Konflik, Disintegrasi, dan Intregrasi Bangsa: Konflik Poso Dalam IV Jilid

Konflik, Disintegrasi, dan Intregrasi Bangsa: Konflik Poso Dalam IV Jilid

Konflik, Disintegrasi, dan Intregrasi Bangsa:  Konflik Poso Dalam IV Jilid
Oleh: Suhadi Rembang 

Para siswa kelas XI Program Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang saya cintai dan yang saya banggakan. Pada kesempatan ini saya (sebagai teman belajar) menyuguhkan tulisan “Konflik Poso”. Tulisan ini berharapguna mampu menambah pengetahuan siswa-siswa akan seluk beluk konflik, mulai dari latar belakang yang mendorong terjadinya konflik, proses berjalannya konflik, dan perilaku pasca konflik (rekonsiliasi dan rekonstruksi).



Gambar. Kondisi Kerusuhan "Konflik Poso"


Tulisan ini bersumber utama dari tulisan Guru Besar Antropologi Pembangunan UNAIR (Universitas Airlangga) yaitu saudara Sulaiman Maman. Sumber tulisan ini dipilih dengan catatan karena saudara Sulaiman Maman merupakan Ketua Kelompok Kerja dalam proses rekonsiliasi nasional Deklarasi Malino. Deklarasi Malino merupakan jalan akhir penyelesaikan konflik Poso dengan cara damai. Dengan demikian rujukan sumber tulisan ini memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi. Walaupun demikian, saya akan mencari sumber tulisan yang ditulis dari perwakilan orang Kristen yang memahami terjadinya konflik Poso saat itu, agar adil keterwakilannya. Namun hingga sekarang saya belum menemukan. Jika itu ada, tulisan tersebut lebih pada nuansa emosional yang saya sendiri hawatir akan menyulut konflik di kemudian.


Jika para siswa ingin membaca langsung sumber dari tulisan ini, silahkan membaca buku dengan judul “Perspektif Budaya” pada halaman 114 hingga halaman 127, dengan tahun terbit 2009, penerbit Rajawali Pers, Jakarta. Isi dari tulisan Sulaiman Maman tentang konflik Poso ini akan saya kemas ulang dengan bahasa sederhana dan tentunya menggunakan ketentuan kebutuhan silabus proses belajar mengajar di kelas XI program IPS di sekolah kita, SMA Negeri 1 Pamotan.


Pengantar


Untuk memahami dan mengawali tulisan saudara Sulaiman Mamar, terlebih dahulu akan saya hamparkan alur tulisan dari Guru Besar Antropologi Pembangunan ini, termasuk bagaimana model berfikir saudara Sulaiman Mamar dalam memandang konflik.


Sulaiman Mamar mengawali tulisannya dengan menyuguhkan bagaimana psikologis bangsa Indonesia pada saat merdeka. Beliau mengemukakan bahwa bangsa Indonesia memiliki kepekaan sentimen rasa persatuan yang tinggi. Apa saja yang menganggu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), akan di babat habis. Pada saat itu rakyat Indonesia bagian Jawa lebih familier dengan dlogan “rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Dari sabang hingga merauke, rakyat Indonesia sepakat untuk bersatu padu tanpa adanya keinginan untuk pisah.


Kemudian dengan berjalannya waktu, dengan model kepemimpinan Soekarno yang berkiblat pada pembangunan politik, saat itulah goncangan untuk merongrong pudarnya tali persatuan bangsa Indonesia, telah nampak. Perdebatan akan ideologi politik saat Soekarno memimpin semakin ketat, hal ini dapat dilihat mencuatnya isu keberpihakan presiden Soekarno dengan salah satu basis politik Partai Komunis Indonesia, hingga kemudian Soekarno dilengserkan.


Tampuk kepemimpinan pasca Soekarno kemudian diambil alih oleh Soeharto. Pada saat Soeharto memimpin, geliat pudarnya kesatuan bangsa semakin terlihat. Soeharto adalah tokoh nasional yang menjadi presiden dengan pendekatan militeristik dan sentralistik. Singkat cerita, hingga kemudian Soeharto dapat dilengserkan karena tidak mampu menghadapi kendala ekonomi nasional yang semakin carut marut. Hal ini dikarenakan tak satupun generasi bangsa ini dilatih untuk mandiri menghadapi masalah, karena model kepemimpinan Soeharto adalah semua harus paketan dari pusat untuk semua daerah. Dan tak lama kemudian lengser dari singgasana/ prabon kepresidenan.


