Paradigm & Lompatan Industri Tulisan
Oleh: Suhadi Rembang
Oleh: Suhadi Rembang
Ketatnya konvensi-konvensi dunia akademik selaku industri pengahasil tulisan-tulisan ilmiah telah mulai longgar. Longarnya etika konvensional tersebut hadir sejak perdebatan panjang mulai abad 17 (puncak konvensional) hingga abad 19 (maraknya posmo). Perdebatan aliran konvensional yang selalu mengagungkan fakta, bahasa baku, objektivitas, dengan pengikut non ilmiah yang menekankan fiksi, retorika, dan subjektifitas, telah bertemu dalam satu zaman, yang kemudian di sebut era postmodernitas.
Era postmodernitas merupakan waktu pengakuan masyarakat akademik akan kemandirian penganut ilmiah dan non-ilmiah. Dengan pengakuan tersebut, aliran non-ilmiah yang dahulu membidani bidang kesusatraan (seni dan budaya) dan kajian tidak objektifitas, tidak tepat, tidak jelas, non-kontekstual, non-metaforis yang dikenal dengan anti positivistic (jargon sosiologi modern) telah banyak mendapatkan ruang. Perpaduan ilmiah dan non-ilmiah telah melahirkan retorika baru yang menghubungkan thing (sesuatu) dan though (pikiran) tidak lagi diganggu. Pada saat itulah pengetahuan ilmu sosial bangkit.
Dengan keruntuhan paradigm konvensional dan bangkitnya era postmodern telah merangsang persoalan-persoalan ilmu sosial tidak hanya berkutat pada teknik dan intrumen tulisan, namun merajut pada teoritis dan metodologis (Saifudin, 2004: 16). Pada saat itulah dalam dunia penulisan akademik (baca penulisan ilmiah) telah menggenakan bahasa dalam hal struktur gramatika, narasi dan retorika. Penggenaan bahasa tidak lagi mengacu pada konvensi-konvensi yang ketat dan bebas nilai, namun tulisan (bahasa) telah menjadi konstruksi subjek dan objek, yang siap menentukan makna dan menciptakan nilai.
Menulis sesuatu tidak lagi bebas nilai. Menulis sesuatu adalah merajut nilai-nilai yang sarat dengan otoritas dan previlise dari penulis. Jika seorang penulis menulis masyarakat atau objek tertentu, maka penulis telah menawarkan pemaknaan dan penilaian dari yang dikaji. Pemaknaan naratiflah yang menjadi pengendali, yang dahulu (konvensional) dikenal tidak ilmiah. Dengan demikian mode naratif (natural yang menekankan sebab akibat) dan mode logiko ilmiah (yang menekankan kebenaran ilmiah) menuju pada satu titik, yaitu makna.
Pola penulisan semakin merajut pada dua pola, yaitu pola retorika dan pola metafora, yang lagi-lagi kedua pola ini dahulu tidak ruang. Retorika dan metafora telah mendedahkan banyak tulisan ilmiah di kemudian, karena retorika merupakan konstruksi pemahaman mengenai totalitas, selanjutnya, metafora sebagai tulang punggung tuisan-tulisan ilmiah (Fedyani, 2004: 21-23).