benda yang didermakan merupakan hasil dari menguntit anggaran pembangunan yang telah memiliki rambu-rambu ketat.
Suatu program pembangunan yang anggarannya dikuntit tentu saja kualitas hasil bangunannya buruk. Apa yang terjadi jika anggaran dalam membangun pendidikan, kesehatan, pendapatan perpajakan, sarana transportasi, irigasi, hingga anggaran untuk pertahanan dan keamanan dikuntit. Yang terjadi kemudian adalah pendeknya kenikmatan hasil pembangunan dan pendeknya siklus untuk mengganggarkan anggaran pembangunan yang sangat boros disatu tempat. Yang terjadi kemudian adalah naiknya biaya untuk pembangunan yang hanya akan meningkatkan kejahatan pembangunan.
Kejahatan pembangunan ini acapkali tidak disadari karena tindakan jahat yang dibungkus dengan kedok suci yaitu derma. Tindakan derma dapat dilakukan oleh siapa saja. Derma tidak pernah mempertanyakan apakah pelakukanya suka menguntit ongkos pembangunan. Bahkan derma tidak pernah mengusulkan syarat-syarat ketat akan pelakunya yang harus taat dalam menjalankan perintah akan bagaimana hidup berdampingan dengan lingkungan dan sosialnya. Namun derma selalu aktif dalam memberikan penghargaan sosial bagi para pelakunya.
Bagaimana kita dihadapkan dengan pelaku derma yang suka mengemplang pajak Negara, pelaku derma yang suka menghancurkan tanah ulayat, pelaku derma yang suka memungut ongkos nikah, pelaku derma yang mengobarkan keberanian para pencoleng dan perampok, pelaku derma yang mencuri kandungan mineral bumi di negeri ini, pelaku derma yang menjual air minum dengan harga yang tidak terjangkau pembeli, pelaku derma yang membuka fasilitas hiburan sesat, pelaku derma yang mengacaukan harga padi dan ternak petani, dan para pelaku-pelaku derma lainnya yang syarat akan penghancuran pembangunan negeri ini.
Kita sendiri tidak berani memposisikan derma sebagai perilaku kejahatan pembangunan. Karena dalam pikiran dan keyakinan kita telah disetting dalam memandang bahwa derma itu tindakan suci. Namun kenyataannya derma telah digunakan sebagai kedok suci oleh para penguntit anggaran pembangunan.
Barangkali kita perlu memberanikan diri dalam menggelontorkan tarsir alternatif tentang derma. Membaca derma tentu tidak cukup dengan tafsir suci. Derma perlu ditafsirkan sebagai tindakah akhir yang perlu dilacak tindakan sebelumnya. Mengapa dia melakukan derma barangkali merupakan pertanyaan klasik yang tidak perlu diutamakan. Pertanyaan dari mana harta benda yang didermakan barangkali usulan yang cukup diutamakan.
Mempertanyakan asal-usul dari mana harta benda yang didermakan merupakan tindakan kompleks. Tindakan ini merupakan tindakan yang tidak semata-mata melakukan interaksi antara penderma dengan penerima derma. Tindakan ini adalah suatu gerakan yang mampu menghidupkan kaidah-kaidah untuk bagaimana hidup berdampingan dengan lingkungan dan masyarakat dalam mencapai tatanan yang harmoni. Tindakan ini juga akan mampu menjadi industri kontrol sosial yang sedang ditinggalkan para masyarakat pramatis saat ini.
Lantas siapa kemudian yang akan mempertanyakan. Apa juga syarat-syaratnya bagi mereka yang berhak mempertanyakan. Karena ada kecenderungan dewasa ini, interaksi semakin dipersempit dengan bantuan teknologi di era global, dimana para penderma dan penerima derma tidak saling mengenal dari hati ke hati.