Kemudian BJ Habibie naik sebagai presiden, menggantikan sisa kepemimpinan mantan presiden Soeharto. Pada saat itulah, sistem politik Indonesia di ubah dari model aristokrat dan militeristik, ke model demokrasi. Era Habibie dihantar dengan gerakan reformasi total, namun masyarakat Indonesia dalam menafsirkannya terlalu keblabasan. Reformasi diartikan oleh masyarakat Indonesia adalah era bebas dalam segala hal. Bukan hanya bebas menentukan nasib daerahPada saat itulah pemikiran untuk melunturkan tali kesatuan nasional semakin marak. Hal ini dapat dilihat dengan adanya keinginan beberapa daerah untuk melepaskan diri dari pangkuan NKRI. Berbagai perilaku kekerasan kerap muncul dipermukaan, termasuk perilaku saling berkelahi dan bermusuhanya, namun hingga pada bebas membakar menjarah isi toko dan menebangi kayu di hutan hingga habis. Pada era ini, menurut Sulaiman Mamar menyebutnya sebagai era dimana terjadi kemunduran nilai-nilai kesatuan, atau yang ia sebutkan sebagai konflik.


Selanjutnya, Sulaiman Mamar melanjutkan tulisannya dengan menyuguhkan proses konflik di Poso dengan detail, sebagai mana dianggap sebagai contoh dimana salah tafsir dari era reformasi demokrasi saat itu dalam garis kebablasan. Beliau merupakan orang yang mewakili kelompok Islam dalam Deklarasi Malino, dimana terjalin kesepakatan damai antara golongan Kristen dan golongan Islam tercapai. Sulaiman Mamar membagi konflik Poso dalam empat jilid, yaitu konflik poso jilid I, konflik poso jilid II, konflik poso jilid III, dan konflik poso jilid IV. Pada bagian ini akan saya ulas kembali dalam bagian inti dari tulisan ini.


Pada akhir tulisan dari Sulaiman Mamar ini memberi solusi sehubungan dengan konflik yang mencuat di permukaan, yang berakibat memundurkan nilai-nilai kesatuan bangsa Indonesia. Hal yang ditawarkan Sulaiman Mamar dalam mengatasi konflik di Indonesia, yaitu dengan pendekatan budaya dan pendekatan etika. Pendekatan budaya yang dimaksud adalah menggunakan kompetensi budaya dalam mempersatukan Indonesia. Pendekatan budaya yang dimaksud meliputi; keterbukaan sikap, kesadaran akan diri dan orang lain, pemahaman budaya, dan ketrampilan budaya (komunikasi antar kelompok etnis melalui media kesenia. Selanjutnya pada pendekatan etika yang dimaksud (dengan meminjam argumen Leonardo Boff dan William Chang, 2003) adalah sebagai berikut; etika simpatik, etika solidaritas, etika tanggung jawab, etika dialog, dan etika suci.


Adapun model berfikirnya saudara Sulaiman Mamar dalam memandang konflik adalah dengan pendekatan fungsionlis. Pandangan fungsionalis adalah suatu pandangan yang selalu menekankan suatu realitas yang ada memiliki fungsi untuk menumbuhkan realita lainnya. Konflik adalah realita yang muncul dipermukaan yang memiliki fungsi untuk menumbuhkan realitas disintegrasi bangsa atau pudarnya kekuatan untuk bersatu dalam balutan NKRI. Adapun selanjutnya akan diulas uraian konflik poso dalam empat jilid.



Poso Dalam Berjilid Konflik


Tidak selalu berbangga hati, ketika hari raya umat beragama yang berbeda, datang bersamaan, dan ditambah perayaan tahun baru. Bahkan akan menjadi sumber pataka jika pada jelang waktu perayaan tersebut, terselenggarakan pesta demokrasi, yang mana pada tiap-tiap umat beragama ini memiliki keterwakilan suara dan materi yang cukup memadai. Fakta telah membuktikan terjadi konflik di Poso yang disebabkan oleh hal yang komplek, mulai dari politik belaka, kenakalan remaja, simbolisasi agama, isu media massa, hingga ngawurnya pihak keamanan dalam menjalankan tugas di lapangan. Menurut Sulaiman Mamar, dalam konflik di Poso ini di bagi dalam empat jilid, yang mana menurut saya pembagiannya berdasarkan hal yang melatarbelakangi komflik Poso tersebut.


