PENDAHULUAN
Pantai Sarang tempo dulu adalah area perladangan dengan jarak antara perumahan dengan laut yaitu kira-kira 50 meter. Namun sekarang bibir pantai itu tidak lagi berpasir, bibir pantai itu telah penuh dengan jebakan, dan indahnya ombak berubah menjadi petanda datangnya marabahaya, yaitu abrasi yang siap memporak-porandakan kantong pemukiman pantai ini. Tidak satupun pohon mangrove yang tersisa, semua dibabat habis diganti dengan pemukiman penduduk dengan pola pemukiman menjorok ke bibir pantai ini. Mereka para nelayan Sarang sungguh sedang diceraikan ikan, dan ada pula yang beralih profesi sebagai penambang pasir laut dengan besar-besaran tanpa sentuhan aturan.
Penelitian ini mengabarkan temuan tentang bagaimana cara pandang dan perilaku masyarakat pesisir dalam berinteraksi dengan fenomena abrasi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui diversitas/ keanekaragaman pengetahuan dan perilaku masyarakat pesisir dalam berinteraksi dengan fenomena abrasi. Khususnya sebagai bahan untuk tinjauan kepustakaan tentang tematik ekologi kelautan di kawasan kabuten Rembang Jawa Tengah dan sebagai bahan diskusi para praktisi untuk merumuskan program kebijakan di kawasan pemukiman nelayan, merupakan manfaat yang dapat dipetik dari penelitian ini.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian adalah Kecamatan Sarang meliputi desa Kalipang, desa Sarangmeduro, desa Bajingmeduro, desa Karangmangu, desa Sendangmulyo, dan desa Temperak. Data penelitian yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data adalah dengan wawancara, pengamatan, dokumentasi. Selanjutnya teknik analisis yang pilih adalah dengan model analisis interaktif deskriptif.
HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan sebagai berikut. Nelayan di sepanjang pantai Sarang berpandangan bahwa abrasi adalah suatu hal yang biasa, lazim terjadi, dan mereka telah terbiasa akan abrasi. Menurut mereka, abrasi disebabkan oleh adanya gelombang musiman, ombak besar, angin kencang, dan tidak adanya pengendali. Bagi mereka, abrasi merupakan sesuatu yang menakutkan dan kerapkali membuat mereka gelisah. Walaupun demikian mereka tetap tinggal di bibir pantai. aspek ekonomi merupakan instrument utama akan kenapa mereka tinggal di bibir pantai. sisi lain kegesisahan, mereka telah menemukan kemudahan dalam hal kerja sebagai nelayan. Mereka berpedoman “dimana dia bekerja, di situ dia akan tinggal”, walaupun mereka berkemampuan (materi) untuk pindah rumah.
Cara pandang tersebut di atas merupakan hasil adaptasi antara masyarakat dengan lingkungannya atau yang sering di sebut dengan cara pandang ekologi. Cara pandang ekologi adalah segala pengetahuan yang dimiliki suatu masyarakat bersumber dari lingkungan sekitar. Hal ini dapat dilihat akan bagaimana masyarakat mengenal tanda abrasi, kapan dan berapa besar abrasi terjadi, dan bagaimana pula mengendalikan abrasi dengan cara alami. Namun dalam beradaptasi, masyarakat nelayan telah berhadapan dengan cara pandang fungsi yang tentan konflik. Hal ini dapat dilihat bagaimana nelayan mendirikan rumah di saat tidak memiliki lahan, bagaimana nelayan memenuhi kebutuhan sehari-hari saat ikan tangkapannya mulai sulit, dan bagaimana para nelayan bertindak dalam pemenuhan kebutuhan ekonominya yang tanpa disadari telah mengundang abrasi itu sendiri, contohnya adalah penambangan pasir laut dan pembabatan tetumbuhan di bibir pantai.
Membuat tanggul dari karung yang di isi pasir dengan diletakkan di dekat rumah para nelayan, menumpuk karung berisi pasir di tepi-tepi pantai sebagai penahan ombak, pembuatan tanggul dari karung pasir dengan tancapan bambu-bambu sebagai penahannya, membuat tanggul dari batu-batu yang ditahan dengan tancapan bambu, membuat tanggul terbuat dari tumpukan batu besar yang dibentuk menyerupai tebing, dan membiarkan tumbuh-tumbuhan liar hidup di sekitar tepi pantai, merupakan beberapa temuan akan perilaku pengendalian abrasi.
Nelayan Sarang dalam berinteraksi dengan fenomena abrasi telah menghasilkan keragaman perilaku pengendalian abrasi. Keragaman perilaku pengendalian abrasi tersebut dapat dilihat di atas. Perilaku masyarakat nelayan Sarang dalam berinteraksi dengan abrasi perlu dihormati. Perilaku tersebut di atas merupakan hasil dari pengetahuan yang dimiliki bersama, dan sekaligus sebagai cermin dari berapa kemampuan ekonomi yang dimilikinya. Hal ini dapat dapat dilihat tentang seberapa besar mereka memiliki finansial/ uang untuk membuat tanggul dari batu-batu besar yang ditanam, karena datangnya batu di kawasan pesisir telah melalui transaksi kegiatan ekonomi di luar sana.
PENUTUP
Berdasarkan hasil temuan di atas, terdapat beberapa masalah yang cukup penting untuk diperhatikan, yaitu permasalahan tentang ekonomi dan tata ruang. Memberi saran akan fenomena abrasi di Sarang adalah komplek. Kiranya mengedepankan pemetaan tata ruang kependudukan di kawasan kantong pemukiman pesisir dan penting kiranya memperhatikan langkah strategis untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang ramah lingkungan, sebagai saran kami, bukan sebuah umpan ekonomi yang siap merusak lingkungan yang dikenal indah ini.
Pantai Sarang tempo dulu adalah area perladangan dengan jarak antara perumahan dengan laut yaitu kira-kira 50 meter. Namun sekarang bibir pantai itu tidak lagi berpasir, bibir pantai itu telah penuh dengan jebakan, dan indahnya ombak berubah menjadi petanda datangnya marabahaya, yaitu abrasi yang siap memporak-porandakan kantong pemukiman pantai ini. Tidak satupun pohon mangrove yang tersisa, semua dibabat habis diganti dengan pemukiman penduduk dengan pola pemukiman menjorok ke bibir pantai ini. Mereka para nelayan Sarang sungguh sedang diceraikan ikan, dan ada pula yang beralih profesi sebagai penambang pasir laut dengan besar-besaran tanpa sentuhan aturan.
Penelitian ini mengabarkan temuan tentang bagaimana cara pandang dan perilaku masyarakat pesisir dalam berinteraksi dengan fenomena abrasi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui diversitas/ keanekaragaman pengetahuan dan perilaku masyarakat pesisir dalam berinteraksi dengan fenomena abrasi. Khususnya sebagai bahan untuk tinjauan kepustakaan tentang tematik ekologi kelautan di kawasan kabuten Rembang Jawa Tengah dan sebagai bahan diskusi para praktisi untuk merumuskan program kebijakan di kawasan pemukiman nelayan, merupakan manfaat yang dapat dipetik dari penelitian ini.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian adalah Kecamatan Sarang meliputi desa Kalipang, desa Sarangmeduro, desa Bajingmeduro, desa Karangmangu, desa Sendangmulyo, dan desa Temperak. Data penelitian yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data adalah dengan wawancara, pengamatan, dokumentasi. Selanjutnya teknik analisis yang pilih adalah dengan model analisis interaktif deskriptif.
HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan sebagai berikut. Nelayan di sepanjang pantai Sarang berpandangan bahwa abrasi adalah suatu hal yang biasa, lazim terjadi, dan mereka telah terbiasa akan abrasi. Menurut mereka, abrasi disebabkan oleh adanya gelombang musiman, ombak besar, angin kencang, dan tidak adanya pengendali. Bagi mereka, abrasi merupakan sesuatu yang menakutkan dan kerapkali membuat mereka gelisah. Walaupun demikian mereka tetap tinggal di bibir pantai. aspek ekonomi merupakan instrument utama akan kenapa mereka tinggal di bibir pantai. sisi lain kegesisahan, mereka telah menemukan kemudahan dalam hal kerja sebagai nelayan. Mereka berpedoman “dimana dia bekerja, di situ dia akan tinggal”, walaupun mereka berkemampuan (materi) untuk pindah rumah.
Cara pandang tersebut di atas merupakan hasil adaptasi antara masyarakat dengan lingkungannya atau yang sering di sebut dengan cara pandang ekologi. Cara pandang ekologi adalah segala pengetahuan yang dimiliki suatu masyarakat bersumber dari lingkungan sekitar. Hal ini dapat dilihat akan bagaimana masyarakat mengenal tanda abrasi, kapan dan berapa besar abrasi terjadi, dan bagaimana pula mengendalikan abrasi dengan cara alami. Namun dalam beradaptasi, masyarakat nelayan telah berhadapan dengan cara pandang fungsi yang tentan konflik. Hal ini dapat dilihat bagaimana nelayan mendirikan rumah di saat tidak memiliki lahan, bagaimana nelayan memenuhi kebutuhan sehari-hari saat ikan tangkapannya mulai sulit, dan bagaimana para nelayan bertindak dalam pemenuhan kebutuhan ekonominya yang tanpa disadari telah mengundang abrasi itu sendiri, contohnya adalah penambangan pasir laut dan pembabatan tetumbuhan di bibir pantai.
Membuat tanggul dari karung yang di isi pasir dengan diletakkan di dekat rumah para nelayan, menumpuk karung berisi pasir di tepi-tepi pantai sebagai penahan ombak, pembuatan tanggul dari karung pasir dengan tancapan bambu-bambu sebagai penahannya, membuat tanggul dari batu-batu yang ditahan dengan tancapan bambu, membuat tanggul terbuat dari tumpukan batu besar yang dibentuk menyerupai tebing, dan membiarkan tumbuh-tumbuhan liar hidup di sekitar tepi pantai, merupakan beberapa temuan akan perilaku pengendalian abrasi.
Nelayan Sarang dalam berinteraksi dengan fenomena abrasi telah menghasilkan keragaman perilaku pengendalian abrasi. Keragaman perilaku pengendalian abrasi tersebut dapat dilihat di atas. Perilaku masyarakat nelayan Sarang dalam berinteraksi dengan abrasi perlu dihormati. Perilaku tersebut di atas merupakan hasil dari pengetahuan yang dimiliki bersama, dan sekaligus sebagai cermin dari berapa kemampuan ekonomi yang dimilikinya. Hal ini dapat dapat dilihat tentang seberapa besar mereka memiliki finansial/ uang untuk membuat tanggul dari batu-batu besar yang ditanam, karena datangnya batu di kawasan pesisir telah melalui transaksi kegiatan ekonomi di luar sana.
PENUTUP
Berdasarkan hasil temuan di atas, terdapat beberapa masalah yang cukup penting untuk diperhatikan, yaitu permasalahan tentang ekonomi dan tata ruang. Memberi saran akan fenomena abrasi di Sarang adalah komplek. Kiranya mengedepankan pemetaan tata ruang kependudukan di kawasan kantong pemukiman pesisir dan penting kiranya memperhatikan langkah strategis untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang ramah lingkungan, sebagai saran kami, bukan sebuah umpan ekonomi yang siap merusak lingkungan yang dikenal indah ini.