Janda Perantauan Dalam Meretas Masa Gawat

Janda Perantauan Dalam Meretas Masa Gawat


ABSTRAK

       Penelitian yang dilakukan selama tiga bulan berturut-turut pada awal tahun 2008 ini, mengangkat tema penelitian tentang janda perantauan yang ditinggal sementara waktu oleh suaminya di negeri rantau. Topik penelitian yang diangkat adalah dinamika janda perantauan dalam meretas masa gawat. Penelitian dilakukan di desa Pekalongan Kecamatan Winong Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang terbagi dalam 2 Rw dan 14 Rt. Setiap Rt sedikitnya terdapat lima janda perantauan. Jumlah janda perantauan ini diperkirakan semakin bertambah, seiring dengan bertambahnya pasangan muda yang menggelar upacara perkawinan. Merantau ke luar negeri bagi laki-laki pasca menggelar pesta perkawinan menikah, telah menjadi pilihan utama. Dengan sepeninggalan suaminya di negeri rantau, janda perantauan dipaksa untuk sukses dalam mengatur ekonomi rumah tangga, pengasuhan anak dan menjaga hubungan kemasyakatan setempat. Bagaimana potret janda perantauan di atas dalam mengantarkan keluarganya sepeninggalan suaminya di negeri rantau.
        Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang diketengah, geliat janda perantauan dalam meretas masa gawatnya, dapat ditarik beberapa garis besar sebagai berikut: (1) Laki-laki Jawa yang telah membangun ikatan keluarga, memiliki etos kerja dan tanggung jawab yang tinggi dalam menghidupi ekonomi dan keberlangsungan keluarganya, hal ini ditunjukkan dengan menjadi TKI di luar negeri; (2) Bagi keluarga yang pihak suaminya bekerja merantau, pihak istri (atau yang disebut sebagai janda perantauan) merupakan orang kunci dalam mengelola penghasilan yang diperoleh dari suami di rantau; (3) Janda perantauan dalam meretas masa gawatnya (melanggengkan ikatan perkawinan, mengelola pengahasilan, mengasuh dan mendidik anak) dipengaruhi oleh visi suami di rantau dan keluarga terdekatnya; (4) Janda perantauan dalam meretas masa gawatnya cenderung tidak serius, waktu kesehariannya dihabiskan dengan bercengkrama, bermain di tetangga dekat, dan cenderung selama menjadi janda perantauan, hidupnya tidak ingin prihatin, alias boros; dan (5) Keluarga dekat (orang tua pihak suami dan atau istri) berperan penting dalam mengasuh anak keluarga perantauan, dan sebagai kontrol agar janda perantauan tidak kebablasan dalam menggunakan kekayaan dan kepercayaan yang diberikan suaminya di rantau, sekaligus juga sebagai penikmat dari kesuksesan dalam hal ekonomi anak-anaknya.

Pendahuluan
           Dalam masyarakat yang masih mengagungkan tingginya nilai perkawinan, perceraian memang membuat pasangan suami-istri mendapat tantangan berat, baik itu dari masyarakat sekitar maupun dari keluarga. Keinginan untuk berusaha melanjutkan hidup setelah dihadapkan pada keretakan rumah tangga, relatif berdampak sosial yang cukup besar, terutama bagi pihak perempuan. Apalagi statusnya sebagai single parent.
           Memboyong predikat janda sering dipandang negatif. Apalagi jika dialami pada usia masih muda. Menyandang status janda, apa pun masalah dan alasannya, sering dianggap sebagai produk gagalnya perkawinan. Kasus perceraian tidak hanya akan dimonopoli salah satu golongan rumah tangga yang gagal dalam membangun salah satu pondasi komitmen berkeluarga. Siapa pun pasangan suami istri, dari mana pun golongan sosial mereka berasal, apakah mereka berasal dari status sosial akademisi, jutawan, bahkan yang menyandang status tukang becak, bila tidak ada lagi komitmen dalam perkawinan, bisa saja terjadi perceraian.
          Pondasi ikatan dalam membangun lembaga perkawinan sampai saat ini yang paling dominan adalah ketersediaan dan ketercukupan dari kebutuhan ekonomi sehari-hari. Walaupun fakor ekonomi tidaklah satu-satunya yang faktor yang paling urgen, namun seringkali dengan ketidak-cukupan dan keberlimpahan ekonomi relatif mendominasi semesta perilaku sosial untuk bercerai. Lapangan pekerjaan dan tuntutan ekonomi keluarga pasca menikah semakin tinggi, seringkali mendorong sebagian masyarakat, khusunya suami, untuk mencari pekerjaan di luar negeri, atau sebut saja merantau. Trend jenis pekerjaan ini merupakan pilihan yang dipandang paling menjanjikan karena penghasilan yang bakal diperoleh lumayan besar dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidup keluarga. Namun pilihan pekerjaan ke luar negeri tidak lepas dari dan menimbulkan masalah. Perceraian, menikah di bawah tangan saat berada di luar negeri, hamil dari suami yang tidak jelas keberadaannya bagi istri yang di tinggal merantau, atau suami menikah lagi dengan perempuan lain, semupakan sisi lain dari konsekwensi yang di tanggung.
            Dalam terminologi masyarakat Jawa, seorang istri adalah segala-galanya dalam menggunakan sumber daya ekonomi keluarga. Penghasilan dari manapun sumbernya, apapun bentuknya, semua dalam kendali oleh sosok istri, atau yang disebut dengan kuasa perempuan Jawa. Keluarga yang sumber ekonominya dari penghasilan suami merantau, menurut penulis merupakan masa gawat dalam memperbincangkan ketahanan keluarga. Terlebih keluarga itu telah memiliki rumah sendiri dan jauh dari jangkauan dari pihak keluarga dekat. Dengan kondisi demikian, tidak menutup kemungkinan akan terjadi kegagalan sosok istri dalam mengawal dan mengantarkan ikatan keluarga yang dibangun sebelumnya. Misi suami yang ingin istrinya tidak terbebani dengan segala aktivitas rutin menjadi ibu pengatur rumah tangga, semenjak kepergian suaminya di negeri rantau, terkadang disalahgunakan/penyimpangan. Apalagi di desak dengan kebutuhan status kemewahan yang tidak kunjung padam, menjadi panglima. Penggunaan kekayaan yang diperoleh dari negeri rantau, terkadang terjadi pemborosan. Hidup yang serba kecukupan, selalu menjauhi beban, dan orientasi untuk dipandang sebagai keluarga yang berhasil, maka pola hidup mewah sering tidak direncakan dengan ketersediaan kekayaan yang diproduksinya. Pola hidup keseharian keluarga yang ditinggal suaminya di perantauan inilah yang kemudian menjadi masa gawat, jika tidak hati-hati, ikatan jalinan untuk membangun lembaga keluarga akan hancur. Perceraian, kemiskinan, dan jauh dari kualitas hidup yang layak, merupakan akhir dari semua proses dan perjuangan panjang yang selama ini hendak dihindarkan.
          Dalam tulisan ini akan mengantarkan laporan ringkas tentang pola keseharian hidup para istri yang ditinggal suaminya (atau dalam penelitian ini yang di sebut janda perantauan), dalam menggunakan hasil kekayaan suami menjadi tenaga kerja di perantauan.

Metode penelitian
         Dalam bagian ini akan disajikan teknik dan strategi peneliian, meliputi; sumber data, metode pengumpulan data, metode analisis, dan model sajian laporan penelitian. Penelitian ini mengenakan data yang bersumber dari informan, place, dan paper. Informan adalah janda-janda yang teliti. Place adalah lingkungan orang-orang yang penulis teliti, lingkungan penulis dan lingkungan-lingkungan lain yang dapat memberikan data-data yang dibutuhkan. Kemudian paper yang dikenakan adalah buku-buku, hasil penelitian dan lainnya.
Selanjutnya data dikumpulkan dengan cara observasi, dokumentasi, wawancara. Pengamatan dan wawancara dilakukan pada janda perantauan. Dalam melakukan wawancara dengan para janda perantauan, melalui tanya jawab langsung dan tidak langsung. Beserta dokumentasi menjadi cara pengumpulan data penelitian, sebagai jendela untuk menyuguhkan secara mendalam, akan fokus dan batasan penelitian ini. Setelah data penelitian terkumpul, segera dilakukan analisis data. Pendekatan deskriptif kualitatif menjadi metode analisa dalam penelitian ini.

Kelas elit penentu dan keluarga ekonomi perantauan
           Menurut Soemardjan (dalam Keller, 1984; vi-viii) apabila struktur masyarakat telah beraneka ragam (heterogeneous) maka dengan sendirinya pola kepemimpinan menjadi beraneka ragam pula. Pada tiap-tiap bidang kehidupan masyarakat yang penting akan timbul suatu golongan dengan suatu hearakhi tersendiri di mana ada suatu elit atau golongan kecil mereka memegang peranan yang paling berpengaruh di bidangnya. Lanjut Soemardjan, namun apabila masyarakat bertambang besar dan kompleks maka di samping pusat kekuasaan umum timbul berbagai pusat kekuasaan khusus dalam masyarakat. Dengan demikian timbul solidaritas organis dalam arti bahwa pusat kekuasaan umum atau ruling elite tidak lagi dapat berhubungan langsung dengan tiap-tiap anggota masyarakat secara individual, akan tetapi harus berkomunikasi dengan organ-organ di dalam masyarakat, yaitu dalam hal ini pusat-pusat kekuasaan khusus atau strategic elite tadi. Disinilah makna karangan Suzann keller. Para tokoh dari the ruling class banyak yang berasal dari strategic elites di bidang non pemerintah. Dibekali dengan ambisi politik maka mereka menjadi anggota salah satu partai politik, dan lewat keanggotannya partai itu, mereka masuk ke dalam the ruling class dan selanjutnya menjadi anggota the ruling elite yang dengan nyata memegang kekuasaan Negara. Apabila mereka di keudian hari meninggalkan the ruling elite tanpa memegang kekuasaan negara yang nyata, mereka maish dapat berpengaruh dalam the ruling class yang lebih luas. Yang pasti mereka dapat kembali lagi dalam salah satu strategic elite dari mana mereka dahulu berasal. Tokoh-tokoh yang memegang pimpinan perusahaan besar seperti di bidang idnustri, mobil, minyak bumi, baja, software komputer, perdagangan, perbankan, komunikasi masa dan serikat buruh dapat di pandang sebagai pendekar strategic elite di bidang masing-masing.