Konflik Poso Jilid I (1998-1999)


Menjelang Tahun Baru, menjelang perayaan Idul Fitri, menjelang perayaan Natal, di Poso Sulawesi Tengah dilangsungkan proses pergantian Bupati Poso. Tiap-tiap politisi saling memperebutkan jabatan tersebut melalui partai politik. Pada suatu malam hari Natal, pemuda Kristen menyerang pemuda Islam di Kota Poso. Pada saat itulah terjadi perusakan dan pembakaran toko-toko yang menjual minuman keras yang akrab dengan perayaan malam natal. Proses penjaringan calon bupati poso melalui partai politik semakin panas. Tak lama kemudian munculah nama-nama orang Kristen yang diduga terlibat dalam penyerangan tersebut, dari Koran Lokal. Ketidakkondusifan di Poso saat itu, menurut Sulaiman Mamar dilatarbelakangi kepentingan politik, yaitu perebutan kekuasaan dan jabatan.


Konflik Poso Jilid II (April 2000)


Terpilihlah Bupati Poso dari perwakilan orang Islam. Menjelang pelantikan bupati terpilih, mencuat isu power sharing. Power sharing adalah adanya keterwakilan penguasa di Poso dari kelompok Islam dan Kristen, di pemerintahan Poso. Menjadi awal yang menegangkan, surat kabar lokal”Mercusuar” telah mengekspos dengan fulgar pernyataan dari politisi setempat yang bunyinya “jika wakil kita tidak terpilih menjadi sekwilda, Poso akan terjadi pertumpahan darah”. Pada hari itupula terjadi perkelahian pemudan Kristen dan Islam di terminal Poso. Dari perkelahian di terminal Poso itu, menurut apa yang dituliskan Sulaiman Mamar, menjadi sebab terjadi perkelahian antar kampung (Islam dan Kristen). Keadaan semakin panas ketika TNI dan Polisi diterjunkan dilapangan, namun malah terjadi kesalahan tembak, dua orang dari kelompok Islam meninggal di tempat saat itu pula. Peristiwa itu kemudian menambah dan menyulut kemarahan kelompok Islam. Terjadilah pembaran beberapa rumah, bangunan sekolah, dan asrama polisi. Suasana di Poso reda, pada saat Gubernur dan Kapolda Sulawesi Selatan terjun di lapangan untuk mendinginkan situasi. Sulaiman Mamar menyebutnya pada konflik poso jilid II ini dilatarbelakangi faktor politik, kenalakan remaja, agama, dan kecerobohan pihak keamanan pada saat diterjunkan dilapangan.


Konflik Poso Jilid III (Mei 2000)


Kelompok Kristen menghadang kendaraan umum yang melintas di dekat kantong pemukiman orang Kristen. Dilaporkan orang Islam ada yang terbunuh di tempat penghadangan kendaraan umum tersebut. Pada saat itu pula tersebar desas-desus bahwa Poso akan diserang oleh kelompok Kristen. Tidak lama kemudian, Sulaiman Mamar melaporkan, terjadi penyerangan pada malam hari yang dilakukan oleh kelompok yang bercadar merah. Sulaiman Mamar menyebutnya, kelompok merah itu adalah kelompok Kristen. Saat itu pula kelompok Islam melakukan perlawanan dengan mengenakan simbol cadar putih. Namun tercatat kelompok Islam terpojok dengan mengungsi besar-besaran, setelah rumah mereka hangus terbakar sejumlah 15 ribu bangunan dan tercatat 1000 orang Islam meninggal. Sulaiman Mamar menyebutnya konflik ini sebagai dilatarbelakangi oleh keinginan untuk membunuh dengan sadis dengan berkedok agama.


Konflik Poso Jilid IV (Juli-Desember 2000)


Datanglah laskar jihad Ahlus Sunnah Waljamaah dari Jawa. Tujuan laskar ini adalah melakukan evakuasi kelompok Islam di pengungsian jauh dari pemukiman yang telah terbakar ludes. Tepat dan secara kebetulan, pada saat itu adalah bulan puasa. Bersamaan dengan itu, terjadi demontrasi penolakan Sekwilda yang di isi bukan dari wakil daerah lokasi setempat. Demonstrasi itu berlangsung di depan DPRD Poso. Pada malam harinya terjadi pembunuhan sejumlah 14 orang meninggal (termasuk Imam Masjid Poso). Singkat cerita, dalam proses evakuasi, laskar jihad mendapatkan perlawanan dari kelompok Kristen. Setelah laskar jihad meminta ijin dari ketua DPRD Poso, laskar jihad melangsungkan serangan balik. Tercatat dalam serangan balik itu, 10 ribu rumah warga Kristen di bakar, dan puluhan orang kristen meninggal. Menurut Sulaiman Mamar, hal yang melatarbelakangi konflik Poso jilid empat ini tidak jauh beda dengan konflik Poso jilid tiga. Hanya saja, tidak sedahsyad konflik Poso jilid tiga, kerena telah terjadi peristiwa pemerkosaan dengan besar-besaran.


Kegelisahan dan Deklarasi malino


Berbagai kelompok dari perwakilan agama, tokoh masyarakat, akademisi, dan kelompok/ organisasi yang ada di Poso, bersama-sama mendesak pemerintah pusat untuk melakukan rekonsiliasi nasional sehubungan dengan konflik Poso yang tidak berkesudahan itu (kurang lebih 3 tahun berturut-turut berkonflik dan berselisih). Tidak kemudian, respon masyarakat luas itu ditindaklanjuti pemerintah yaitu dengan membentuk tim “Rekonsiliasi nasional”. Mereka yang diberi tugas adalah Menkopolkam (Susilo Bambang Yudhoyono), Menkokesra (Jusuf Kalla), dan Menhamkam (Mathori Abdul Jalil, almarhum) untuk melakukan penelitian dilapangan, sebagai bahan perdamaian di Poso. Proses perdamaian ini dilaksanakan di Malino – Gowa – Sulawesi Selatan. Dengan cepat, tim nasional yang diterjunkan membuat mediasi ulang alik. Mediasi ulang alik ini bertugas menjaring tokoh-tokoh yang terlibat berkonflik dan berselisih. Singkat cerita, tim rekonsiliasi nasional melangsungkan proses perdamaian. Pertemuan di Malino ini dihadiri oleh kelompok pemerintah (sebagai mediator), kelompok Islam (terdiri 25 orang), kelompok Kristen 23 orang), dan kelompok Peninjau yang terdiri dari Ulama, Pendeta, TNI, POLRI, Akademisi, dan LSM). Adapun strategi pertemuan Malino yaitu sebagai berikut; (1) pada hari pertama Menkokesra menemui perwakilan dari kelompok yang bertikai secara bergantian, (2) pada hari kedua dilakukan pertemuan puncak rekonsiliasi dengan peserta tersebut di atas, (3) pada siang hari pada saat makan siang dilangsungkan, ditunjukkan tim khusus untuk menyusun konsep perdamaian Poso, (4), pembacaan konsep deklarasi peradamaian, dan (5) penandatangan deklarasi malino. Pasca pelaksanaan Deklarasi Malino, Poso hingga kini dalam keadaan kondusif (!). Adapun isi dari Deklarasi Malino adalah sebagai berikut (tanda ***);




***
“Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, kami yang mewakili masyarakat Muslim dan Kristen Poso serta kelompok-kelompok yang ada, setelah mengalami dan menyadari bahwa konflik dan perselisihan yang berlangsung selama tiga tahun terakhir ini di kabupaten Poso dan Marowali, telah membawa penderitaan dan kesengsaraan yang berkepanjangan bagi rakyat, maka dengan hati yang lapang dan jiwa terbuka sepakat;
  1. Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan;
  2. Mentaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar;
  3. Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan;
  4. Untuk terciptanya suasana damai, menolak memberlakukan keadaan darurat sipil, serta campur tangan pihak asing;
  5. Menghilangkan segala bentuk fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua pihak, dan menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu samalain, demi terciptanya kerukunan hidup beragama;
  6. Tanah Poso adalah bagian integral dari Republik Indonesia. Karena itu, setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, datang dan tinggal secara damai dan menghormati adat istiadat setempat;
  7. Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sah, sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung;
  8. Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asalnya masing-masing;
  9. Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi saran dan prasarana secara menyeluruh;
  10. Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dan prinsip saling menghormati, dan mentaati segala peraturan yang telah disetujui, baik dalam bentuk undang-undang, maupun peraturan pemerintah dan ketentuan-ketentuan lainnya.
 ***

Penutup


Para siswa kelas XI Program Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang saya cintai dan yang saya banggakan. Kita sebagai generasi muda Indonesia, berkewajiban menjaga, mengisi, dan menggunakan Negara Kesatuan Republik Indonesia, untuk mencapai tujuan bangsa Indonesia, lengkapnya terdapat UUD RI 45, dan selalu bernafaskan pada Pancasila sebagai prinsip hidup besama. Alangkah lebih indahnya, kita mengedepankan cinta kasih dan rasa persaudaraan antar sesama, bukan sebagai pencipta konflik dan perselisihan untuk menceraiberaikan Negara Kesatuan Republik Indonesia, terimakasih.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama