Oleh: Suhadi Rembang
Jauh sebelum munculnya media audio visual seperti televisi, penanaman nilai kekerasan kepada anak telah dilakukan dengan cara melalui medium cerita-cerita rakyat yang sifatnya heroik. Walaupun banyak ahli yang mengatakan bahwa cerita-cerita rakyat banyak mengandung pesan positif, namun jika dilihat dari cara pandang konflik, tidak sedikit pula cerita-cerita tersebut yang mengandung nilai seperti balas dendam, kedengkian, kesombongan dan pemikiran-pemikiran yang sifatnya spekulatif. Multitafsir inilah yang kemudian menumbuh-kembangkan makna seperti halnya dua wajah dalam satu uang logam. Sehingga kemudian memunculkan suatu kearifan lokal, dimana salah-benarnya cerita rakyat tidak lagi dipertanyakan, katakanlah terjadi kesepakatan kolektif, biarlah cerita rakyat berkembang berdasarkan lokalitas masing-masing.
Seiring dengan menggelindingnya teknologi telekomunikasi yang diejawantahkan dengan kehadiran kotak ajaib (televisi) ini, berbagai tayangan yang sifatnya lintas negara, lintas agama, lintas ide, lintas sosial, lintas budaya, dan lintasan-lintasan struktural kepentingan tidak mampu kita bendung, telah bermunculan seperti kuncup bunga yang sedang merias diri di musim hujan. Tayangan-tayangan yang dipertontonkan tersebut, tidak sulit untuk kita lihat suatu tayangan-tayangan yang mengandung pembudayaan nilai-nilai kekerasan yang ditampilkan dalam layar hiburan murah ini, misalnya tayangan Smack Down. Tayangan-tayangan penyeimbang juga tidak sulit untuk kita dapatkan, misalnya diskusi interaktif para ahli dan tokoh yang membongkar pesan-pesan yang mendidik ke arak positif dan ke arah negatif. Namun kenyataannya, penonton pendukung untuk tayangan penyeimbangkan ini kalah jauh masyarakat pendukungnya jika dibandingkan dengan tayangan-tayangan yang menguras hormon adrenalin ini. Permasalahan yang muncul dipermukaan kemudian adalah kenapa masyarakat hanya berdiam diri, sambil ketawa-ketiwi, menikmati hiburan yang kental akan penanaman kekerasan pada suatu generasi, padahal mereka tidak sedikit yang tidak tahu akan dampak dari tontonan komersial yang mengikat ini. Setidaknya ada dua hal narasi besar yang dapat disumbangkan dalam menganalisis fenomena tayangan kekerasan seperti Smack Down dan lain-lainnya, diantaranya adalah proses enkulturasi pada anak sejak kecil dan kecenderungan-kecenderungan gaya hidup masyarakat modern.
Proses enkulturasi pada anak sejak kecil akan nilai-nilai kekerasan yang menguras hormon adrenalin, sejak dulu, diakui atau tidak telah diwakilkan dengan kehadiran cerita-cerita rakyat disela-sela menina-bobokkan putra-putri tercintanya. Semua anak sebagian besar tidak akan lepas dari incaran cerita-cerita rakyat produk lokal masing-masing. Lebih-lebih pada masyarakat Jawa yang memiliki ribuan cerita rakyat yang selama ini sebagai mozaik entitas primordial. Cerita rakyat yang tidak mengenal batas wilayah, cerita rakyat yang tidak memiliki tafsir ideal, ceriti rakyat yang tidak mengenal benar dan salah, kemudian menjadi daya tarik sendiri sebagai buah kasih sayang dari seorang ibu dan generasi tua kepada anak dan cucu kesangannya. Dengan demikian, masyarakat kita telah lekat akan nilai-nilai multitafsir ini yang sarat akan pesan negatif dan positifnya. Masyarakat kita, termasuk golongan anak-anak kecil telah terbiasa untuk mendengar, menghafal dan merasakan cerita-cerita yang sarat pula akan pesan kedengkian, kesombongan, keangkuhan, dan dendam sepanjang hayat. Walaupun dari sisi fungsionalnya, cerita rakyat yang memiliki pesan keharmonian untuk mencapai visi dan misi hidup yang ideal. Namun dengan sendirinya, dengan kehadiran tayangan-tayangan yang lekat akan muatan-muatan kekerasan saat ini, masyarakat lebih aktif dalam mengkonsumsi tayangan-tayangan tersebut. Hal ini dikarenakan masyarakat kita lebih dulu mendapatkan penanaman nilai-nilai (enkulturasi) dua wajah ini. Masyarakat tidak bergeliat sedikitpun untuk mengkritisi secara radik dan mendalam. Tayangan-tayangan yang memacu pengumbaran perasaan emosional ini semakin diminati, masyarakat pendukungnya semakin luas, hal ini kemudian dimanfaatkan pihak pemilik saham pertelevisian semakin umbar-umbaran dalam memproduksi dan menayangkan tayangan tersebut. Konsepsi masyarakat lebih dahulu di bentuk, pemikiran masyarakat lebih awal di bingkai, ide-ide masyarakat telah digenjot terlebih dahulu untuk menerima muatan-muatan kekerasan yang awalnya dari media cerita rakyat lokal.
Kedua, tontonan kekerasan komersial ini juga didorong dengan kuat oleh gaya hidup masyarakat modern. Salah satu kecenderungan-kecenderungan kuat di era masyarakat modern ini adalah orientasi menuju masyarakat industri. Ciri khas dari masyarakat industri adalah munculnya budaya instan (siap saji) untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan baik dibidang materi, kesenian, sosial, budaya dan keagamaan. Kemudian dengan keadaan masyarakat industri ini, berdampak sedikitnya waktu untuk berinteraksi dengan keluarganya. Hal ini juga merambah pada pola-pola keseharian sebelum terbentuknya masyarakat industri, yaitu pendampingan yang intensif kepada anak yang penuh dengan sentuhan kasih sayang lentik jari sang orang tua. Di era masyarakat industri ini, di akui atau tidak, telah nampak pergeseran sebuah makna kasih sayang, yang dulunya kasih sayang orang tua selalu diejawantahkan dengan menimang-nimang anaknya, mengasuh dengan lembutnya lentik jemarinya, namun saat ini, kasih sayang orang tua pada anak hanya terfokus dalam pemenuhan materi dan mengirim di lembaga pendidikan formal. Hal ini dikarenakan tuntutan orang tua akan gaya hidup yang serba ada. Berbagai kebutuhan materi dan hiburan disediakan dirumah, diantaranya televisi, playstation, handphone, dan jenis produk menarik yang sering dipasarkan melalui iklan dan layanan intertaiment lainnya yang mudah diakses untuk mendapatkannya. Tugas orang tua saat ini seolah-ohal hanya mencari nafkah, keluarga bukan lagi menjadi institusi yang berperan memberi taburan-taburan lembut kasih sayang kepada anggota keluarganya, institusi keluarga hanya sebagai pemenuhan kebutuhan materi unsich saja.
Kedua, tontonan kekerasan komersial ini juga didorong dengan kuat oleh gaya hidup masyarakat modern. Salah satu kecenderungan-kecenderungan kuat di era masyarakat modern ini adalah orientasi menuju masyarakat industri. Ciri khas dari masyarakat industri adalah munculnya budaya instan (siap saji) untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan baik dibidang materi, kesenian, sosial, budaya dan keagamaan. Kemudian dengan keadaan masyarakat industri ini, berdampak sedikitnya waktu untuk berinteraksi dengan keluarganya. Hal ini juga merambah pada pola-pola keseharian sebelum terbentuknya masyarakat industri, yaitu pendampingan yang intensif kepada anak yang penuh dengan sentuhan kasih sayang lentik jari sang orang tua. Di era masyarakat industri ini, di akui atau tidak, telah nampak pergeseran sebuah makna kasih sayang, yang dulunya kasih sayang orang tua selalu diejawantahkan dengan menimang-nimang anaknya, mengasuh dengan lembutnya lentik jemarinya, namun saat ini, kasih sayang orang tua pada anak hanya terfokus dalam pemenuhan materi dan mengirim di lembaga pendidikan formal. Hal ini dikarenakan tuntutan orang tua akan gaya hidup yang serba ada. Berbagai kebutuhan materi dan hiburan disediakan dirumah, diantaranya televisi, playstation, handphone, dan jenis produk menarik yang sering dipasarkan melalui iklan dan layanan intertaiment lainnya yang mudah diakses untuk mendapatkannya. Tugas orang tua saat ini seolah-ohal hanya mencari nafkah, keluarga bukan lagi menjadi institusi yang berperan memberi taburan-taburan lembut kasih sayang kepada anggota keluarganya, institusi keluarga hanya sebagai pemenuhan kebutuhan materi unsich saja.
Untuk menyikapi fenomena di atas, yang perlu ditanamkan kuat-kuat pada bangsa ini adalah pandangan tentang nilai anak. Terlepas nilai anak yang ideal seperti apa, yang perlu ditekankan saat ini yaitu anak sebagai investasi peradaban. Memang memburu materi (ekonomi) merupakan kendaraan untuk memperadabkan bangsa. Namun itu hanya suatu kendaraan, jadi bukan hal yang utama, yang utama adalah ruh peradaban, yaitu anak itu sendiri. Setinggi-tingginya kepemilihan ekonomi, kalau pewaris materi (anak) tidak diperhatikan, materi hanyalah lintasan yang tidak lebih dari waktu yang tidak pernah dimanfaatkan. Dari cara pandang seperti di atas, secara otomatis akan menggiring kita pada dua latar masalah yang diuraikan di atas, yaitu re-enkulturasi dan re-lifestyle-sasi.
Re’enkulturasi adalah mendesain ulang kandungan cerita-cerita rakyat yang sarat akan multitafsir seperti diatas. Praktiksnya yaitu memilih cerita-cerita rakyat yang tidak lebih mengandung nilai kedengkian, dendam sepanjang hayat, pergolakan, penghianatan dan lain sebagainya. Para ahli (akademisi) dan praktisi (orang tua/generasi tua) harus pandai-pandai memilih cerita-cerita rakyat yang sarat untuk menyiapkan nilai-nilai dalam memacu kematangan, kesadaran dan kedewasaan sang anak, bukan sebaliknya. Cerita-cerita rakyat yang diproduksi dan disosialisasikan sudah saatnya dipilih cerita-cerita yang kandungan pesannya sarat akan pendorong etos kerja. Karena telah terbukti bahwa tidak sedikit pula cerita-cerita rakyat yang lekat akan nilai-nilai etos kerjanya.
Re-lifestily-sasi tidak lain adalah mendesain ulang gaya hidup yang terpola pada masyarakat industri saat ini. Budaya instan perlu diracik ulang dalam praksisnya, apakah instanisasi saat ini telah mampu memproyeksikan anak yang ideal. Pemenuhan kuajiban orang tua dan penerimaan hak anak juga perlu di kaji ulang. Bahkan praksisnya dapat diperdebatkan ulang eksisnya kaum ibu diladang ekonomi yang meninggalkan sentuhan kasih terhadap anaknya. Dengan cara pandang sutau anak yang ideal, yang dalam praksisnya dapat dilakukan dengan cara re-enkulturasi dan re-lifestyle-sasi ini, sebagai langkah untuk mengembalikan posisi anak sebagai investasi peradaban dan pewaris kebudayan unggul dan mapan.