Perceraian dari kaca mata budaya
           Paparan kepustakaan etnografi masyarakat Jawa yang telah menjadi kajian klasik tentang pekawinan dan perceraian dapat di lihat pada tulisan Hildert Geertz tentang keluarga Jawa. Menurut Hildret Geertz (1985;57) di Jawa perkawinan telah menjadi pertanda terbentuknya somah baru yang segera akan memisahkan diri, baik secara ekonomi maupun tempat tinggal, lepas dari kelompok orang tua dan membenuk sebuah basis untuk sebuah rumah tangga baru. Pada sementara, perkawinan juga merupakan pelebaran menyamping tali ikatan antara dua kelompok himpunan yang tidak bersaudara, atau pengukuhan keanggotaan di dalam satu kelompok endogam bersama. Tetapi di Jawa hanya melibatkan dua buah somah, yang akan dipersatukan kemudian lahirnya seorang cucu milik bersama. Anggota keluarga besar setiap pihak, dengan tetap berasa di latar belakang, memberikan dukungan, sumbangan, bantuan, kesaksian, masing-masing sesuai dengan kekhususan hubungannya dengan orangtua pasangan suami istri baru tersebut. Dengan demikian, menurut Hildret Geertz, pekawinan di Jawa tidak dipandang semata-mata sebagai penggabungan dua jaringan keluarga yang luas, tetapi yang dipentingkan adalah bagi orang jawa, pembentukan sebuah rumah tangga yang baru dan mandiri. Pandangan ini tampak jelas di dalam istilah yang lazim untuk kawin adalah omah-omah yang berasal dair kata omah, yang berarti rumah.
           Dalam membangun ekonomi yang mandiri, menurut Hildret Geertz, bagi pasangan muda Jawa, akan tertunda pada tahun-tahun awal atau satu tahun lebih sesudah pernikahan. Kecuali hanya apabila akhirnya pemisahan itu benar-benar telah terjadi, pasangan baru tersebut secara sosial, dipandang bnar-benar telah menikah. Ditinjau dari sudut itu, maka di Jawa pengakhiran kontrak perkawinan yang sebenarnya meliputi serangkaian tindakan yang memerlukan jangka waktu tertentu.
            Perkawinan pertama bagi kelaurga Jawa menurut Hildret Geerz lebih pada pengukuhan status sosial keluarga. Proses mengenal, tunangan, sampai dengan upacara perkawinan cenderung digelar dengan prosesi perhelatan besar. Proses yang tidak dilalui dengan normal antara dua calon rumah tangga baru ini, menurut Hildret Geertz, mudah sekali terjadi kegagalan dalam meneruskan ikatan perkawinan, atau cerai. Bulan-bulan pertama bagi pasangan perkawinan orang Jawa, dipandang Hildret sebagai masa gawat. Hal ini dikarenakan kedua pasangan ini belum sama-sama kenal secara mendalam, ditambah dengan minimnya persiapan untuk beralih status sosialnya, dari perjaka dan perawan menjadi suami dan istri, yang mana tugas dan tanggung jawabnya belum pernah dilampaui sebelumnya.
            Pada tahun pertama, orang tua cenderung mendampingi pasangan baru itu, diharapkan tidak gampang cerai. Niat untuk mendirikan rumah sendiri harus ditunda bagi pasangan baru yang baru sedang nikah. Biasanya setelah satu tahun pertama, pasangan baru ini dipersiapan untuk mendirikan rumah, yang dipandang menurut orang tua sudah siap, dari proses pendampingan selama satu tahun awal.
          Dalam hal pengelolaan ekonomi keluaga, menurut Hildret Geertz (1985;127) antara suami dan istri memiliki peran sama-sama bebasnya. Bahkan wanita memiliki wewenang yang besar dalam hal kepemilikan kekeyaan dan pengaturannya. Pada umumnya wanita Jawa, dibanding laki-laki, lebih banyak terlibat di dalam masalah sosial dan ekonomi keluarga. Bagi pasangan baru yang telah menetap, biasanya tinggal dekat leuarga suami, atau tinggal di dekat keluarga istri, dan mendirikan rumah jauh dari kedua keluaga tersebut. Menurut Hildret Geertz, bagi keluarga baru yang tinggal di dekat keluarga suami, seringkali tidak lepas dari campur tangan keluarga suami, biasanya ibu sang suami. Berapa pendapatan sehari-harinya, setiap hari makan apa, ibu dari pihak suami selalu ingin tahu. Menurut Hildret Geertz, ibu dari pihak suami juga ada kecenderungan untuk menguasai dan mengatur penggunaan kekayaan dari anaknya. Menurut Hildret Geertz, hal ini akan segera selesai jika suami memiliki ketegasan dalam hal mengatur ekonomi keluarga barunya.
           Seks keluarga Jawa, menurut Hildret Geertz (185;133) bukan pemasalahan moral. Saling curiga dan ingin menangkap basah jika melakukan hubungan serong, acapkali dilakukan. Walaupun banyak juga yang setia dari awal sampai melahirkan keluarga baru dan baru lagi, ada juga yang gagal, dimana perkawinan di akhiri dengan perceraian. Laki-laki menurut Hildret memiliki kecenderungan untuk bermain gelap-gelapan dengan wanita lain. Seringkali kali anggota keluarga yang melakukan serong dengan wanita pasangan lain, atau laki-laki pasangan lain, alasan tidak bertanggung jawab secara ekonomi juga mendominasi. Alasan perceraian dilakukan, sering pula disebabkan perselisihan antar sesama keluarga. Ada juga perceraian dilakukan karena pasangan yang bersangkutan memang tidak saling suka, sehingga tidak akan tidur atau hidup bersama.
          Dari kaca mata antropologi ekonomi, Clifford geertz (1965;88) dalam bukunya Mojokuto: dinamika sosial sebuah kota di Jawa menguraikan tentang perkembangan kelas pekerja tanpa tanah, khususnya dalam perkembangan kampung. Perkembangan kelas pekerja tanpa tanah, menurut Geertz terdapat tiga dimensi inilah yang berhubungan dengan ketahanan keluarga dari sisi ekonominya. Dengan terminologi Geertz tentang perkembangan kampung inilah, kemudian memberikan warna ketahanan ekonomi dan kebelangsungan bangunan keluarga. Tiga dimensi itu adalah sebagai berikut; pertama, timbulnya struktur pekerjaan baru yang semi modern, yang memungkinkan dan mendorong penduduk pindah dari tanahnya dan memasuki pekerjaan di luar pertanian. Kedua, pengecilan bentuk kehidupan sosial desa tradisional dalam kampung-kampung dengan hilangnya basis pertaniandari integrasi masyarakat, dan bersamaan dengan itu, muncul bentuk-bentuk organisasi sosial baru untuk melawannya. Ketiga, hilangnya sebagian struktur politik desa dan juga sebagian reorientasi ke arah kepemimpinan politik urban.
          Walaupun kajian perceraian dalam etnografi kebudayaan Jawa yang ditulis Koentjaraningrat tidak banyak di kupas, menurut Koentjaraningrat (1994;147) kita sering melihat orang tua yang tinggal di rumah anaknya, biasanya anak wanita, karena dengan sendirinya mereka lebih suka tinggal pada anak wanita sendiri daripada tinggal di rumah anak pria dan menantu wanita mereka. Seorang wanita yang ikut mencampuri urusan rumah tangga anaknya sering menyebabkan pertengkaran, dan karena itu ia lebih banyak mengurus cucu-cucunya. Disampaikan pula Koentjaraningrat, hubungan seseorang dengan saudara-saudara sekandungnya pada waktu mereka sudah dewasa merupakan hubungan saling membantu.

Studi tentang Janda
        Seperti beberapa alasan klasik dilakukan penelitian dalam konteks kepustakaan, dilakukan karena minimnya penelitian yang bertemakan tentang janda. Walupun demilikian, terdapat kepustakaan yang dianggap selaras yaitu tema penelitian tentang tenaga kerja, baik dalam negeri mapun luar negeri. Selanjutnya akan dipaparkan beberapa penelitian terdahulu tenteng kajian janda, untuk keperluan memperkaya bangunan kepustakaan dan pemikiran dalam penelitian ini.
           Penting dihadirkan dua tema besar dari beberapa penelitian terdahulu. Dua tema besar itu adalah penelitian tentang seluk beluk tenaga kerja Indonesia dan penelitian tentang seluk beluk kehidupan janda. Beberapa penelitian yang akan diketengahkan di bawah ini, kecenderungan ada hubungan antara pilihan menjadi tenaga Indonesia ke luar negeri dan tingkat perceraian, baik dari pihak istri maupun dari pihak suami. Walaupun demikian, perceraian tidak hanya disebabkan hanya pilihan menjadi tenaga kerja wanita. Pernikahan, seperti yang dipaparkan dalam pendahuluan di atas, merupakan jembatan dalam mewujudkan visi membangun keluarga yang bahagia, dalam arti luas. Liku-liku dalam proses menuju keluarga yang bahagia itulah, relatif sebagai aspek dominan dalam terjadinya tindakan perceraian. Duda dan janda, rujuk dan tidak rujuk, menikah lagi dan selamanya menyendiri, merupakan pilihan pasca perceraian. Seluk beluk tenaga kerja Indonesia dan seluk beluk kehidupan janda dapat dilihat pada beberapa penelitian berikut ini.
          Muslan Abdurrahman (2004, dalam Pinarto; Suara Merdeka, 30 Juli 2004) pernah mempublikasikan ringkasan penelitian tentang kepatuhan hukum calon-calon TKI terhadap aturan tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri seperti yang tertuang dalam Kepmenakertrans Nomor 104 A/MEN/2002, di Desa di Jawa Timur. Abdurrahman dalam penelitiaannya menemukan hal penting tentang dunia tenaga kerja Indonesia. Ditemukan dalam penelitian Abdurrahman, seluruh TKI yang pemberangkatannya tanpa melalui prosedur/aturan pemerintah, justru berhasil meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Pilihan untuk tidak menggunakan prosedur/aturan pemerintah disebabkan beberapa hal. Menyulitkan, jika mengikuti aturan, pemberangkatannya lama, dan jika sesuai aturan, tidak bisa bebas memilih pekerjaan, hadirnya aturan banyak mendatangkan makelar, dan pemerintah tidak jujur, adalah beberapa pandangan para TKI. Meningkakan kesejahteraannya merupakan orientasi utama bagii para TKI, walaupun dengan pilihan calo dengan konsekwensi tanpa perlindungan hukum negaranya, termasuk tanpa jaminan sosial kesehatan.
          Kesuksesan dan kegagalan pasca memilih menjadi TKI adalah konsekwensi logis. Seperti penelitian yang dilakukan Tim MTs Mazra'atul Ulum (2007) ini merupakan gambaran kegagalan pilihan menjadi TKI, dimana ikatan keluarga luluh lantak, dan perceraiankan yang didapat. Dalam penelitian tersebut yang dilakukan di Paciran Jawa Timur tentang pengaruh TKI terhadap jumlah perceraian, melaporkan bahwa tingkat perceraian relatif meningkat seiring meningkatnya anggota masyarakat yang menjadi TKI. Ditemukan faktor penyebab perilaku perceraian antara lain; persoalan ekonomi, perselingkuhan, pengaruh dukungan sosial dari pihak luar, atau menikah diam-diam di bawah tangan. Semua faktor ini menimbulkan suasana keruh dan akhirnya meruntuhkan kehidupan rumah tangga. Tercatat dalam penelitian tersebut, perceraian pada keluarga TKI/TKW akibat perselingkuhan, suami menikah lagi dengan perempuan lain, dan hamil dari suami yang tidak jelas keberadaannya. Adapun faktor utama penyebab perselingkuhan dalam penelitian tersebut diantaranya; fondasi nilai-nilai keagamaan TKI/TKWI yang relatif sangat rendah, adanya kepentingan yang saling membutuhkan, kondisi tempat tinggal atau tempat penampungan, dan TKI/TKWI yang bermasalah biasanya menjadi momen munculnya perselingkuhan yang tidak jarang sampai ke jenjang pernikahan tanpa mempedulikan lagi keluarga.
       Hal senada juga dilaporkan dalam Majalah Tempo (15 Juni 2007). Dilaporkan angka perceraian di Lombok terjadi lonjakan yang cukup tinggi. Berdasarkan penelitian tim dari Pondok Pesantren Nurul Hakim, dalam satu desa terdapat 700 orang janda. Berdasarkan laporan penelitian tersebut, desa bersangkutan merupakan salah satu daerah sumber tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Malaysia. Dilaporkan pula mereka yang melangsungkan prosesi perkawinan, kurang dibekali pendidikan berkeluarga sebelum menikah.
Selanjutnya apa yang akan dialami, nasib janda pasca perceraian. Penelitian Santoso (2006, dalam Pambudy, 2006) mengatakan bahwa para janda diterpa kesulitan untuk membesarkan anak-anaknya, dan masyarakat tidak memandang janda sebagai keluarga yang perlu mendapat bantuan. Santoso menambahkan, dengan keadaan di atas, seorang janda harus memangku stigma negatif pada setiap perempuan, dimana suka mengganggu suami orang. Terlepas stigma tersebut bertujuan agar suami-suami perempuan tersebut tidak melirik janda, atau perempuan tersebut ketakutan memikul status janda.
        Dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, para janda di paksa harus kreatif untuk mendapatkan pendapatan kesehariannya, atau sebut saja siasat ekonomi para janda. Idris, et al. (2006) dalam penelitiannya tentang siasat ekonomi dan mobilitas status para perempuan janda dan anadaratoa pada dua komunitas pasar tradisional di Palanro dan Mangkoso. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kehidupan para perempuan janda dan anadaratoa cukup "tertempa secara kultural" berjuang dan berusaha dalam memenuhi kebutuhan hidupnya; subsistem yang mendorong mereka dalam berusaha, dimungkinkan oleh faktor: utilitas/nilai kemanfaatan, mitos-miios yang melandasi mereka berusaha, prestise/status sosial dan lingkungan alami yang tidak memungkinkan mereka untuk berusaha lain selain untuk berdagang dan faktor perubahan/pergeseran sosial. Siasat ekonomi yang dijalankan oleh para perempuan janda dan andaratoa adalah berupaya untuk meningkatkan usaha dagang, meminimalkan pengeluaran, membuat tabungan harian, melakukan arisan dan meminjam uang di bank. Mereka berupaya meminimalkan pengeluaran dan melakukan upaya yang dapat merangsang daya tarik pembeli. Dengan siasat ekonomi yang dijalankan oleh perempuan janda/anadaratoa memungkinkan mereka memiliki mobilitas status sosial yang tinggi dalam masyarakat religius - patriarkhi komunitas pasar tradisional Palanro dan Mangkoso.
         Banyak sudah masalah yang dipaparkan di atas tentang seluk beluk tenaga kerja Indonesia dan seluk beluk kehidupan janda. Sisi lain menjadi TKI tidak selalu berakhir dengan membentuk keluarga yang bahagia. Dalam penelitian Indarto (2007) tentang mantan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan implikasinya terhadap ketahanan ekonomi keluarga, di dua desa di Kecamatan Gumelar Kabupaten Banyumas, menyimpulkan bahwa kehidupan mantan TKI masih berada dibawah garis kemiskinan serta masuk dalam kategori miskin. Hal tersebut berarti secara umum menggambarkan bahwa kondisi ketahanan ekonomi keluarga responden dalam kondisi lemah
          Bukan hanya ketahanan keluarga yang keropos karena tidak siapnya kehilangan pekerjaan menjadi TKI. Santoso (2007), penelitian tentang liku-liku kehidupan para janda dalam perjuangan hidup sebagai single parent serta soal kehidupan seksualitasnya. Menyandang status sebagai janda merupakan hal berat secara psikologis. Apalagi stigma status janda selalu dianalogikan dengan hal negatif. Misalnya, sering terlontar ucapan "perempuan gatel". Salah seorang informan mengungkapkan bahwa dirinya dipersalahkan atas perceraian itu. Perlakuan kasar dengan cara dipanggil yang tidak biasa. Suatu waktu informan pulang malam. Ketika keluar dari bus, punggungnya ditepuk tukang sayur dekat rumahnya dan mengatakan, "Dasar janda". Beda lagi yang dialami informan lain. Dengan menyandang status sebagai janda di lingkungan kelas menengah bawah, dia merasakan begitu beratnya menjadi janda. Masyarakat telanjur mencap janda sebagai status yang rendah dan lingkungan selalu merasa curiga. Santoso mengatakan, sebenarnya stigma janda yang tidak baik lebih banyak beredar di kalangan istri atau perempuan yang takut suaminya direbut atau digoda.
Menurut penulis, ada tema yang lebih penting dalam memasuki belantara liku-liku tenaga kerja Indonesia dan seluk beluk kehidupan janda. Tema penting itu adalah bagaimana sistem keluarga itu digerakkan oleh sang istri pada saat suaminya menjadi tenaga kerja di luar negeri atau di luar kota, atau pelaku sebaliknya. Pola hidup meliputi bagaimana keluarga menggunakan uang dari hasil jerih payah seorang suami (atau sebaliknya), sosialisasi pola asuh pada anak-anaknya dalam memandang keberhasilan ekonomi, pola keseharian keluarga yang ditinggal suaminya bekerja di luar negeri, pola pandang orang-orang terdekat dan sekitar dalam mengkontruksikan keberhasilan keluarga TKI, dan beberapa aspek yang dipandang penting lainnya, menurut penulis adalah hal yang penting, dimana seorang istri kemudian harus pindah status sosialnya menjadi seorang janda.
           Janda perantauan, merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan pada saat istri ditinggal bekerja suaminya di luar negeri. Istilah ini memang cenderung memiliki bangunan stigma negatif. Namun tujuan dari penulis menggunakan istilah tersebut, agar yang bersangkutan dan masyarakat saling mengembangkan konstruksi pemikiran, bahwa istri yang ditinggal merantau (bekerja di luar negeri) suaminya adalah masa gawat yang harus dilalui, dalam mewujudkan keluarga yang bahagia, bukan kehancuran ikatan dan jalinan keluaga inti maupun luas.

Hasil penelitian singkat

Menelusuri belantara perkawinan dan masa gawat
        Banyak sudah dan terkesan berjubel ragam disiplin ilmu pengetahuan dalam memaknai arti keluarga. Seperti halnya disiplin ilmu sosiologi (keluarga berfungsi sebagai arena sosialisasi), antropologi (memandang keluarga berfungsi sebagai bejana enkulturasi), psikologi (keluarga berfungsi sebagai medium internalisasi), ekonomi (keluarga berfungsi sebagai wahana pemenuhan materi), dan biologi (keluarga berfungsi sebagai pelestari manusia dari kemusnahan masal), dan masih banyak lagi. Setiap disiplin ilmu yang memiliki ahli, masyarakat pengikut dan keberpihakan itu, seakan saling menggelontorkan cara pandang untuk strategi eksisnya keluarga dari terpaan masalah, dan juga sebagai peso analisa dalam memahami keluarga. Itulah yang kemudian sering disebut aspek aksiologis pada disiplin ilmu.
        Dalam masyarakat Jawa, siapapun orangnya, pada umumnya akan melangsungkan upacara rites hidup. Mengapa, karena jika ingin eksis hidupnya maka harus melampaui tahapan-tahapan masa gawatnya. Ritus hidup menurut orang Jawa sebagai petanda dimana orang akan naik statusnya. Sejak janin masih di dalam kandungan, kemudian janin tumbuh dan berkembang sampai bayi yang pada waktunya akan dilahirkan dari rahim ibunya, sampai dengan menikah dan menjadi pemegang pelestari keturunan garis manusia, banyak sudah yang digelar ragam upacara rites hidup, besarta pernak-pernik upacara dan tindak-tandunya. Harapan dari setiap pelaksanaan rites hidup itu adalah setiap mausia mampu melampaui masa gawat dan berhasil terbang ke fase berikutnya.
          Satu upacara rites hidup yang selalu dinantikan setiap orang Jawa laki-laki dan perempuan, adalah upacara perkawinan/nikah. Upacara ini bukan hanya semata-mata melepaskan masa lajangnya. Penulis dan pembaca pun mungkin berbeda dalam memaknai proses pernikahan dilangsungkan. Ada yang memaknainya untuk menggugurkan kuwajiban sebagai perintah agama, menjalankan sunnah rasul, mencapai kepuasan birahi, mencapai hidup berkecukupan, menjaga kekayaan agar tidak keluar, meneruskan garis sejarah manusia, mengecoh dan lari dari keburukan dan ke-tabu-an, dan masih banyak lagi alasan yang digelar, dengan proses yang terkesan ruwet dan formal. Namun segala alasan melangsungkan hajatan besar itu adalah untuk membentuk lembaga baru, yaitu keluarga.
         Seorang perawan akan menjadi sosok ibu, seorang perjaka akan menjadi seorang bapak, dan kemudian memiliki anak. Tiga elemen inilah yang sesungguhnya menjadi bagian penting dalam mendirikan sebuah tatanan keluarga, walaupun elemen yang ketiga ini tidak selalu harus ada, tetapi tetap menjadi misi utama untuk dihadirkannya.
          Ukuran meretas dari masa gawat kelajangan seorang perjaka dan perawan pada umumnya tidak hanya sebatas mampu melahirkan keturunan, yaitu anak. Proses dimana seseorang melangsungkan hidup dilembaga keluarga merupakan sesuatu yang menjadi fokus dan perhatian dimana suami dan istri itu berhasil melompat dari masa gawat. Pada umumnya akan berjalan dengan sendirinya dalam membagi peran, hal ini sering di-identifikasikan dengan mengebulnya dapur, terpenuhinya kebutuhan konsumtif dan simbol kemapanan sosial lainnya. Degan persiapan ala kadarnya, setiap keluarga dengan serius melakukan sesuatu (bekerja) agar sampai pada layaknya lembaga keluarga yang telah terpola dalam masyarakat. Pada bagian inilah, menurut penulis sebagai masa gawat dalam membangun sistem lembaga keluarga.
         Dalam lembaga keluarga pada umumnya dipandang sukses jika institusi tersebut mampu mencukupi kebutuhan materi (perut) dan batin (penopang gaya hidup lainnya). Berdagang, bertani, menjadi buruh, guru, PNS, bahkan ada yang menggantungkan masa gawatnya agar selamat, dengan berjudi, merampok dan pekerjaan yang dipandang buruk oleh masyarakat.
       Proses pembangunan berbasis industri pasca orde lama, yang ditampilkan oleh pemerintahan orde baru, semakin banyak sistem ekonomi konvensional luluh lantak, dan kadang terkesan dihancurkan. Keberpihakan pemerintah dengan kiblat teori pertumbuhan rostow (yang disebut dengan menuju masyarakat modern) dengan mesinnya yaitu industrialisasi, imbasnya adalah melemahnya kegiataan ekonomi pertanian yang semakin tersisih. Bertani telah distigmakan sebagai pekerjaan rendah dan jauh dari kebersihan. Berduyun-duyunlah masyarakat petani yang dipaksa menjual sawahnya untuk didirikan sejuta prabrik. Menjadi buruh pabrik dengan upah dalam bentuk uang fress telah menjadi orientasi sepenuhnya. Bukan meluasnya sawah dan aktifitas bertani di sawah. Dengan upah menjadi buruh pabrik inilah, lembaga keluarga mampu berjalan dan melangkah dari keterpurukan ekonomi keluarga.
          Dengan uang, segala sesuatu dapat dimiliki. Bahkan ada yang mengatakan, harga diri pemilik uang dapat dikatrol setinggi bulan, dan harga diri orang lain dapat di lemparkan rendahkan comberan. Benar dan salah cara pandang di atas, tidak menjadi penting untuk di bahas di sini. Kemudian yang diketengahkan dalam tulisan ini adalah melemahnya sektor industri yang menjadi gantungan ekonomi setiap keluarga, karena krisis industri. PHK dan ketidakpastian setiap keluarga dari pemasukan pendapatan dari menjadi buruh industri seakan menyerang sampai ke urat nadi. Konservasi dan alternatif bekerja diluar sektor industri semakin marak, diantaranya dengan terbukanya akses menjadi tenaga kerja di luar negeri, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam bagian ini akan difokuskan lembaga keluarga yang menggantungkan roda ekonominya dengan bekerja di luar negeri dari pihak laki-laki, bukan PRT (pembatu rumah tangga). Tema ini menjadi fokus kajian karena ketertarikan penulis dengan merebaknya janda, karena suaminya bekerja di luar negeri menjadi TKI (tenaga kerja indonesia), yang kemudian penulis sederhanakan dengan menyebut para janda itu sebagai "janda perantau", karena status kejandaannya itu disebabkan ditinggal suaminya ke luar negeri untuk mencari menafkahi keluarga. Selanjutnya penulis memilih lokasi penelitian yaitu di desa pekalongan, sebuah desa yang ada di bagain dalam Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Desa inilah merupakan tempat penantian para janda perantauan dalam menanti kedatangan kiriman suang suaminya. Sepenuhnya tulisan ini bersumber dari hasil observasi di sekitar tempat tinggal penulis. Di bawah ini akan di ketengahkan laporan ringkas (observasi) bukan laporan luas (wawancara) tentang; pola keseharian janda perantau, strategi menggunakan penghasilan, pola asuh dan pendidikan anak, ukuran-ukuran kemewahan keluarga janda perantau, dan pola interaksi sosial para janda perantau.

Gambaran objek dan lokasi penelitian
       Lokasi penelitian dipilih dari salah satu desa yang secara aministraitif berada di Kecamatan Winong, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Beberapa tokoh masyarakat hidup berdampingan di sana. Mulai dari statusnya menjadi ulama, kyai, guru, pak RT, pak RW, dan perangkat desa sampai para akademisi. Dari beberapa kategori tokoh masyarakat di atas, berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara penulis, tidak ada yang dari keluarga TKI, atau dari keluaga janda perantauan dan orang pasca merantau. Mereka yang menduduki kursi tokoh masyarakat adalah orang-orang asli pribumi, bukan pendatang, dan bukan dari perantauan.
        Desa Pekalongan sebagai lokasi penelitian ini dikenal sebagai ibu kotanya Kecamatan Winong. Alasan masyarakat menyebutkan sebagai ikon dan pioner yang nantinya sebagai kawasan dari contoh desa maju dalam hal pembangunannya diantarnya; dekat dengan pusat administrasi, pusat kesehatan, pasar, terdapat tujuh lembaga formal dan informal, keuangan, balai nikah, dan bank.
         Potensi sumber daya manusianya juga menjadi momok setiap memperbincangkan kemajuan di aras pendidikan. Banyak alumni dari podok pesantren gontor, Jawa Timur, dan dari perguruan tinggi basis pendidikan (IKIP dulunya). Sehingga masyakatnya dikenal santri (memiliki karakteristik kehidupan yang bernuansa islami) dan pinter (berpendidikan). Pertanian tadah hujan telah memberi kontribusi dalam membangun dinamika pertanian di desa ini. Walaupun pertanian tadah hujan, dalam setahun, rata-rata dua kali tanam padi, dan dilanjutkan masa tanam ketiga dengan selingan palawija.
        Home industri juga relatif banyak berdiri dan akif di desa ini. Kerajinan kuliner seperti tempe kripi, tahu, kripik telo, warneng (jagung goreng), dan minuman cincau ada di desa ini. Ketrampilan seperti konveksi, jasa jahit, mebel, salon, juga aktif di desa ini. dan pasar. Sehingga pasar tradisional dan pasar swalayan seperti minimarket juga berfungsi di desa ini. Termasuk jenis jasa pengantar tenaga ke luar negeri (calo) juga tumbuh di desa ini. Adapun tren pekerjaaan di kawasan ini adalah bidang pekerjaan pertanian, mnjadi perantauan, guru, dan pedagang. Namun demikian, masih banyak jenis pekerjaan kompleks lain yang tidak disebutkan semuanya dalam laporan singkat pada gambaran lokasi penelitian ini.
         Secara admisnitratif, desa pekalongan terdiri dari 2 RW dan 14 RT, tidak ada dukuh atau dusun di desa ini. Jumlah penduduknya kurang lebih mencapai lima ribu jiwa. Janda perantauan yang ada di desa ini umurnya reltif masih muda, dengan jumlah per RT nya, tidak kurang lima orang. Pada saat menjadi janda perantauan, ada yang sudah punya anak dua. Anak-anak dari janda perantauan ini ada yang masih duduk di bangku TK, dan SD. Ada pula menjadi janda perantauan yang belum punya anak. Pada umumnya janda perantauan mengawali membangun lembaga keluarga, pada usia rata-rata setelah lulus MA/setingkat SMA. Sedangkan laki-laki yang menikahinya ber-umur kurang lebih 30 tahun. Para janda perantauan ini ditinggal suaminya ke negeri rantau, dalam keadaan relatif telah memiliki rumah sendiri. Bangunan rumahnya ada yang terbuat dari tembok, gebyok (bahan rumah dari kayu jati), namun ada juga masih ikut dalam satu atap mertua yang bersangkutan. Stigma dalam hal partisipasi pembangunan desa, para janda perantau di desa ini relatif kurang. Masyarkat setempat mengatakan, setiap dimintai sumbangan untuk pembangunan desa, hanya menyumbang ala kadarnya, padahal telah memiliki hal yang lebih. Berbeda dengan keluarga peantauan di sebelah desa (keluarga perantauan di desa Winong), keluarga perantauan TKI selalu aktif dan mau menyumbangkan penghasilannnya untuk membangun desa, seperti pengaspalan jalan desa dan menjadi donatur sekolah. Selain dikenal berlomba untuk menunjukkan eksistensi keberhasilan di bidang ekonomi, para perantau tetangga desa sebelah ini dikenal berlomba-loba membangun desanya.

Pola keseharian janda perantau
        Entah berapa jumlah janda perantau di desa ini tepatnya. Diperkirakan jumlah ini semakin bertambah, seiring bertambahnya pasca proses perkawinan dilangsungkan. Seakan menjadi pilihan paling wahid, bagi pasangan muda yang ingin sukses dalam hal ekonomi keluarganya. Telah terpola setiap waktu subuh datang, janda perantau segera bangun dari kamar tidurnya. Untuk mengawali aktivitasnya, mereka melakukan aktivitas sholat subuh. Jalan-jalan pagi menjadi pilihan untuk melanjutkan aktivitas paginya. Setelah suasana kampung sudah terang (pandhang), dolan atau bermain di rumah tetangga terdekat menjadi pilihan selanjutnya. Bagi janda perantau yang anaknya telah sekolah, sarapan pagi untuk anaknya di dapat dari membeli di warung terdekat. Biasanya anaknya yang membeli sarapan (tumbas sarapan). Sarapan bersama (sarapan bareng) dilakukan besama anaknya yang akan berangkat sekolah. Sejenak kemudian selepas anaknya berangkat sekolah, janda perantau melanjutkan kegiatan berkunjung dan bermain lagi (dolan maneh) di rumah teman dekatnya yang bernasip sama (bolo-bolo kenthel). Jika bolo kentel ada acara, dia cari janda perantau lainnya atau tetangga lain. Kebanyakan di desa ini, para perempuan berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Sehingga selesai masak, cenerung berdiam diri di rumah (thenguk-thenguk ning omah). Mendekati waktu siang, janda perantauan menanti dengan sabar akan datangnya penjual sembako keliling (bakul blonjo) sembari bercengkrama dengan teman-teman dekatnya. Bersama dengan janda perantau dan ibu rumah tangga lainnya, mereka belanja (blonjo) bersama (bareng-bareng) yang kemudian di lanjutkan masak. Selepas memasak untuk makan di setiap harinya, dilanjutkan dolan maneh.
        Menjelang waktu sholat zhuhur (wayah bedhuk) janda perantauan dengan waktu paginya dihabiskan bermain di rumah tetangga dekatnya, dilanjutkan pulang untuk makan siang. Selepas solat zhuhur janda perantauan melanjutkan bercengkrama lagi sampai waktu mandi sore. Dilanjutkan bermain dirumah tetangga seusai sholat asyar, sampai mendekati waktu magrib. Waktu malam merupakan ruang terpanjang yang dihabiskan janda perantauan untuk berdiam diri di rumah. Aktivitas menonton sinetron di televisi, mendampingi belajar anaknya, tidur, merupakan kegiatan yang paling dominan.
        Bercengkrama dengan janda-janda perantauan lainnya telah menjadi pilihan untuk menghilangkan rasa kesepian. Namun ada pula janda perantauan yang berprofesi menjadi pengajar. Guru dari status sosial janda perantauan ini jarang melakukan aktivitas bermain, seperti halnya janda perantauan lainnya. Dalam kesehariannya dihabiskan untuk aktivitas di sekolah. Ada pula janda perantauan yang berpofesi menjadi pedagang pakaian. Jualan di pasar dilakukan pada saat pasaran. Pasaran adalah hari dimana pasar konvensional sebagai tempat bertemunya para pembeli dan pedagang yang melimpah ruah. Pasaran biasanya sebagai sebutan kondisi pasar yang sangat ramai, dalam terminologi masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa juga mengenal pasaran sebagai neptu atau tahun lahir. Pasaran identik dengan penanggalan Jawa seperti kliwon, legi, pon, paing, wage. Identitas tersebut sering digunakan sebagai hari pasaran di pasar. Kembali pada kegiatan janda perantauan, pada umumnya pola keseharian mereka di dominasi dalam tiga kegiatan pokok, yaitu mengasuh anak, belanja di pasar, dan berkunjung (dolan). Selanjutnya akan diketengahkan tentang strategi janda perantauan dalam memanage /menggunakan penghasilan. Penghasilan yang dimaksud adalah uang dan barang hasil kiriman suaminya yang kerja di luar negeri.

Strategi menggunakan penghasilan
         Jumlah uang kiriman untuk keluarga yang ditinggal kerja luar negeri cenderung variatif. Nominal kiriman tiap bulan pada umumnya lebih dari satu juta rupiah. Adapun kiriman yang jumlah nominalnya sampai puluhan juta rupiah, biasanya dibawa pada saat menjelang hari raya atau akhir tahun. Kiriman dana bulanan biasanya dihabiskan untuk kebutuhan konsumtif. Penghasilan yang dipilih dari sempitnya lapangan pekerjaan dan tidak mampu bersaing di daerah asal, juga digunakan untuk sekolah anaknya. Pola menabung dilakukan jika ada kelebihan uang belanja, makan, biaya sekolah anak dan terkadang untuk berobat, saat janda perantauan dan atau anaknya sedang dirundung sakit. Seperti stigma yang berkembang di masyarakat, perantauan di luar negeri beropsesi membangun rumah yang mewah. Membangun rumah dan mengisi perabot mewah rumahnya, dilakukan saat mendapat jumlah penghasilan besar, termasuk membeli dan membeli sepetak tanah. Ada juga perantau yang beropsesi mengumpulkan penghasilannya untuk menjadi perangkat desa, dengan membeli suara/nyogok.
         Kiriman hasil merantau juga digunakan untuk mejeng. Mejeng merupakan aktivias jalan-jalan dengan mengenakan fashion, kosmetik, dan simbol kesuksesan suaminya yang diperantauan, misalnya sepeda motor baru. Menggunakan aksesoris yang gemerlap, pakain yang selalu baru (anyar), sandal terbatu dan motif/model kerudung, menjadi kewajiban bagi setiap janda perantauan saat mejeng. Selanjutnya membeli pulsa berulang-ulang untuk saling komunikasi dengan suami yang dirantau. Kebanggaan itu sering dirasakan oleh janda perantauan saat ditelpon suaminya. Memberi kabar kepada tetangga dan konco-konco kenthel seakan menjadi kewajiban. Kiriman uang juga digunakan untuk membahagiaan anaknya (nyengengke anake). Membelikan handphone bau, sepeda motor baru, pit baru. Terkadang juga dikirimkan barang seperti HP, make up, dari perantauan dalam bentuk paket barang.

Pola asuh dan pendidikan anak
        Janda perantauan yang telah melahirkan anak, mengajari aturan (krama) dalam bersikap dan berbahasa (boso) untuk anaknya telah menjadi kuwajiban. Anak-anak dari janda perantauan ini cenderung senang dalam menggunakan bahasa kasar (ngoko/njangkar). Kerap kali setiap anaknya berkomunikasi dengan orang lain, dengan boso kromo. Berkomunikasi tanpa menggunakan bos kromo, menurut anak janda perantauan, tidak baik. Ukuran baik dan buruk ini diadopsi anaknya dari ibunya. Namun pola pengasuhan dengan mengenalkan bahasa krama ini sebatas menghabiskan usia kanak-kanak. Selanjutnya praktek yang dianggap baik itu ditinggalkan begitu saja saat anak menginjak dewasa, sekitar usia SMA (sekolah menengah atas). Tipikal anak janda perantaun cenderung manja. Setiap ingin memiliki dan makan sesuatu (kepingin), setiap apa yang dikepingini (diminta), harus dapat diwujudkan (keturutan). Saat anak dewasa inilah, rasa bangga dengan kesuksesan bapaknya yang di negeri rantau.
        Over protektif telah menjadi ciri khas janda perantauan kepada anaknya. Kemanapun anaknya bermain, selalu didampinginya. Menemani dan memberi pesan anaknya untuk tidak bermain di tempat jauh dari posisi ibunya. Namun pada saat anak menginjak kelas enam dan atau kelas enam SD (sekolah dasar), anak telah diberi kebebasan untuk bemain, asalkan tidak jauh-jauh. Bermain bola dan layang-layang (layangan) menjadi pilihan anak janda perantauan. Nasehat sering dilontarkan oleh janda perantauan seperti nyuruh agar anaknya giat belajar dan mengurangi waktu bermainnya.
           Dalam hal belajar, bagi janda perantau yang mampu mendampingi belajar anaknya. Jika tidak mampu anaknya disuruh belajar ditempat rumahnya orang yang mampu, misalnya anaknya yang masih duduk di bangku SD, dibimbing belajarnya oleh anak yang sedang menempuh pendidikan SMA. Mengerjakan soal-soal dari sekolah merupakan orientasi anak untuk belajar di rumah orang tersebut. Kadangkala juga belajar bersama dengan ank sejawat dan sepermainan. Mereka yang mengajari tidak di bayar, yang penting anak janda perantauan ini datang sendiri, bukan mendatangkan.
        Peran pengasuhan oleh nenek dan kakek dari pihak janda perantaan dan suami perantau juga dominan. Membantu mengerjakan sekolah, memandikan, merias (dandan), sampai mengatar berangkat sekolah. Sebagian besar nenek dan kakek mereka tampil, agar pada saat pagi anaknya tidak menggangu janda perantauan yang sedang meniapkan diri untuk aktif dalam kegiatan seperti mengagar. Saat waktu menjelang masuk sekolah, sang kakek biasanya menjemput anaknya. Sesampai janda perantauan lekas mengajar, mengambil anaknya yang ada di rumah kakeknya sembari makan bersama. Anak kemudian diajak pulang pada saat menjelang sore. Rumah sendiri sekaan menjadi ruang transit malam, dan aktivitas lebih banyak dilakukan di rumah kakek. Janda perantauan merasa tidak nyaman berdiam diri di rumah hasil jerih payahnya suami yang ada di rantau. Saat malam tiba, janda perantauan biasanya menungguhi rumahnya, dengan didampingi adik atau kaka ipar dan keponakan lainnya secara bergilir.
         Ada pula janda perantauan yang melakukan aktifitas di rumah tentangga terdekat atau konco-koco kenthel dan di rumahnya sendiri. Anaknya di didik perdasarkan bakatnya. Terkadang janda perantauan yang satu ini merasa keberatan dengan setiap semesternya membayar spp anaknya yang ada di bangku perguruan tinggi swasta. Dengan bersamaan, janda perantauan juga menyekolahkan anak berikutnya. Ketika libur semesteran menjelang, anak janda perantauan ini menyempatkan mencari kerjaan (merantau) juga untuk membantu keluarga. Pilihan tujuan lokasi merantau perdana bagi anaknya biasanya adalah Jakarta.

Ukuran-ukuran kemewahan keluarga janda perantau
          Janda perantauan merasa bangga ketika dalam kesehariannya menu makannya serba enak (inuk-inuk). Mampu membeli aksesoris kecantikan, kendaraan baru, membangun rumah baru, dan membeli petakan tanah dari hasil merantau suaminya. Ukuran kemewahan menurut anak janda perantauan, jika anaknya bisa jeng-jeng, keturutan untuk membeli barang, bermain kesana kemari (kliteran) dengan mengendarai sepeda motor baru. Anak janda perantauan bangga dapat bermain di tempat yang agak jauh, termasuk mall dalam kota sebagai tujuan bermainnya. Kebanggaan anak dirasakan jika memiliki hp baru. Apalagi pada saat bapaknya kembali dari rantau, dengan membeli segala hal (jajan), dan jalan-jalan untuk belanja di luar .
Aksesoris yang dipakai selalu baru dan mengikuti modif, perhiasan seperti kalung yang besar (gedi), cincin yang besar, sandal berhak tinggi, dengan pakaiannya yang terbuat dari barang yang mahal dengan harga dan jahitan ratusan ribu.
        Terpenuhinya kebutuhan anak, membayar tagihan iuran uang sekolah, dan membelikan baju yang pantas, kendaraan baru, hp baru, dan perabot baru merupakan ukuran kemewahan bagi janda perantauan. Pada umumnya, yang menjadi tanda kemewahan adalah mampu membeli kendaraan baru. Misi pertama pasca mendapatkan kiriman gaji dari suami yang dirantai adalah membeli kendaraan baru. Selanjutnya adalah beberapa perabot kemewahan lain seperti mesin cuci, kulkas, kompor gas, dan ac. Bagi keluaga janda perantauan yang telah merencanakan membeli perabot di atas, sebelumnya rumah telah didesain untuk tempat mesin cuci, kulkas, dan kompor gas. Janda perantauan berkeinginan tidak mengalami susah payah (kangelan).   
          Dengan suami yang ada dirantau, segala sesuatu tercukupi, semua pekerjaan yang berat menjadi ringan.
Setiap suami pulang dari negeri rantau, jam tangan dengan warna kuning keemasan tidak pernah lepas dari tubuhnya. Berpakaian rapi, bercelana panjang dengan baju dimasukkan, sembari cerita kesana kemari telah menjadi daah daging saat melangsungkan silaturrohim di beberapa keluarga dekatnya. Bahan yang menjadi sumber cerita diantaranya; tempat perantauannya tidak sulit untuk mencari kerja. Sosok suami perantau juga acap kali menceritakan tentang profesi menjadi tukang pengumpul getah karet, banyak nyamuk dan tidur di tengah-tengah hutan, dan masih ditambah dengan seingkali petugas kepolisian setempat mengejar bagi para perantau yang ilegal, yang membuat tidurnya tidak tenang.
       Kemajuan negeri tempat suami merantau tidak lepas untuk menjadi bahan pembicaraan saat berkunjung di keluarga dekat. Berhaap kelak anaknya nanti dapat di ajak di negeri tersebut, karena di jawa kerja relatif sulit, menjadi pns dipandang sulit. Bagi mereka yang merantau di luar jawa, memandang bahwa orang Jawa di luar Jawa, lebih diprioritaskan. Suami perantau merasa senang, jika keluarga yang ditinggalkan tercukupi segala kebutuhannya.
       Para orang tua yang anaknya merantau, memandang bahwa di tanah rantau upah gaji lebih besar, dibandingkan dengan gaji di jawa (jowo), walaupun hanya menjadi tukang bagunan. Mereka merasakan di Jowo tidak mampu membeli apa-apa, jika tidak merantau. Walaupun anaknya telah memiliki keluarga, setiap mengirim uang, orang tua selalu mendapat jatah (dicripati), dan dapat menikmati kemewahan anaknya. Ekonomi orang tuan di back up, jika masih memiliki adik yang masih sekolah juga di back up. Biasanya setiap anak yang dirantau datang, akan melunasi tagihan biaya sekolah. Bagi kluarga mereka yang sedang melangsungkan perayaan pernikahan, keluarga dari rantau selalu memberi sumbangan dengan porsi yang lebih banyak.
       Pertama kali anak akan berangkat merantau, orang tua beserta keluarga merasa bangga. Mencarikan pesangon (disangoni), slametan, dan atau bancaan. Selain suami perantau, ada pula perjaka perantauan. Tidak banyak perjaka perantau di . Namun uniknya pilihan merantau digunakan untuk menggaet cewek, pada saat perjaka perantau pulang di . Dengan kemewahan yang dibawa pulang dari nehgeri perantauan, kebanyakan cewek takluk jika cowok (perjaka perantauan) mengenakan kendaraan yang bagus, rumah hasil rehapan, dan handphone baru. Cowok perantauan segera melangsungkan prosesi pernikahannya seusai menunang gadis. Namun keadaan dapat berubah drastis ketika perjaka perantauan dimanfaatkan (diporoti) oleh keluarga gadis. Pola dimana cowok dikatakan diporoti misalnya bapak dari gadis perempuan yang ditunangn itu minta di belikan hp, minta sejumlah uang (sangu), dan beberapa jenis permintaan lain. Bagi gadis yang dipandang memenuhi target dari perjaka petantauan, ada yang langsung di nikahi, ada juga yang ditunang, yang kemudian ditinggal merantau lagi. Bagi cewek yang ditunang perjaka petantauan, selalu dibelikan sepeda motor baru, hp baru, dan pada saat datang di , segera melangsungkan upacara pernikahan.

Pola interaksi sosial para janda perantau
        Telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, janda perantauan sebagian besar waktunya dihabiskan untuk bercengkrama dengan konco-konco kenthel. Namun di balik itu, janda perantauan juga aktif dalam kegiatan di RT (rukun tangga), kegiatan sosial keagamaan (muslimatan) khususnya mereka yang masih berusia belia. Setiap tetangga yang melangsungkan upacara rites hidup (gawe), janda perantauan selalu membantu (rewang), setiap ada tetangga yang sakit juga selalu menjenguk (niliki). Ada pula janda perantauan yang aktif di forum posyandu, khususnya mereka yang sedang hamil dan memiliki anak kecil. Sepeti yang dipaparkan di atas, menanti penjual semboka gendong (bakul ider), mengunjungi pasar konvensional dan pasar swalayan, untuk mencukupi kebutuhan materi dan sosialnya.
       Ada juga janda perantauan nakal, seperti yang distigmakan masyarakat . Tipikal janda perantauan ini tidak banyak, hanya ada satu janda perantauan nakal, dan saat inipun janda perantauan yang nakal ini menurut masyarakat sudah insyaf. Suami yang merantau di negeri jauh, telah meberikan ruang lebar bagi janda perantauan yang di tinggal untuk memasukkan dan menampung tamu. Janda perantauan nakal ini acapkali berhubungan intim dengan lelaki dekat yang menemani tidur setiap malam harinya. Adik ipar acapkali menemani tidur malam janda perantauan itu. Bagi janda perantauan yang berprofesi menjadi guru sekolah, keinginan menjadi PNS (pegawai negeri sipil), dengan menyogok, walaupun akhirnya tidak lolos.
        Kiriman uang dari suami di rantau, acapkali digunakan untuk memenuhi kebutuhan laki-laki yang diajak bermain hubungan intim agar mendapatkan kepuasan. Meminjam dana bank juga dilakukan janda perantauan, pada saat uang kiriman jatah bulanan saat habis. Masyarakat terperangah, saat mendengar pegawai bank datang ke rumah janda perantauan itu, dengan menagih hutang sejumlah tujuh puluan juta rupiah. Mendengar istrinya sedang diterpa beban berat, bergegas menyambanginya ke . Penghasilan dari negeri rantau tidak tersisa. Perabot rumah tangga dan simbol kemewahan lainnya. Bahkan tanah dari orang tua dari pihak suaminya, dijual untuk menutup kekurangan hutang bank. Selepas menyelesaikan bebaKemudian saat suaminya datang dan istrinya di ajak ke Malaysia, dan anaknya diserhakan kakeknya. Jual sawah dari warisan pihak suami, untuk menutup hutang. Janda perantauan harus rela membangun kembali dari awal, dengan menitipkan anak yang masih belia kepada neneknya. Dengan suaminya, bergegaslah janda perantuan itu melepaskan status sosialnya, ikut ke negeri rantau, bekerja dan bekerja.

Analisis masa gawat janda perantauan
         Dalam memberi komentar sederhana tentang realitas sosial dari seluk beluk janda perantauan seperti yang telah dilaporkan singkat di atas, penulis berangkat dengan kehati-hatian. Sudut pandang penulis yang bukan berlatar belakang manjadi pekerja luar negeri dan semoga juga tidak mengalami keruwetan dalam rumah tangga di kemudian hari yang harus memaksa cerai, penulis merasa gamang. Apalagi bekerja untuk menghidupi keluarga merupakan pekerjaan yang mulia. Dengan pendapatan yang diperoleh dari bekerja, kelangsungan hidup keluarga akan pasti, mulai dari kebutuhan gizi dan kebutuhan sosial, terpenuhi. Namun pekerjaan itu akan menjadi sumber bencana, jika hasilnya tidak fungsikan dengan baik, misalnya digunakan untuk hura-hura dan pemborosan lainnya, yang tidak menjadi kebutuhan keluarga. Sehingga dalam analisa ini, penulis tidak memperdepatkan tentang apa pekerjaan yang menjadi soko guru ketahanan ekonomi keluarga para janda perantauan, namun yang menjadi fokus penulis adalah memotret dan menyuguhkan pola keseharian keluarga dalam mempergunakan sumber daya ekonomi keluarga, dengan sedikit perbanding. Akan menjadi penting, jika kita mengetahui proses dan dinamika dalam membangun keluarga, entah itu akhirnya menuju keluarga yang sukses atau gagal. Menyuguhkan dengan mendalam, kita akan mendapatkan pelajaran yang bernilai dan memberikan inspiasi untuk selalu menuju ke arah tatanan yang lebih baik.
        Bagaimana menurut pembaca sekalian, setelah mengetahui pola hidup keseharian keluarga janda perantauan yang di suguhkan di depan. Mengulas ulang akan pola keseharian para janda perantauan, dari bangun tidur sampai tidur lagi. Diawali dengan bangun tidur, mendirikan sholat subuh, jalan-jalan pagi, dolan atau bermain di rumah tetangga terdekat, menyuruh anaknya beli sarapan, sarapan pagi dengan anaknya, berkunjung lagi di rumah janda perantauan lainnya, menani penjual sembako keliling, memasak untuk makan siang sampai malam, mendirikan sholat zhuhur, berkunjung lagi di rumah tetangga dekatnya, makan siang, melanjutkan bercengkrama lagi sampai waktu sore hari, mendirikan sholat asyar, bermain dirumah tetangga seusai solat asyar sampai mendekati waktu magrib, dan malamnya diakhiri/dihabiskan berdiam diri di rumah dengan menonton tv, mendampingi belajar anaknya dan tidur.
        Kegiatan apa yang mendominasi dari pola keseharian janda perantauan dia atas. Jawabnya adalah bermain untuk bercengkrama sesama senasib, dan tidak sepenanggungan. Walaupun tidak semua janda perantauan pola hidup kesehariannya demikian, seperti halnya janda perantauan yang berprofesi menjadi guru. Namun mereka, baik yang menjadi ibu rumah tangga saja, menjadi guru, dan menjadi pedagang, kegiatan yang dominan adalah bermain untuk menghabiskan waktu. Mengapa demikian, barangkali segala kebutuhan untuk kesehariannya sudah dicukupi kiriman uang tiap bulan suaminya yang ada di rantau. Apalagi di tambah dengan keinginan suami, agar sepeninggalan di rantau, istrinya tidak banyak beban. Kemudian pertanyaannya adalah jika pendapatan keluarga janda perantauan, walaupun tergolong lebih, hanya bersumber dari sepihak, dan tiap harinya uang kiriman perbulan untuk kebutuhan sehari-hari dengan sumber pendapatan itu, maka dapat diprediksi, keluarga janda perantauan hanya dapat menabung setahun sekali, pada saat menjelang lebaran atau suaminya pulang. Itupun uang dari tabungan suaminya, bukan dari istrinya. Dapat dilihat biaya transaksi pola hidup keseharian bagi janda perantauan dan anak-anaknya tidak sedikit. Hal ini dapat dilihat dari ulasan strategi menggunakan penghasilan berikut ini.
        Di depan telah dipaparkan, bahwa pola menabung bagi janda perantauan dilakukan jika ada kelebihan uang belanja, makan, biaya sekolah anak dan terkadang untuk berobat, saat janda perantauan dan atau anaknya sedang dirundung sakit. Beropsesi membangun rumah yang mewah, mengisinya dengan perabot mewah, membeli sepetak tanah, ada pula penghasilannya untuk kepentingan money politik, sekedar ingin menjadi perangkat desa dengan membeli suara/nyogok. Lebih terlihat lagi dengan aktifitas mejeng dalam kesehariannya. Menggunakan aksesoris yang gemerlap, pakain yang serba baru, sandal terbatu dan motif/model kerudung, menjadi fardhu ‘ain (sesuatu yang harus dilakukan, jika tidak, semua pekerjaan dianggap batal dan berdosa). Trend komunikasi yang berlebihan dengan membeli pulsa berulang-ulang tidak dapat dielakkan lagi. Melihat ragam kebutuhan yang berjubel di atas, kira-kira jumlah uang kiriman berapa yang harus di kirim suaminya dari rantau. Kira-kira juga, apakah apakah setiap bulannya dapat menabung untuk pasca pekerjaan suaminya menjadi TKI. Barangkali pertanyaan ini cenderung sentimentil, tapi pertanyaan ini menurut penulis juga urgent, karena penulis khawatir, penghasilan dari rantau dihabiskan oleh janda perantauan. Lihat saja kasus janda perantauan yang nakal, seperti yang diulas di atas. Ada janda perantauan yang ingin jadi PNS harus nyogok, ada janda perantauan yang ingin terpuaskan seks sepeninggalan suami di rantau harus menjadi tante-tante girang. Barangkali tidak berlebihan, jika penulis memberi komentar, terjadi masalah besar dalam mengelola sumber ekonomi, bagi janda perantauan.
       Apakah problem besar itu hanya pada bagaimana janda perantauan dalam strategi menggunakan penghasilan suaminya. Bagaimana dengan pola asuh dan pendidikan anak yang dipandang sebagai investasi peradaban. Berdasarkan deskripsi di atas tentang pola asuh dan pendidikan anak janda perantauan, ada keinginan anaknya menjadi calon perantau pula. Lihat saja ketika libur semesteran menjelang, anak janda perantauan menyempatkan mencari kerjaan (merantau) Jakarta untuk membantu keluarga. Tercukupi kebutuhan anak seperti memiliki sepeda motor baru, hp selalu baru, pakaian dan aksesorisya yang baru, beserta kosmetik yang mahal dengan memiliki teman sejawat yang senang bermain di super market untuk mengikuti mode produk yang kemudian akan di beli dan dimilikinya, telah mendarah daging. Anak janda perempuan yang prihatin juga ada. Pada saat sekolah hanya biasa-biasa saja dalam tingkah laku, namun itu hanya sisi lain saja, yang dominan adalah seperti yang di ulas di atas. Kembali pada peran janda perantauan dalam mengasuh anaknya, jika tempat tinggal janda perantauan dekat dengan rumah kakek atau neneknya, janda perantauan tidak banyak waktu untuk mendampinginya. Bermain dan mencukupi secara finansial besarta kebutuhan materi lainnya, dipandang telah gugur kuajibannya. Semuanya terkesan di serahkan pada keluarga dekatnya untuk pengasuhan anaknya. Bagaimana dengan ukuran-ukuran kemewahan keluarga janda perantau, yang menjadi simbol keberhasilan suaminya di rantau. Apakah -ukuran kemewahan keluarga itu akan membawa keluaga ke arah yang lebih baik, atau salah arah, menurut ukuran-ukuran sosial sekitarnya.
        Berdasarkan deskripsi penelitian di atas, janda perantauan merasa bangga ketika dalam kesehariannya menu makannya serba enak, mampu membeli aksesoris kecantikan, kendaraan baru, membangun rumah baru, dan membeli petakan tanah dari hasil merantau suaminya. bagi anak janda perantauan pun demikian, jika anaknya bisa jeng-jeng, mampu untuk membeli barang, bermain kesana kemari dengan mengendarai sepeda motor baru, dapat bermain di tempat yang agak jauh, termasuk mall dalam kota sebagai tujuan bermainnya, memiliki hp baru, dan mampu membeli segala hal, aksesoris yang dipakai selalu baru dan mengikuti modif, perhiasan seperti kalung yang besar, cicncin emas yang berukuran besar, sandal berhak tinggi, dengan pakaiannya yang terbuat dari barang yang mahal dengan harga dan jahitan ratusan ribu, dan jalan-jalan untuk belanja di luar kota, menjadi ukuran kemewahan anak-ank janda perantauan. Boleh dikatakan bahwa ukuran untuk dipandang mewah memerlukan biaya transaksi yang besar. Jika demikian, bagaimana keidupan pasca suaminya bekerja di negeri perantaua. Apakah usia tua nanti segera digantikan sosok anaknya yang telah diinternalisasikan untuk bermimpi menjadi perantau pula. Jika demikian, apakah penghasilan generasi nantinya masih disibukkan untuk mencukupi hajat kemewahan yang selalu menghiasi pola keseharian hidupnya.
        Keberlangsungan pola hidup keluarga janda perantauan dapat dilihat pada pula pada pola interaksi sosial yang di bangun. Interaksi dalam kaca mata ekonomi sosial merupakan proses untuk tercukupinya kebutuhan sosial. Bertemu, bercengkrama, dan bertidak sosial antar sesama status dan lintas status, merupakan bentuk mikro interaksi yang dapat kita lihat pada pola interaksi keluarga janda perempuan. Potret interaksi sosial janda perantauan menurut deskkirpsi di atas, tidak lebih merupakan visi hidup. Terlepas dari interaksi sosial yang bersifat buruk, misalnya dengan bercengkarama menjadi kelangsungan kesehariannya, menyogok untuk menjadi pegawai negeri, dan bermain seks di luar hubungan suami, merupakan salah satu interaksi yang dilakukannya. Akankan pola interaksi di atas mampu menjawab akan mewujudkan visi hidup kedepannya.

Janda perantauan dan meretas masa gawat
        Sampailah pada memperbincangkan tindakan janda perantauan dalam meretas masa gawat, dan meneropng perjalanan panjang dikemudian untuk menuai kebahagiaan di ruang keluarga, atau sebaliknya, menuai kegagalan, perceraian yang menjadi akhir dari cerita keluaga janda perantauan di kemudian hari. Seperti yang telah dipaparkan di atas, orang jawa dalam mempersiapkan jenjang peranan yang semakin komples, dilakukan dengan proses rites hidup yang rumit. Perkawinan bagi orang jawa, selain sebagai ajang pamer status, juga sebagai tanda genderang perjaka dan perawan jawa yang beranjak ke tugas dan peranan yang semakin berat. Proses ini biasanya dipersipakan dengan tahapan-tahapan yang dianggap mampu memberi pilihan jawaban, agar kelak ikatan perkawinan berlangsung sampai langgeng, atau mampu melampaui masa gawatnya. Di bawah ini merupakan point-point hasil analisis kepustakaan dan studi penelitian tentang keluarga perantauan. Pointers di bawah ini selanjutnya digunakan dalam melakukan pendekatan analisis seluk-beluk janda perantauan dalam meretas masa gawat.
        Bagi pasangan keluarga dianggap mampu meretas masa gawatnya, berdasarkan hasil analisa kepustakaan dan studi tentang perkawinan dan perceraian, adalah sebagai berikut; terbentuknya somah baru, memisahkan diri secara ekonomi dan tempat tinggal, lepas dari kelompok orangtua, membentuk sebuah basis untuk sebuah rumah tangga baru, pandai bersiasat dalam membangun ekonomi keluarganya, memiliki mobilitas status sosial yang tinggi, dan memiliki akses ekonomi dari struktur politik yang dominan. Sebaliknya, keluarga yang dianggap gagal dalam meretas masa gawatnya adalah sebagai berikut; tertunda dalam membangun ekonomi mandiri, mudah sekali terjadi kegagalan dalam meneruskan ikatan perkawinan, atau cerai, orang tua selalu mendampingi pasangan baru, istri loss control dalam hal ihwal sosial dan ekonomi keluarga, keluarga dekat mencampuri urusan keluarga keluarga, suami tidak memiliki ketegasan dalam hal mengatur ekonomi keluarganya, dalam hal sek, saling curiga dan ingin menangkap basah jika melakukan hubungan serong, dengan bermain gelap-gelapan dengan pasangan lain, laki-laki tidak bertanggung jawab secara ekonomi, goncangnya ketahanan keluarga dari sisi ekonominya, keluarga dari pihak suami dan istrinya tergantung dari sumber ekonomi anak dan menantunya, pengaruh dukungan sosial dari pihak luar lebih dominan, atau menikah diam-diam di bawah tangan, pernikahan tanpa mempedulikan lagi keluarga, kesulitan untuk membesarkan anak-anaknya, memangku stigma negatif pada setiap perempuan, dimana suka mengganggu suami orang, dan kondisi ekonomi keluarga yang lemah pasca merantau.
        
Kesimpulan
          Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang diketengah pada bagian sebelum, geliat janda perantauan dalam meretas masa gawatnya, dapat ditarik beberapa garis besar sebagai berikut: (1) Laki-laki Jawa yang telah membangun ikatan keluarga, memiliki etos kerja dan tanggung jawab yang tinggi dalam menghidupi ekonomi dan keberlangsungan keluarganya, hal ini ditunjukkan dengan menjadi TKI di luar negeri; (2) Bagi keluarga yang pihak suaminya bekerja merantau, pihak istri (atau yang disebut sebagai janda perantauan) merupakan orang kunci dalam mengelola penghasilan yang diperoleh dari suami di rantau; (3) Janda perantauan dalam meretas masa gawatnya (melanggengkan ikatan perkawinan, mengelola pengahasilan, mengasuh dan mendidik anak) dipengaruhi oleh visi suami di rantau dan keluarga terdekatnya; (4) Janda perantauan dalam meretas masa gawatnya cenderung tidak serius, waktu kesehariannya dihabiskan dengan bercengkrama, bermain di tetangga dekat, dan cenderung selama menjadi janda perantauan, hidupnya tidak ingin prihatin, alias boros; dan (5) Keluarga dekat (orang tua pihak suami dan atau istri) berperan penting dalam mengasuh anak keluarga perantauan, dan sebagai kontrol agar janda perantauan tidak kebablasan dalam menggunakan kekayaan dan kepercayaan yang diberikan suaminya di rantau, sekaligus juga sebagai penikmat dari kesuksesan dalam hal ekonomi anak-anaknya.

Penutup
         Studi tentang janda perantauan tidak mudah ditemukan. Pandangan para ahli sebagian besar mash dalam konteks makro, sehingga dialog yang disuguhkan masih dalam kerangka general. Beberapa penelitian tendahulu sebagian besar bertemakan tentang tenaga kerja wanita, khususnya mereka yang menjadi TKI atau TKW. Tema-tema penelitian tersebut dipandang sejalan dengan gerakan wacana feminisme dan demokrasi dari barat. Ukuran-ukuran yang telah membumi pada saat ini, adalah mereka yang mampu tampil di beberapa ruang yang dianggap modern, termasuk para janda perantauan. Beragam macam industri konsumsi tubuh, dihadirkan, dan kadang seakan lepas dari pandangan hidup yang telah mengakar dan menjadi penyelamat dari kepunahan dan keserakahan zaman. Sebagai penutup, laporan singkat tentang etnografi janda perantauan ini telah memberi cermin pada diri kita semua bahwa dalam hidup, setiap orang harus mampu bertahan dan sekaligus memberi warna perubahan ke arah yang lebih baik, bukan sebaliknya.

Sumber tulisan
  1. Clifford geertz. Mojokuto: Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa. Penerjemah: Pustaka Grafitipers. Jakarta Grafiti pers.
  2. Danu Indarto. 2007. Mantan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Ekonomi Keluarga (Penelitian di Dua Desa di Kecamatan Gumelar Kabupaten Banyumas). Tesis. Program Studi Antar Bidang. Jurusan Ketahanan Nasional. Sekolah Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
  3. Hildert Geertz. Kelaurga Jawa. PT Grafiti Pers. 1985. Jakarta
  4. Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta. Balai Pustaka.
  5. Keller, Suzanna. 1984. Penguasa dan Kelompok Elit: Peranan Elit Penentu Dalam Masyarakat Modern. Kata Pengantar Prof. Dr. Selo Soemardjan. Diterjemhkan Zahara D. Noer. Jakarta. Yayasan Ilimu-Ilmu Social. CV. Rajawali.
  6. Idris, Hariany. et al. 2006. Perempuan Janda dan Andaratoa. Dalam women Study Center Makasar
  7. Majalah Tempo, terbitan 15 Juni 2007
  8. TIm. 2007. Pengaruh TKI Terhadap Jumlah Perceraian di Paciran. MTs Mazra'atul Ulum Paciran. Diunduh Republika; Jumat, 19 Nopember 2004.
  9. Pambudy, Ninuk Mardiana. 2006. Memahami Konsep Diri. Dalam kompas, Senin, 07 Agustus 2006
  10. Pinarto, Maksum. 2004. Benang Kusut Penempatan TKI. Dalam Suara Merdeka, 30 Juli 2004
  11. Santoso, Widjanjanti Mulyono. 2007. Janda Dalam Perspektif Perempuan. Dalam Indopos. Rabu, 11 Juli 2007.

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama