PENGARUSUTAMAAN NILAI-NILAI BUDAYA MASYARAKAT

PENGARUSUTAMAAN NILAI-NILAI BUDAYA MASYARAKAT


PENGARUSUTAMAAN NILAI-NILAI BUDAYA MASYARAKAT DALAM MEMILIH DAN MENJADI PEGAWAI NEGERI SIPIL
(Studi Dokumentasi Pada Surat Kabar Suara Merdeka Kolom Jawa Tengah)


Oleh. Suhadi Rembang


Abstrak


Penelitian ini diangkat dari dialog belantara teori mentalitas pembangunan bangsa dan kenyataan nilai-nilai yang berkembang di era kekinian. Penelitian ini menggunakan kasus yang sempit dengan batasan waktu tertentu, yaitu pagelaran pola pandang, sikap dan perilaku masyarakat yang memiliki kecenderungan memilih Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai profesi kerja utama. Penelitian ini menggunakan sumber data dokumentasi pada surat kabar Suara Merdeka kolom Jawa Tengah pada tahun 2003, 2004, 2006, 2007, dan 2008. Dokumentasi berita dalam surat kabar harian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang bertemakan tentang liputan, pandangan, dan beserta laporan perihal Pegawai Negeri Sipil. Penelitian kualitatif deskriptif ini mengenakan teori utama dalam menganalisis mengapa PNS menjadi pilihan utama dalam bursa kerja adalah teori dari Koentjaraningrat tentang mentalitas pembangunan, serta beberapa teori yang relevan untuk menjawab masalah tersebut, seperti pandangan dari Myrdal (1968) tentang tiga belas ciri-ciri sikap mental bangsa, dan beberapa hasil penelitian terdahulu juga menjadi acuan dalam menganalisis masalah yang diteliti.
Penelitian ini menemukan potret mentalitas pembangunan pada masyarakat di era kekinian adalah sebagai berikut; (1) Nilai-nilai budaya positif dalam mendorong masyarakat untuk memilih PNS menjadi pilihan utama antara lain; menghargai peluang, ada sikap terbuka dari pimpinan, pemerintah bangga, dengan banyaknya masyarakat yang orientasinya vertikal, bekerja sama energetis, konsisten, tepat waktu, displin, bertanggung-jawab, dan mengikuti rasio dalam mengambil keputusan dan tindakan. Selanjutnya, (2) Nilai-nilai budaya negatif yang membingkai masyarakat untuk memilih PNS menjadi pekerjaan utama diantaranya; tidak jeli dengan syarat, memperebutkan status, beroriantasi vertikal, perilaku nerabas, terbangunnya citra pemerintah yang masih buruk, cauvinistik, ketidakterbukaan, ketidakjujuran, mengembangkan upeti setara dengan jabatan, mengabaikan mutu, ingin dipatuhi dan dihormati, bergantung pada patron, tidak berdisiplin murni, kurang bertanggungjawab, tidak mau mempelajari mengapa orang lain bisa menjadi besar, ada anggapan kalau menjadi pns hidup sudah tenang, ada pegangan yang merasa terpandang, lemahnya semangat pengabdian, tidak jujur, selalu tidak puas (ngresulo), tidak kreatif, sikap menunggu perintah dan juga restu sang pemimpin, pemalas dan bergantung pada patron, memperebutkan status, bergantung pada patron, ketidakpastian, tidak jujur, tidak mengedepankan dan menjunjung tinggi sportifitas, kejujuran, dan keterbukaan, tidak konsisten, kurang bertanggungjawab, suka mencari jalan pintas, mengejar pangkat, jabatan, kedudukan, dan simbol-simbol prestise, bergaya hidup yang memiru-niru budaya barat, ingin tampil beda dengan berbagai fasilitas glamour, orientasi vertikal.

Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pengarusutamaan nilai-nilai budaya pada masyarakat dalam memilih dan menjadi Pegawai Negeri Sipil adalah sebagai berikut; (1) Produksi nilai-nilai budaya yang sifatnya mendorong untuk pembangunan bangsa, relatif masih sangat minim. (2) Nilai-nilai budaya yang dianggap mampu mendorong pembangunan bangsa seperti nilai berani bersaing, tidak malu, berjuang sejak kecil, efisien, bersandar pada kekuatan sendiri, penguasaan ilmu dan teknologi, kesediaan untuk berubah, kegesitan dalam mempergunakan kesempatan yang muncul, mau kerjasama dan kesediaan untuk memandang jauh ke depan, kerja keras, jujur, rajin, tebal iman, dan mendidik anak-anaknya supaya tidak mau yang enak-enak saja, masih belum tampak kuat dalam membangun karakter budaya masyarakat. (3) Namun sebaliknya, nilai-nilai budaya yang dipandang menghambat pembangunan,tampak mendominasi dalam karakter pola pikir masyarakat.


Kata Kunci: Mentalitas Budaya, Pegawai Negeri Sipil, Pembangunan 


Pendahuluan

Rosidah: ...yang meminta secara langsung, terang-terangan Pak. Ada yang meminta Rp 20 juta, terus ada yang lebih tinggi lagi, Pak ada yang Rp 30 juta. Jadi sudah berkali-kali mencoba mendaftar PNS tapi kalau tidak ada uangnya terang-terangan tidak bisa  diterima.

Sumanto: Saya beberapa kali mengikuti PNS wah nyatanya dari dulu masih begitu. Kita belum mulai saja kita sudah dimintai uang dulu, diiming-imingi macam-macam. Setelah sampai puncaknya, wah nggak ada hasilnya. Bahkan nilai sogokan kini makin besar saja. Di Bengkulu tarif sogokan untuk menjadi PNS bagi yang berijazah sarjana berkisar antara Rp 40-50 juta, sementara lulusan D3 sekitar Rp 35 juta. Nilai hampir serupa, berkisar Rp 30-40 juta, berlaku di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.

(Sumber: Petikan Dokumentasi Radio Nederland pada hari Kamis tanggal 04 November 2004, dalam acara Keluhan Seorang Guru Sukarelawan di Bekasi Jawa Barat ini disampaikan ke depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono).

Dua petikan di atas merupakan realitas dilapangan, dimana status Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih menjadi pilihan utama dalam kerja. Hal itu dapat dilihat dengan saling berebutnya kursi PNS antara peserta dengan peserta, peserta dengan penyelengara, dan antara penyelenggara dengan penyelenggara. Walaupun masih banyak proses perekrutan CPNS dengan baik dan benar, namun praktik tercela pun tidak dapat dipungkiri/dihindari, saling sogok, korupsi, kolusi dan nepotism, sebagai wujud bahwa terjadi praktik tercela. Mereka yang menganut sistem perekutan CPNS dengan paktik tercela, diterima dan tidak diterima, jelas mengundang resiko dan konsekwensi. Jika peserta itu diterima menjadi CPNS, konsekwensinya adalah secepat mungkin untuk mengenakan siasat agar modal untuk menyogok menjadi CPNS segera tergantikan. Sebalikya, jika peserta tidak diterima menjadi CPNS, maka resikonya adalah tidak kembalinya modal yang diberikan kepada kepenyelenggara perekrutan CPNS.
Mengapa PNS masih menjadi ppilihan utama dalam mendongkrak status ekonomi dan sosial seseorang. Banyak alasan yang dilontarkan dalam menanggapi mengapa pilihan PNS masih nangkring dalam bursa kerja pasca masa pendidikan. Salah satunya, karena dengan menjadi PNS, kepastian ekonomi pada masa mendatang tidak diragunkan, dan jika pandai membangun akses kekuatan ekonomi di level struktur kelembagannya, yang bersangkutan tidak sulit untuk membangun dinasti, yang kemudian dapat diunduh oleh anak cucu nanti. Dengan demikian, jika menjadi PNS, hidup akan tenang, ada pegangan, dan merasa terpandang.
Dinamika Pegawai Negeri Sipil dalam merengkuh profesinya, tidak lepas dari bayang-bayang akan jaminan hidup berupa gaji dan tunjangan pensiun dari pemerintah. Apalagi dalam dunia PNS, rajin atau malas sama saja. Pemecatan nyaris tidak ada, jika haus dipecat, prosedurnya demikian panjang. Sementara sektor informal atau wirausaha yang mensyaratkan persaingan dan etos kerja secara mandiri tidak terlalu diminati. Padahal, dalam era globalisasi, di mana ukuran prestasi menjadi segalanya, jiwa kemandirian merupakan keniscayaan.
Mengapa CPNS masih menjadi pilihan nomor wahid setiap anak bangsa di negeri ini. Dalam penelitian ini menjawab persoalan di atas. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menjawab dari sisi nilai-nilai budaya, dimana masyarakat cenderung memilih PNS menjadi pilihan utama dalam bursa kerja. Nilai-nilai budaya dalam masyarakat akan dibongkar, yang dipandang sebagai nilai manifes dalam membangkitkan pilihan tersebut. Melalui data-data yang masih terserak di media massa, potret bangunan nilai-nilai budaya masyarakat dalam memilih PNS pilihan kerjaan dan status sosial, dipilih menjadi sumber penelitian ini.  

Metode penelitian
Penelitian ini menggunakan sumber data dokumentasi. Dokumentasi yang digunakan bersumber dari media massa cetak, yaitu surat kabar harian. Surat kabar harian yang digunakan yaitu surat kabar Suara Merdeka. Dokumentasi berita dalam surat kabar harian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang bertemakan tentang liputan, pandangan, dan beserta laporan perihal pegawai negeri sipil. Tema berita yang diambil berasal dari kolom Jawa Tengah. Data tentang liputan tentang PNS yang dimaksud adalah berita yang isinya menyuguhkan tentang proses pendaftaran dan test yang digelar oleh lembaga berwenang dan diikuti oleh calon peserta tes pegawai negeri sipil. Data tentang pandangan PNS yang dimaksud adalah opini atau wacana yang bertemakan tentang pegawai negeri sipil meliputi: pemikiran, perilaku, dan keinginan para calon dan PNS, dari tokoh/pengamat/ahli/seseorang yang opini/wacana/pentapatnya di muat dalam surat kabar di atas. Selanjutnya, data penelitian dalam bentuk laporan yang dimaksud adalah hasil investigasi/riset yang dilakukan oleh surat kabar di atas, yang mengusung tentang pegawai negeri sipil. Sumber data penelitian dibatasi dengan rentang waktu 3 tahun terakhir, yaitu mulai tahun 2003, 2004, 2006, 2007, dan 2008. Penelitian kualitatif deskriptif ini mengenakan teori utama dalam menganalisis mengapa PNS menjadi pilihan utama dalam bursa kerja adalah teori dari Koentjaraningrat tentang mentalitas pembangunan, serta beberapa teori yang relevan untuk menjawab masalah tersebut, seperti pandangan dari Myrdal (1968) tentang tiga belas ciri-ciri sikap mental bangsa, dan beberapa hasil penelitian terdahulu menjadi acuan dalam menganalisis masalah yang diteliti.

Kajian Pustaka
Bentuk masyarakat seperti apa yang ingin kita capai dengan pembangunan kita. Itulah pertanyaan pembuka Koentjaraningrat (2000,23) dalam buku “Mentalitas, Kebudayaan dan Pembangunan”. Hal ini masih belum dikonsepsikan bangsa Indonesia. Berbagai suku bangsa, berbagai aliran, dan berbagai golongan dalam negara kita yang demikian banyaknya itu mungkin sudah mempunyai konsepsi konkret untuk di tuju bersama tidak ada. Jelaslah bahwa model-model dari masyarakat-masyarakat sekarang sudah maju tak mungkin dapat kita contoh begitu saja, karena memang sukar untuk mengejar suatu hal yang  sudah terlampau jauh di depan. Bahkan model masyarakat Jepang-pun tidak dapat kita tiru, karena lingkungan alam, komposisi penduduk negara, struktu masyarakat, aneka-warna kebudayaan, sistem nilai budaya, dan agama-agama di negara Indonesia memang berbeda dengan di Jepang.
Suatu nilai budaya perlu dimiliki oleh lebih banyak manusia Indonesia dari semua lapisan masyarakat adalah nilai budaya yang berorientasi ke masa depan. Suatu nilai budaya semacam itu akan mendorong manusia untuk melihat dan merencanakan masa depannya dengan lebih seksama dan teliti, dan oleh karena itu akan memaksa manusia untuk hidup berhati-hati dan untuk berhemat. Kita semua tahu bahwa sifat hemat yang meluas itu amat perlu untuk memungkinkan suatu bangsa menyisishkan sebagian dari pendapatannnya untuk mengakumulasi modal. Suatu nilai budaya lain yang juga perlu adalah nilai-budaya yang berhasrat untuk mengeksplorasi lingkungan alam dan kekuatan-kekuatan alam. Suatu nilai semacan itu akan menambah kemungkinan inovasi, terutama inovasi dalam teknologi (Koentjaraningrat,2000,34). Suatu mentalitas yang menilai tinggi mutu dan ketelitian itu sebenarnya memelurkan suatu orientasi nilai budaya yang menilai tinggi hasil dari karya manusia. Sasaran orientasi dari karya sehausnya merpakan hasil dari karya itu sendiri, dan bukan misalnya hasil berupa harta untuk dikonsumsi, atau hasl berupa kedudukan sosial yang menambah gengsi. Tujuan orientasi dari karya demi hasil karyanya dan kepuasan dari karya itu sendiri (Koentjaraningrat,2000,35).
Nilai budaya yang perlu dikembangkan selanjutnya adalah nilai budaya yang menilai tinggi usaha orang yng dapat mencapai hasil, sedapat mungkin atas usahanya sendiri. Nilai ini memang agak ekstrim, dan jika dilanjutkan akan menuju bahaya ke arah individualisme, dan jika berkembang lagi akan ke arah isolisme. Namun nilai-budaya bangsa Indonesia dominan ke arah individualisme. Hal ini dapat dilihat diantaranya; nilai yang terlampau berorientasi certikal ke arah atasan, ke arah orang yang senior, ke arah orang yang berpangkat tinggi, yang selalu harus dimintai restu dulu. Nilai yang terlampau berorientasi vertikal ke arah atasan, akan mematikan jiwa yang ingin berdiri sendiri dan berusaha sendiri, dan akan menyebabkan timbulnya sikap tak percaya kepada diri sendiri. Nilah itu juga akan menghambat tumbuhnya rasa disiplin pribadi yang murni, karena orang hanya akan taat ketika ada pengawasan dari atasan, tetapi akan merasa tak terikat lagi ketika pengawasan tadi menjadi kendor atau pergi. Akhirnya nilai yang terlampau pada atasan akan juga mematikan rasa tanggung jawab sendiri, tetapi akan membiakkan rasa condong untuk selalu melempar tanggung jawab ke atas, atau kalau tidak bisa, untuk selalu membagi rata tanggung jawab itu dengan orang lain, sehingga tanggung jawab sendiri itu menjadi kecil (Koentjaraningrat,2000,35-36).
Dengan singkat, suatu bangsa yang hendak mengintensifkan usaha untuk pembangunan harus berusaha agar banyak dari warganya lebih menilai tinggi orientasi kemasa depan,dan demikian bersifat hematuntuk bisa lebih teliti memperhitungkan hidupnya di masadepan; lebih menilai tinggi hasrat eksplorasi untuk mempertinggi kapasitas berinovasi; lebih menilai tinggi orientasi ke arah achivement dari karya; dan akhirny menilai tinggi mentalitas berusaha atas kemampuan sendiri, percaya kepada diri sendiri, berdisiplin murni dan berani bertanggung jawab sendiri (Koentjaraningrat, 2000,36).
Koentjaraningrat (2000,37) membagi tipologi mentalitas bangsa Indonesia menjadi dua, yaitu tipologi mentalitas petani (pedesaan) dan tipologi mentalitas priyayi (orang kota). Menurut konsepsi oarang priyayi kebahagiaan dapat dicapai jika kedudukan, kekuasaan, dan lambang-lambang kelahiriah dari kemakmuran (rumah kamar dekan dan belakang tampak megah, kaya dan mengagumkn, tetapi dapurnya gelap, kotor dan tak terurus, sedangkan kamar mandi dan wc nya rusak dan kotor). Pandangan di atas menurut koentjaraningrat, merupakan pandangan hakekat dari hidup dan karya manusia, yang idak cocok dengan jiwa pembangunan. Hal ini menurut Koentjaraningrat, dapat dilihat seperti sekolah yang hanya mengejar ijazah, bukan mengejar ketrampilan yang di ajarkan.
Selanjutnya mentalitas dari nilai budaya mengenai persepsi manusia mengenai waktu. Mentalitas priyayi jawa menurut koentjaraningrat terhadap waktu, lebih banyak di tentukan oleh masa lampau. Rutinitas keseharian priyayi selalu sama, dari dulu hingga sekarang. Rasa sentimen yang berlebihan pada benda-benda pusaka dari nenek moyangnya, perhatian terhadap mitologi, silsilah, dan karya-karya pujangga-pujangga kuno, serta diselingi upacara-upacara yang terkesan rumit dalam memelihara benda-benda pusaka, relatif memarnai kehidupan nya dari hari kehari, dari tahun ketahun. Menurut koentjaraningrat, dengan berorientasi ke waktu lampau, akan mempengaruhi kemudian pada kemampuan seseorang dalam melihat masa depan. Motivasi menabung, hidup hemat, cenderung jauh dari alam pikiran priyayi Jawa, hal inilah yang menghambat keperluan dalam hal membangun (Koentjaraningrat,2000,39).  
Bagaimana masalah hakekat hubungan manusia dengan alam, apakah model hakekat ini mempengaruhi mentalitas pembangun. Bagi koentjaraningrat, masyarakat petani di indonesia cenderung tidak mampu menguasai alam, sehingga falsafah yang dimilikinya adalah harus selalu hidup selaras dengan alam. Selanjutnya, untuk kalangan priyayi kota, dalam kesehariannya tidak berhubungan langsung dengan alam, karena golongan ini bekerja di kantor-kantor. Pola ynag terlihat menurut Koentjaraningrat adalah tradisi saraseha, berkumpul berdiskusi sambil minum teh hangat. Pola tersebut terkesan lari dari masalah dan kebutuhannya. Dengan berlebihan pandangan yang dimiliki para priyayi, bahwa hidup tidak dapat lepad dari orang dan alam sekitar. Pandangan yang muncul kemudian adalah dengan hidup yang tergantung pada nasib. Menurut koentjaraningrat, mentalitas bergantung pada nasib, buruk dan tidak cocok dengan jiwa pembangunan. Nilai budaya mengenai hubungan manusia dengan sesamanya. Mentalitas petani indonesia memiliki konsep sama rata, dan sama rasa. Dengan demikian, mentalitas petani indonesia tidak ada yang bervisi kompetitif dalam mengembangkan ide, tindakan dan karyanya untuk menonjol. Menurut Koentjaraningrat, sikap konformisme inilah yang tidak mendukung terbentuknya jiwa pembangunan (Koentjaraningrat,2000,41).
Menurut Koentjaraningrat (2000,45) kelemahan mentalitas pembangunan bangsa Indonesia pasca revolusi, yang bersumber pada kehiudpan penuh keragu-raguan dan kehidupan tanpa pedoman dan tanpa orientasi yang tegas itu adalah; (1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu; (2) sifat mentalitas yang suka mnerabas; (3) sifat tak percaya kepada diri sendiri; (4) sifat tak berdisiplin murni; dan (5) sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.
Koentjaraningrat (2000,50) menambahkan tentang apakah orientasi vertikal itu cocok dengan  pembangunan. Mentalitas priyayi yang cenderung berafilisasi di sektor sruktural cenderung berorientasi vertikal. Sikap manut, tunduk, selalu minta petunjuk kepada atasan, mengabdi untuk mendapatkan jabatan, dan masih banyak perilaku yang berorientasi vertikal, menurur Koentjaraningrat, akan menumbuhkan sifat tak percaya kepada diri sendiri. Dua, sifat tidak berdisiplin murni. Para priyayi di kota-kota selalu bermisi untuk terbaik di depan atasannya. Dengan tampil selalu baik, yang bersangkutan akan mendapatkan restu untuk menduduki posisi tertentu. Sehingga yang dilakukan adalah disipln tidak murni (disiplin semu), dimana para priyayi di perkantoran hanya menyelesaikan tugas dan kuajibannya pada saat atasan menungguinya, selebihnya tidak produktif dan saling menikam antar strata, pada saat atasan tidak menungguinya. Ketiga adalah sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab sendiri.  Panorama mengabaikan tanggung jawab oleh para priyayi di kantor-kantor perkotaan sudah menjadi pemandangan yang familier. Priyayi yang menduduki posisi, dengan demikian memiliki peran. Dalam memainkan peran di kantornya, selalu berhubungan dengan bidang garapan yang harus dipertanggung jawabkan. Priyayi kantoran yang berposisi di bidang alat kantor, biasanya diberi tanggung jawab untuk menegelola (memfasilitasi penggunaan, memelihara, menjaga, dan memperbarui). Hal ini juga berlaku bagi priyayi kantoran yang dipercaya membidani masalah keuagan, kepegawaian, keamanan, dan lain-lain. Dari peran priyayi kantoran di atas, menurut Koentjaraningrat, hanya bertanggung jawab pada saat ditunggui atasannya. Sebaliknya jika tidak ditunggui atasannya, para priyayi yang bersangkutan tidak mengindahkan peran dan fungsinya, dengan meninggalkan begitu saja akan tanggung jawabnya (Koentjaraningrat,2000,54).

Nilai budaya dan bisnis

Kebudayaan menurut Kontjaraningrat, sedikitnya terdiri atas empat wujud; kebudayaan fisik, sistem sosial, sistem budaya, dan nilai budaya. Antropolog indonesia ini mengatakan, budaya yang lebih abstrak letaknya di kepala seseorang, dibawa kemana-mana. Dalam petikannya Wawancara Bisnis Indonesia pada tanggal 18 April 1996 menggambarkan nilai budaya di bawah ini;

“Orang Jawa punya kebudayaan Jawa, tapi orang Jawa yang mahasiswa dengan orang Jawa yang penari, lain sistem budayanya. Ada yang lebih dalam lagi, yaitu nilai budaya. Orang seenak-enaknya saja memakai istilah budaya, nilai budaya dan lain-lain. Semua dicampur adukkan. Nilai budaya adalah hal-hal di kepala kita yang dipelajari sangat dini sekali dalam daur hidup. Jadi sudah dipelajari sejak balita. Mentalitas itulah nilai budaya. Nilai budaya pada tiap kebudayaan ada di tengah, menentukan segala hal, baik perilaku, cara berfikir, hasil karya, dan sebagainya. Semuanya terpusat dalam jiwa orang. Untuk mengubahnya butuh satu generasi”.

Dalam mengomentari pengusaha-pengusaha  Indonesia, Koentjaraningrat mengatakan, memang nilai-nilai yang diperlukan untuk membangun ekonomi misalnya berani mengambil risiko, berani bersaing, konsisten, tidak malu, pada pengusaha-pengusaha Indonesia masih lemah. Pengusaha Indonesia sebagian besar tidak mau mempelajari mengapa orang lain bisa menjadi besar walau mulainya dari usaha sangat kecil. Hal ini bertolak-belakang dengan pedagang dari keturunan Cina. Menurut Koentjaraningrat, setiap bangsa imigran, pasti kuat dalam bidang ekonomi, sebab mereka perlu berjuang sejak kecil karena tidak berada di negeri sendiri, mereka harus melindungi diri. Koentjaraningrat juga menggambarkan para imigran Yahudi di Eropa, dimana orang Yahudi sebagai orang yang diusir, mereka harus berjuang lebih baik, mereka terpaksa  mengajarkan kepada anaknya, kalau tidak berusaha, apa mau jadi orang minta-minta. Sejak dari kecil orang Yahudi mendidik anak-anaknya supaya tidak mau yang enak-enak saja.
Koentjaraningrat memandang, orang-orang birokrat/pegawai lebih lemah lagi dalam berdagang. Dalam lingkungan kepegawaiannya, mereka tidak diajar untuk bersaing. Datang di kantor, kemudian membaca koran, dan kalau sudah tiba waktunya juga nanti naik pangkat sendiri. Walapupun beberapa orang ada yang ingin lebih tinggi dan lebih tinggi lagi, mereka mungkin sukses mencapai pangkat tinggi, tapi ya begitu saja. Tipikal orang seperti di atas, menurut Koentjaraningrat tidak dapat disuruh untuk jari pedagang, sebab ada kendala lain seperti malu.

Sikap Mental dan Etos Kerja Di Kalangan Birokrasi

Sikap mental selalu berkaitan dengan nilai-nilai yang menjadi landasan etos kerja. Sedangkan nilai-nilai yang dianut berasal dari  berbagai sumber antara lain agama, filsafat dan kebudayaan yang dianut oleh suatu bangsa atau masyarakat tertentu. Nilai-nilai mana yang lebih dominan untuk menimbulkan etos kerja yang tinggi sangat ditentukan oleh proses adopsi dan adaptasi serta pengahayatannya. Sikap mental yang positif dan ideal sangat diperlukan sebagai aparat birokrasi. Myrdal (1968) mengajukan tiga belas ciri-ciri sikap mental yang seharusnya dimiliki bangsa-bangsa Asia kalau mau berhasil dalam pembangunan yaitu: efisiensi, kerajinan, kerapian, tepat waktu, mengikuti rasio dalam mengambil keputusan dan tindakan, kesediaan untuk berubah, kegesitan dalam mempergunakan kesempatan yang muncul, bekerja sama energetis, bersandar pada kekuatan sendiri, mau kerjasama dan kesediaan untuk memandang jauh ke depan. Sikap  ental yang demikian memang baik dan berguna di kalangan birokrasi dan sekaligus menumbuhkan etos kerja modern yang menuju pada efektifitas dan efisiensi yang optimal. Namun masih perlu ditambah sikap dan taqwa serta penguasaan ilmu dan  teknologi.
Pertanyaannya adalah bagaimana sikap mental aparat birokrasi kita. Berbagai jawaban dengan bermacam argumen dapat dikemukakan namun satu hal yang pasti bahwa sikap mental aparat birokrasi sebagian besar masih belum sesuai dengan tuntutan pembangunan. Masih nampak gejala-gejala sikap mental yang negatif antara lain kurang bertanggungjawab, suka mencari jalan pintas, mengabaikan mutu, bergaya hidup yang memiru-niru budaya Barat. Sikap-sikap yang demikian menimbulkan etos kerja yang rendah dan produktifitas kerja rendah pula baik kuantitas maupun kualitasnya. Di kalangan pegawai negeri atau aparat birokrasi masih dominan mentalitas "priyayi" yang tidak sesuai dengan fungsinya sebagai abdi masyarakat dan abdi negara. Mereka pada umumnya bekerja untuk mengejar pangkat dan jabatan serta kedudukan dan simbol-simbol prestise tertentu. Oleh karena itu bagi mereka prestasi tidak diutamakan bahkan tidak sedikit yang menganggap prestasi bukan kebutuhan. Sehingga "need for achievement'" sebagaimana yang dikemukakan oleh Mc Clelland (1977) masih rendah.
Di samping itu mentalitas lain yang masih cukup menonjol adalah sikap konservatif dan tidak mampu memandang jauh ke depan. Timbul perasaan yang selalu tidak puas (ngresulo), tidak kreatif, kurang inisiatif, mudah mencela orang dan sebagainya. Orientasi vertikal aparat birokrasi juga masih sangat kuat. Mereka memandang para pemimpin atau atasan harus dipatuhi dan dihormati. Dampaknya yang segera kelihatan adalah sikap  menunggu perintah dan juga restu sang pemimpin.
Dalam konteks sejarah, sikap mental demikian tidak hanya berlaku dikalangan “priyayi” Jawa tetapi sudah melanda mereka yang bukan Jawa. Mentalitas “priyayi” tersebut banyak disebabkan oleh pengaruh Kolonialisme dan feodalisme dan pada umumnya menimpa kalangan elit birokrasi bukan pegawai kecil. Masalah rendahnya etos kerja di kalangan birokrasi rupa-rupanya bukan masalah "orang kecil" atau pegawai rendahan tetapi lebih merajalela di kalangan elit birokrasi. Bagi pegawai rendahan asal mereka dihargai sebagai manusia dengan nilai-nilai, pandangan-pandangan dan kebutuhan-kebutuhannya, mereka dengan sendirinya akan bekerja dengan rajin, teliti, setia dan inovatif.
Franz von Magnis (1978) mengatakan, yang mengkorupsikan kualitas moral manusia ialah struktur-stuktur kekuasaan yang eksploitatif dimana orang hanya maju asal "ikut main". Yang kita butuhkan adalah etos tanggung jawab dari kalangan elit birokrasi, suatu etos kerendahan hati dan tahu diri agar bisa menghormati setiap insan otonomi dalam masyarakat termasuk didalamnya “orang kecil” dan merasa selalu terhadap perbedaan-perbedaan sosial yang sedemikian mencolok.
Menurut Ismani (2001;30) banyak kalangan elit birokrasi yang ingin tampil beda dengan berbagai fasilitas glamour yang sebenamya tidak sesuai dengan penghasilannya sebagai pegawai negeri. Bagi mereka yang demikian itu sudah pasti etos kerja dan disiplinnya rendah. Kesetiaan dan kepatuhan pada profesinya pantas diragukan dan fungsinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat ditelantarkan Oleh karena itu usaha meningkatkan disiplin dan etos kerja di kalangan birokrasi perlu diintensifkan di tingkat atas karena mereka menjadi panutan bagi kalangan bawah. Etos kerja, disiplin dan motivasi tidak bisa dipisahkan satu sama lain dalam meningkatkan produktifitas kerja.
Salah satu bukti antusiasme masyarakat terhadap lowongan CPNS: meski tanggal pendaftaran baru dibuka minggu ketiga Januari tahun ini, tetapi sudah sejak pertengahan Agustus tahun lalu, Kantor Dinas Depnakertras di setiap kabupaten/kota diserbu masyarakat yang ingin mencari kartu kuning. Untuk apa membuat kartu kuning, pasti jawabnya seragam: "sebagai syarat mendaftar PNS". Fenomena ini menunjukkan bahwa hingga detik ini status PNS atau birokrat masih menjadi obsesi sebagian besar masyarakat. Mengapa?
Pertanyaan tersebut mengantarkan kita pada telaah mengenai sejarah panjang birokrasi di negeri ini. Sebagaimana pernah diungkap Dr Kuntowijoyo dalam bukunya Demokrasi dan Budaya Birokrasi (Bentang Budaya: 1994), untuk memahami birokrasi di negara kita perlu menyimak tiga fase perkembangan. Ketiga fase itu meliputi: masa kerajaan, masa kolonial, dan masa negara nasional (Marwanto, 2007)
Dari ketiga fase perkembangan birokrasi tersebut dapat diketahui bahwa corak (kultur) birokrasi kita saat ini merupakan warisan birokrasi model kerajaan, terutama kerajaan agraris. Prof Dr Nurcholish Madjid dalam salah satu artikelnya membenarkan bahwa birokrasi kita saat ini memang banyak diisi oleh mereka yang memiliki mentalitas kultur pedalaman (ciri khas kerajaan agraris). Sebab, sejak negara nasional terbentuk, golongan yang lebih siap menduduki (dan telah mempunyai pengalaman di bidang) jabatan birokrasi adalah para pendukung budaya pedalaman. (Jawa Pos, 7/1/1997)
Pertama, pada zaman kerajaan, di mana kedudukan birokrasi disebut dengan nama abdi dalem, sebuah istilah yang lebih berorientasi melayani raja daripada rakyat. Dalam perjalanan waktu, para abdi dalem ini menjadi kelas sosial tersendiri, berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Apalagi, kedudukannya kemudian diperkuat dengan berbagai atribut -- yang diperoleh dari kerajaan -- misalnya pangkat atau gelar. Mereka juga didoktrin dengan berbagai buku piwulang (ajaran) menyangkut etika dan sikap patuh kepada raja.
Fase kedua, ketika penjajah datang (masa kolonial), birokrasi dikenal dengan sebutan priyayi atau ambtenaar. Seperti kita ketahui, tujuan pemerintah kolonial adalah eksplorasi ekonomi dan penguasaan politik. Dan, untuk menjalankan dua tujuan itu dibentuklah birokrasi. Sehingga, kedudukan birokrasi saat itu tak lebih sebagai kepanjangan tangan pemerintahan kolonial. Jadi, sama halnya dengan abdi dalem, priyayi juga mempunyai kedudukan atau status yang istimewa dalam masyarakat. Karena fungsinya merupakan kepanjangan tangan pemerintah kolonial, para priyayi acap kali menempatkan dirinya sebagai bagian dari kekuasaan kolonial, sebagaimana para abdi dalem menganggap dirinya bagian dari kekuasaan kerajaan.
Terakhir, ketika negara nasional terbentuk, birokrasi kita dikenal dengan nama pegawai negeri. Sama seperti dua masa sebelumnya, pegawai negeri juga memiliki strata sosial yang khusus dibanding masyarakat umum. Kalau kita menyimak berbagai kegiatan atau hajatan yang ada di kalangan masyarakat luas, maka akan selalu terlihat keterlibatan orang-orang terpandang (berstatus PNS). Dan, meski telah ada berbagai perubahan (reformasi), sama seperti abdi dalem maupun priyayi, pegawai negeri juga masih sering mengidentikan dirinya bagian dari kekuasaan (status-quo).

Studi terdahulu
Dzaujak Ahmat (Kompas, 2003) mengungkapkan penelitian seorang barat yang menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia dalam bekerja cenderung menginginkan menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Penelitian itu benar adanya, kenyataan yang berkembang ditengah masyarakat memang demikian. Bahkan ada anggapan kalau menjadi PNS hidup sudah tenang, ada pegangan yang merasa terpandang. Tidak heran kemudian setap tahun bila ada pembukaan CPNS ribuan dan mungkin jutaan serjana di negeri ini berlomba-lomba untuk mendaftar. Padahal bila direnungi, sebenarnya realitas masyarakat seperti ini menunjukan sikap yang memalukan dan sama sekali tak patut dibanggakan. Mengapa ? berlomba-lomba menjadi PNS sebenarnya menunjukan watak khas kerja (etos) masyarakat yang lemah, pemalas dan bergantung pada patron (baca: pemerintah).
Dalam cacatan memori Nicolas Engelhard tertanggal 15 April 1805 mengungkapkan pengalamannya, bahwa ia menjadi kaya raya ketika menjabat sebagai Gubernur Pantai Timur Laut Jawa lantaran orang-orang pribumi yang ingin mendapatkan jabatan dari dia membawa upeti berupa uang, barang dan jasa lain yang jumlahnya sesuai dengan jenjang jabatannya (fokus Kompas, 17/8/2003). Apa yang dialami Engelhard pada 1805 tetang kebiasaan watak pribumi masih dapat dirasakan saat ini. Untuk dapat bekerja atau duduk pada jabatan tertentu tidak jarang harus pakai uang pelicin, main sogok, menggunakan ijazah palsu, dan menghambur-hamburkan kekayaan.
Jatman (2002: 66), dalam suatu penelitiannya yang berjudul “Me-ngembangkan Budaya Kerja untuk Meningkatkan Citra Pegawai Negeri Sipil Dalam Masyarakat”, mengatakan bahwa kritik yang paling keras terhadap Pegawai Negeri Sipil Re-publik Indonesia adalah lemahnya semangat pengabdian serta sikap “rewes’ mereka pada kepentingan publik. Dikatakan, bahwa pada masa di mana negara (state) terpilah de-ngan masyarakat (civil society), maka mengabdi kepada ne-gara tidak dengan sendirinya mengabdi kepada masyarakat. Secara individual, tentu tidak semua orang siap dan rela un-tuk menjadi pelayan bagi masyarakat. Dicontohkan oleh Jatman bahwa ciri mentalitas manusia Indonesia, yang per-nah diungkapkan oleh Kuntjaraningrat seperti: tidak berori-entasi ke masa depan, tidak hemat, tidak menghargai mutu, suka “nrabas”, dan tidak berdisiplin murni, dalam tataran tertentu juga merasuk ke dalam mentalitas Pegawai Negeri Sipil. Ini berarti bahwa mengesampingkan mutu – termasuk mutu kerja atau kinerja – sama dengan merendahkan martabat manusia itu sendiri.
Agus Suryono, dalam disertasinya mengatakan pandangan hidup birokrat yang berisikan nilai-nilai budaya lokal, berpengaruh kuat terhadap nilai-nilai etos kerja birokrasi. Nilai-nilai budaya lokal (Jawa) yang diterapkan dalam kepemimpinan birokrasi cenderung bernuansa kekuasaan (model elitis) yang menempatkan hubungan pimpinan dan bawahan, atau hubungan petugas pelayanan dan masyarakat yang dilayani berdasarkan hirarki atas-bawah, atau hubungan bapak-anak buah (patron and client relationship), yang sering disebut model birokrasi patrimonial dan neopatrimonial.
Demikian pula terhadap sikap kerja dan keberhasilan kerja. Mereka memberikan pemahaman pada sikap kerja sebagai kerja keras, jujur, disiplin, rajin, mandiri, dan tebal iman. Sedangkan pemahaman terhadap keberhasilan kerja, mereka artikan sebagai upaya untuk selalu menjaga kualitas kerja, untuk mencari keuntungan materi, dan pokoknya bisa kerja.

Feisal Tamin (2002) membeberkan potret pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia. Menurut Tamin, hanya 40 persen PNS yang produktif dengan disiplin kerjanya tinggi. Sedangkan 60 persen tidak produktif. Mereka ini ada di kantor cuma dua sampai tiga jam.  "Sikap yang lebih parah lagi, ada pegawai negeri datangnya cuma sebulan sekali, itu pun hadir untuk mengambil gaji bulanan,". PNS Kerja santai, dapat fasilitas terbaik.
Dalam laporan (sinar harapan, 2007), Pemberdayaan Aparatur Negara (Menneg PAN) Taufik Effendi 55 persen dari total pegawai negeri sipil berkinerja buruk. Para pekerja ini hanya mengambil gajinya tanpa berkontribusi berarti terhadap pekerjaannya. Beberapa tahun lalu Feisal Tamin, ketika itu juga menjabat Menneg PAN, mengatakan, hanya 60% PNS yang bekerja efektif dan selebihnya bisa dikatakan kurang produktif. Tak pelak, PNS divonis sebagai organ birokrasi yang paling tidak produktif, lamban, korup, dan inefisien. Citra pelayanan publik digambarkan dengan prosedur yang memakan waktu lama dan berbiaya mahal.
Dalam Gunawan (2007) hasil penelitian menyebutkan, waktu kerja produktif pada instansi pemerintah antara pukul 8.00-12.00. Kemudian, terjadi penurunan produktivitas kerja. Fakta di lapangan menunjukkan, pegawai di daerah saat istirahat, salat, dan makan, pulang ke rumah dan sebagian besar tidak kembali lagi ke kantor. Waktu tersisa sekitar 1 hingga 2 jam dapat digunakan untuk melayani publik. Perilaku sejumlah besar pegawai yang mangkir kerja setelah jam istirahat, misalnya, menjadi ukuran terhadap kinerja aparat sekaligus mengurangi produktivitas kerja. Di samping itu, sikap kurang disiplin waktu, etos kerja yang rendah, tanggung jawab terhadap pekerjaan, hingga gaji yang relatif rendah memengaruhi produktivitas kerja pegawai negeri secara perorangan dan secara kolektif. Pada masa sekarang, ketika ekonomi belum begitu normal, peningkatan kinerja pegawai sangat dibutuhkan. Jam kerja yang hanya sekira 37,5 jam per minggu, tampak belum mencukupi untuk melaksanakan fungsi pelayanan publik.
Memang bila dibandingkan dengan jam kerja di negara lain, jam kerja pegawai negeri di Indonesia termasuk masih rendah. Di Malaysia, pegawai bekerja 45 jam per minggu, Singapura 42 jam per minggu. Di Thailand dan Korea, pegawai negeri bekerja 40 jam per minggu.
Penelitian Personnel Policy Study Group of the European Group of Public Administration (2002), sebagai misal, menemukan adanya problem efisiensi kerja di sepuluh negara Eropa yang oleh awam selama ini dianggap telah maju manajemen SDM-nya. Namun pada tahun yang sama, PNS indonesa dengan tingkat pendidikan formal, tujuh puluh dua persen dari seluruh PNS lulusan adalah lulusan SMA.

Kerangka berfikir: Nilai pendorong dan nilai penghambat pembangunan  
Logika yang patut dicermati dalam membangun bangsa ini adalah terputusnya logika lahirnya komponen yang mewadahi kehidupan berbangsa dan bermasyarakat (Kompas, 04 Desember 2004). Komponen yang dimaksud mencakup instansi pemerintahan, perusahaan swasta, dan sektor informal. Kelahiran instansi pemerintah berangkat dari perlunya ada lembaga yang mengurusi kepentingan publik. Kelahiran perusahaan swasta berangkat dari alasan perlunya ada sektor privat yang mengejar laba. Kelahiran lembaga maupun orang per orang pada sektor informal berangkat dari misi mengembangkan potensi pengetahuan,  kecakapan/ keahlian, dan bakat/seni secara mandiri. Ia menegaskan, sebetulnya tidak akan lahir tudingan miring terhadap kinerja aparat pemerintah ataupun pujian terhadap pekerja di sektor lainnya jika selama ini tidak terjadi pengingkaran logika. Kinerja sektor pemerintahan menjadi tidak terpuji karena aparatnya mengingkari logika statusnya sebagai pelayan publik. Ada kecenderungan birokrasi pemerintahan mengadopsi misi perusahaan swasta sehingga yang terjadi kemudian adalah ekonomi biaya tinggi dalam pelayanan. Pengingkaran secara kelembagaan dengan kerap sendirinya ikut merasuki pembawaan orang per orang, seperti halnya PNS.  
Berdasarkan uraian kepustakaan tentang nilai-nilai budaya membangun di atas, dapat dikategorikan dalam dua tipologi, yaitu nilai pendorong dan nilai penghambat dalam membangun. Nilai-nilai budaya yang mampu menjadi pendorong dalam membangun bangsa sebagai berikut; berani mengambil risiko, berani bersaing, konsisten, tidak malu, berjuang sejak kecil, efisien, tepat waktu, bekerja sama energetis, bersandar pada kekuatan sendiri, penguasaan ilmu dan  teknologi, kesediaan untuk berubah, mengikuti rasio dalam mengambil keputusan dan tindakan, kegesitan dalam mempergunakan kesempatan yang muncul, mau kerjasama dan kesediaan untuk memandang jauh ke depan, kerja keras, jujur, disiplin, rajin, mandiri, tebal iman, dan mendidik anak-anaknya supaya tidak mau yang enak-enak saja.
Sebaliknya, nilai-nilai budaya yang berperan menghambat pembangunan bangsa adalah sebagai berikut; kurang bertanggungjawab, suka mencari jalan pintas, mengabaikan mutu, bergaya hidup yang memiru-niru budaya barat, mengejar pangkat, jabatan, kedudukan, dan simbol-simbol prestise, mereka tidak diajar untuk bersaing, sikap konservatif dan tidak mampu memandang jauh ke depan, selalu tidak puas (ngresulo), tidak kreatif, kurang inisiatif, mudah mencela orang, orientasi vertikal, ingin dipatuhi dan dihormati, sikap  menunggu perintah dan juga restu sang pemimpin, ingin tampil beda dengan berbagai fasilitas glamour, pemalas dan bergantung pada patron, ingin mendapatkan jabatan dengan membawa upeti yang jumlahnya sesuai dengan jenjang jabatannya, lemahnya semangat pengabdian, tidak berdisiplin murni, tidak produktif, lamban, korup, dan inefisien, mengerjakan dengan prosedur waktu lama dan berbiaya mahal, memperebutkan status, disorientasi kultural, kehilangan identitas diri, tidak mengedepankan dan menjunjung tinggi sportifitas, kejujuran, dan keterbukaan, tidak mau mempelajari mengapa orang lain bisa menjadi besar, menunggu dihargai, pegawai akan bekerja dengan rajin, teliti, setia dan inovatif, dan ada anggapan kalau menjadi PNS hidup sudah tenang, ada pegangan yang merasa terpandang.

Kandungan Nilai Budaya Pembangunan pada Kasus profesi PNS menjadi Pilihan Utama dalam media massa Suara Merdeka,  nilai-nilai budaya positif dan negatif dalam masyarakat adalah sebagai berikut. Nilai-nialai budaya positif yang membingkan masyarakat dalam memilih PNS menjadi pilihan utama diantarnya; menghargai peluang, ada sikap terbuka dari pimpinan, pemerintah bangga, dengan banyaknya masyarakat yang orientasinya vertikal, bekerja sama energetis, konsisten, tepat waktu, displin, bertanggung-jawab, dan mengikuti rasio dalam mengambil keputusan dan tindakan. Selanjutnya nilai-nilai budaya negatif yang membingkai masyarakat untuk memilih PNS menjadi pekerjaan utama diantaranya; tidak jeli dengan syarat, memperebutkan status, beroriantasi vertikal, perilaku nerabas, terbangunnya citra pemerintah yang masih buruk, cauvinistik, ketidakterbukaan, ketidakjujuran, mengembangkan upeti setara dengan jabatan, mengabaikan mutu, ingin dipatuhi dan dihormati, bergantung pada patron, tidak berdisiplin murni, kurang bertanggungjawab, tidak mau mempelajari mengapa orang lain bisa menjadi besar, ada anggapan kalau menjadi pns hidup sudah tenang, ada pegangan yang merasa terpandang, lemahnya semangat pengabdian, tidak jujur, selalu tidak puas (ngresulo), tidak kreatif, sikap  menunggu perintah dan juga restu sang pemimpin, pemalas dan bergantung pada patron, memperebutkan status, bergantung pada patron, ketidakpastian, tidak jujur, tidak mengedepankan dan menjunjung tinggi sportifitas, kejujuran, dan keterbukaan, tidak konsisten, kurang bertanggungjawab, suka mencari jalan pintas, mengejar pangkat, jabatan, kedudukan, dan simbol-simbol prestise, bergaya hidup yang memiru-niru budaya barat, ingin tampil beda dengan berbagai fasilitas glamour, orientasi vertikal.
Di bawah ini merupakan tabel analisa perbandingan nilai-nilai budaya positif dan nilai-nilai budaya negatif berdasarkan teori, dalam mendorong dan menghambat pembangunan bangsa, dengan nilai-nilai budaya positif dan negatif yang dimiliki masyarakat yang berkecenderungan memilih PNS sebagai pilihan pekerjaan utama. 

Simpulan
Beragam kajian klasik yang menyuguhkan potret mentalitas bangsa Indonesia. mentalitas bangsa merupakan produk masyarakat yang sifatnya dinamis. Pada terminologi struktural fungsionalism, pendidikan telah membuka lebar suatu jabatan dan posisi yang pada jaman dahulu tidak dapat di akses banyak orang. Jabatan dan status yang prestisius acapkali hanya dinikmati para keluarga kraton, dan beberapa kelompok priyayi lokal. Namun pada saat ini, siapa saja dapat mengakses jabatan sosial yang prestisius, seperti menjadi PNS misalnya guru, pegawai kantor pemerintahan, bupati, gubernur, wakil rakyat dan bahkan menjadi presiden. Menuut kajian klasik, jabatan klasik ini memiliki bangunan nilai-nilai budaya yang eksklusif. Mentalitas pada anggota yang menduduki strata sosial ini juga di bedakan dengan masyakarat pada umumnya. Namun era kekinian saat ini, nilai-nilai budaya pada kalangan status sosial yang prestisiun ini telah menjadi bejana yang bebas terbuka, memiliki bangunan nilai-nilai budaya yang beragam, karena setiap lapisan masyarakat dapat mengakses jabatan sosial tersebut.
Pada penelitian ini menjawab masalah utama yaitu bagaimana bangunan mentalias kebudayaan pada masyarakat yang memiliki kecenderungan memilih PNS menjadi pilihan porofesi masyarakat. Dengan demikian, penelitian ini mampu memberikan peta dari bangunan nilai-nilai budaya pada golongan kantoran ini (priyayi).
Berdasarkan penelitian di atas, dengan studi dokumentasi pada surat kabar Suara Merdeka kolo Jawa Tengah, dapat disimpulkan sebagai berikut;
1.      Nilai-nilai budaya positif yang membingkan masyarakat dalam memilih PNS menjadi pilihan utama diantarnya; menghargai peluang, ada sikap terbuka dari pimpinan, pemerintah bangga, dengan banyaknya masyarakat yang orientasinya vertikal, bekerja sama energetis, konsisten, tepat waktu, displin, bertanggung-jawab, dan mengikuti rasio dalam mengambil keputusan dan tindakan.
2.      Nilai-nilai budaya negatif yang membingkai masyarakat untuk memilih PNS menjadi pekerjaan utama diantaranya; tidak jeli dengan syarat, memperebutkan status, beroriantasi vertikal, perilaku nerabas, terbangunnya citra pemerintah yang masih buruk, cauvinistik, ketidakterbukaan, ketidakjujuran, mengembangkan upeti setara dengan jabatan, mengabaikan mutu, ingin dipatuhi dan dihormati, bergantung pada patron, tidak berdisiplin murni, kurang bertanggungjawab, tidak mau mempelajari mengapa orang lain bisa menjadi besar, ada anggapan kalau menjadi pns hidup sudah tenang, ada pegangan yang merasa terpandang, lemahnya semangat pengabdian, tidak jujur, selalu tidak puas (ngresulo), tidak kreatif, sikap  menunggu perintah dan juga restu sang pemimpin, pemalas dan bergantung pada patron, memperebutkan status, bergantung pada patron, ketidakpastian, tidak jujur, tidak mengedepankan dan menjunjung tinggi sportifitas, kejujuran, dan keterbukaan, tidak konsisten, kurang bertanggungjawab, suka mencari jalan pintas, mengejar pangkat, jabatan, kedudukan, dan simbol-simbol prestise, bergaya hidup yang memiru-niru budaya barat, ingin tampil beda dengan berbagai fasilitas glamour, orientasi vertikal.

Penutup
Bangsa Indonesia masih diperlukan untuk memproduksi bangunan nilai-nilai budaya yang sifatnya mendorong untuk pembangunan bangsa. Berdasarkan hasil penelitian tentang nilai-nilai budaya positif dalam mendorong  semangat membangun, relatif sedikit dimilki masyarakat ini. Nilai-nilai budaya yang dianggap mampu mendorong pembangunan bangsa seperti nilai berani bersaing, tidak malu, berjuang sejak kecil, efisien, bersandar pada kekuatan sendiri, penguasaan ilmu dan  teknologi, kesediaan untuk berubah, kegesitan dalam mempergunakan kesempatan yang muncul, mau kerjasama dan kesediaan untuk memandang jauh ke depan, kerja keras, jujur, rajin, tebal iman, dan mendidik anak-anaknya supaya tidak mau yang enak-enak saja, masih belum tampak kuat dalam membangun karakter budaya masyarakat. Namun sebaliknya, nilai-nilai budaya yang dipandang menghambat pembangunan,tampak mendominasi dalam karakter pola pikir masyarakat.
Upaya dalam menumbuh kembangkan nilai-nilai budaya pembangunan bangsa dapat dimulai dari ruang yang lebih sempit, yaitu pada lembaga keluarga, termasuk pada masyarakat. Pola asuh yang disuguhkan orangtua kepada anaknya dipandang memberi pengaruh yang strategis dalam menanamkan dengan kokoh akan mentalitas pembangunan bangsa. Nilai kesedehanaan, prihatin, peka terhadap lingkungan sekitar, dan memiliki cara pandang yang visioner, merupakan beberapa nilai-nilai budaya yang dapat dikembangkan pada bangsa Indonesia. Namun pada kenyataannya, di era kekinian ini, semakin tumbuh dan berkembangnya institusi-institusi, termasuk keluarga dan masyarakat yang dikendalikan oleh pasar dan media massa. Rujukan pola hidup dan kesehariannya seakan dikendalikan oleh pemilik saham. Sekolah bonafit yang mahal dan eksklusif, ruang belanja di mall yang mewah, dan aktifitas di rumah tangganya yang memakan banyak biaya transaksi, telah memaksa setia individu untuk meraup pendapatannya, demi eksistensinya suatu individu. Maka yang terjadi adalah cara pandangan eksploitasi yang batas pada alam ini, tanpa memperhatikan ekses kemudian hari yang selalu mengancam eksistensi setiap individu sendiri. Walaupun demikian, kita harus tetap percaya diri, belajar dari kesalahan hari lalu, tidak mengulangi kemudhorotan pikiran dan tingkah laku kita pada alam dan lingkunga luas, niscahya kita dapat memujudkan mentalitas pembangunan bangsa yang ideal (local wisdom), untuk menapaki hari esok yang cerah.



Sumber tulisan

Bisnis Indonesia. Dalam bisnis@cbn.net.id. 18 April 1996. Wawancara Bisnis Indonesia Minggu dengan Prof. Dr. Koentjaraningrat. Diunduh pada tanggal 17 Mei 2008
Gunawan. 2006. Waktu Kerja Produktif PNS. Sinar harapan.
Ismani. 2001. Etika Birokrasi. Dalam Jurnal Adminitrasi Negara Vol. II, No. 1, September 2001 : 31 " 41
Franz, von Magnis. 1978. Menuju Etos Pekerjaan Bagaimana?. Dalam PRISMA, No.11,1978.
Koentjaraningrat. 2000. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakata. PT Gramedia Pustaka Utama. Seri bunga rampai.
Marwanto. 2006. Rekrutmen CPNS dan Mental Agraris. Suara Karya, terbitan hari Rabu, 1 Februari 2006
Mc Clelland, David C. 1977. Dorongan Hati Menuju Modernisasi. Dalam Myron Weyner, Modernisasi Dinamika Pertumbuhan. Gajahmada University Press, Yogyakarta, 1977.
Kompas. Sabtu, 04 Desember 2004
Pos Kupang. Halaman 4 Edisi: Kamis, 01 Agustus 2002
Radion Nederland. 2004. Sogok Menyogok Calon PNS: Apa Langkah SBY? Kamis, 4 November 2004. Radio Nederland.
Suryono, Agus. 2006. Kepemimpinan Birokrasi Cenderung Bernuansa Kekuasaan.  Dalam Jurnal FIA – UB.: Kamis, 15 Juni 2006
 
Tanggal


Suara Merdeka, 28 Oktober 2007

Suara Merdeka, 09 Februari2006

Suara Merdeka, Oktober 2004

Suara Merdeka, 21 Oktober 2004

Suara Merdeka, 15 DEsember 2003

Suara merdeka Rabu, 01 Maret 2006

Suara merdeka, Selasa, 04 April 2006

Suara Merdeka, Kamis, 16 Oktober 2003

Suara Merdeka, 23 April 2008

Suara Merdeka, 03 Maret 2008

Suara Merdeka, 16/03/2008

Suara Merdeka, Rabu, 22 Maret 2006

Suara Merdeka, Jumat, 31 Maret 2006

Suara Merdeka, Jumat, 10 Nopember 2006

Suara Merdeka, Jumat, 04 Januari 2008

Suara Merdeka, Selasa, 04 April 2006

Suara Merdeka, Selasa, 23 Nopember 2004

Suara Merdeka, Senin, 20 Maret 2006

Suara Merdeka, Jumat, 17 Nopember 2006

Suara Merdeka, 29 November 2004





Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama