Entah sudah berapa
lama. Suasana saat itu, di kelas. Guruku mengajar dengan tampil apa
adanya. Saat itu, Beliau selalu membacakan selembar tulis karyanya. Aku
dan para muridnya mendengarkan dengan khikmad. Lembar tulis tangan itu
benar-benar mengantarkan kami semua memahami sebuah materi yang
diajarkan. Satu dua hingga tiga pertemuan di kelas itu, selalu
dilanjutkan dengan berkunjung di lapangan. Guruku selalu menunjukkan
keterhubungan antara yang Beliau tulis, dengan yang dikunjungi. Dan tak
lama kemudian, Beliau membimbing kami untuk menulis sebuah pengalaman.
Namun sekarang, jarang sekali aku temukan sosok guru yang demikian. Guru
sekarang cenderung mengandalkan teknologi. Guru sekarang cenderung
boros energi. Gedung mewah, perangkat video-audio, dan AC selalu lekat
dengannya. Slide powerpoint dan tayangan film selalu di jejalkan pada
kami semua. Entah dari mana sumbernya. Kami merasa, dari ujung barat
sampai ujung timur, media yang digunakan tak lagi bersumber darinya.
Semua sama, sama-sama tidak memiliki apa yang disuguhkannya. Kami dan
guru kami, seakan belajar materi langit, namun sepi akan peraduan cinta.
Sungguh aku rindu akan guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui
ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu membaca buku.
Buku yang dibaca, selalu di bawa di dalam kelas. Buku-buku yang dibaca
di rumahnya itu, selalu dibaca-ulang di dalam kelas kami. Berawal dari
situlah, kami termotivasi untuk membaca buku.
Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui
ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu menulis. Hasil
tulisan itu, selalu di bawa di dalam kelas. Tulisan tangan yang agak
jelek itu, selalu dipamerkan kami. Sejak itulah, kami termotivasi untuk
menulis.
Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui
ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu mengajakku
berkunjung ke lapangan. Membaca situasi, mengamati, bertanya tentang
berbagai hal yang berhubungan dengan apa yang Beliau tulis dan apa yang
Beliau bacakan di dalam kelas itu. Aku dan kawan-kawanku diajarkan
tentang mencari kebenaran, menguji kebenaran, mengumpulkan kebenaran,
dan mengabarkan kebenaran.
Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/es_lodheng/aku-rindu-guruku-yang-apa-adanya_58f416ec127f61f7079eb207
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/es_lodheng/aku-rindu-guruku-yang-apa-adanya_58f416ec127f61f7079eb207
Entah sudah berapa
lama. Suasana saat itu, di kelas. Guruku mengajar dengan tampil apa
adanya. Saat itu, Beliau selalu membacakan selembar tulis karyanya. Aku
dan para muridnya mendengarkan dengan khikmad. Lembar tulis tangan itu
benar-benar mengantarkan kami semua memahami sebuah materi yang
diajarkan. Satu dua hingga tiga pertemuan di kelas itu, selalu
dilanjutkan dengan berkunjung di lapangan. Guruku selalu menunjukkan
keterhubungan antara yang Beliau tulis, dengan yang dikunjungi. Dan tak
lama kemudian, Beliau membimbing kami untuk menulis sebuah pengalaman.
Namun sekarang, jarang sekali aku temukan sosok guru yang demikian. Guru
sekarang cenderung mengandalkan teknologi. Guru sekarang cenderung
boros energi. Gedung mewah, perangkat video-audio, dan AC selalu lekat
dengannya. Slide powerpoint dan tayangan film selalu di jejalkan pada
kami semua. Entah dari mana sumbernya. Kami merasa, dari ujung barat
sampai ujung timur, media yang digunakan tak lagi bersumber darinya.
Semua sama, sama-sama tidak memiliki apa yang disuguhkannya. Kami dan
guru kami, seakan belajar materi langit, namun sepi akan peraduan cinta.
Sungguh aku rindu akan guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui
ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu membaca buku.
Buku yang dibaca, selalu di bawa di dalam kelas. Buku-buku yang dibaca
di rumahnya itu, selalu dibaca-ulang di dalam kelas kami. Berawal dari
situlah, kami termotivasi untuk membaca buku.
Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui
ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu menulis. Hasil
tulisan itu, selalu di bawa di dalam kelas. Tulisan tangan yang agak
jelek itu, selalu dipamerkan kami. Sejak itulah, kami termotivasi untuk
menulis.
Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui
ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu mengajakku
berkunjung ke lapangan. Membaca situasi, mengamati, bertanya tentang
berbagai hal yang berhubungan dengan apa yang Beliau tulis dan apa yang
Beliau bacakan di dalam kelas itu. Aku dan kawan-kawanku diajarkan
tentang mencari kebenaran, menguji kebenaran, mengumpulkan kebenaran,
dan mengabarkan kebenaran.
Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/es_lodheng/aku-rindu-guruku-yang-apa-adanya_58f416ec127f61f7079eb207
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/es_lodheng/aku-rindu-guruku-yang-apa-adanya_58f416ec127f61f7079eb207
Entah sudah berapa
lama. Suasana saat itu, di kelas. Guruku mengajar dengan tampil apa
adanya. Saat itu, Beliau selalu membacakan selembar tulis karyanya. Aku
dan para muridnya mendengarkan dengan khikmad. Lembar tulis tangan itu
benar-benar mengantarkan kami semua memahami sebuah materi yang
diajarkan. Satu dua hingga tiga pertemuan di kelas itu, selalu
dilanjutkan dengan berkunjung di lapangan. Guruku selalu menunjukkan
keterhubungan antara yang Beliau tulis, dengan yang dikunjungi. Dan tak
lama kemudian, Beliau membimbing kami untuk menulis sebuah pengalaman.
Namun sekarang, jarang sekali aku temukan sosok guru yang demikian. Guru
sekarang cenderung mengandalkan teknologi. Guru sekarang cenderung
boros energi. Gedung mewah, perangkat video-audio, dan AC selalu lekat
dengannya. Slide powerpoint dan tayangan film selalu di jejalkan pada
kami semua. Entah dari mana sumbernya. Kami merasa, dari ujung barat
sampai ujung timur, media yang digunakan tak lagi bersumber darinya.
Semua sama, sama-sama tidak memiliki apa yang disuguhkannya. Kami dan
guru kami, seakan belajar materi langit, namun sepi akan peraduan cinta.
Sungguh aku rindu akan guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui
ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu membaca buku.
Buku yang dibaca, selalu di bawa di dalam kelas. Buku-buku yang dibaca
di rumahnya itu, selalu dibaca-ulang di dalam kelas kami. Berawal dari
situlah, kami termotivasi untuk membaca buku.
Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui
ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu menulis. Hasil
tulisan itu, selalu di bawa di dalam kelas. Tulisan tangan yang agak
jelek itu, selalu dipamerkan kami. Sejak itulah, kami termotivasi untuk
menulis.
Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui
ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu mengajakku
berkunjung ke lapangan. Membaca situasi, mengamati, bertanya tentang
berbagai hal yang berhubungan dengan apa yang Beliau tulis dan apa yang
Beliau bacakan di dalam kelas itu. Aku dan kawan-kawanku diajarkan
tentang mencari kebenaran, menguji kebenaran, mengumpulkan kebenaran,
dan mengabarkan kebenaran.
Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/es_lodheng/aku-rindu-guruku-yang-apa-adanya_58f416ec127f61f7079eb207
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/es_lodheng/aku-rindu-guruku-yang-apa-adanya_58f416ec127f61f7079eb207
Entah sudah berapa
lama. Suasana saat itu, di kelas. Guruku mengajar dengan tampil apa
adanya. Saat itu, Beliau selalu membacakan selembar tulis karyanya. Aku
dan para muridnya mendengarkan dengan khikmad. Lembar tulis tangan itu
benar-benar mengantarkan kami semua memahami sebuah materi yang
diajarkan. Satu dua hingga tiga pertemuan di kelas itu, selalu
dilanjutkan dengan berkunjung di lapangan. Guruku selalu menunjukkan
keterhubungan antara yang Beliau tulis, dengan yang dikunjungi. Dan tak
lama kemudian, Beliau membimbing kami untuk menulis sebuah pengalaman.
Namun sekarang, jarang sekali aku temukan sosok guru yang demikian. Guru
sekarang cenderung mengandalkan teknologi. Guru sekarang cenderung
boros energi. Gedung mewah, perangkat video-audio, dan AC selalu lekat
dengannya. Slide powerpoint dan tayangan film selalu di jejalkan pada
kami semua. Entah dari mana sumbernya. Kami merasa, dari ujung barat
sampai ujung timur, media yang digunakan tak lagi bersumber darinya.
Semua sama, sama-sama tidak memiliki apa yang disuguhkannya. Kami dan
guru kami, seakan belajar materi langit, namun sepi akan peraduan cinta.
Sungguh aku rindu akan guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui
ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu membaca buku.
Buku yang dibaca, selalu di bawa di dalam kelas. Buku-buku yang dibaca
di rumahnya itu, selalu dibaca-ulang di dalam kelas kami. Berawal dari
situlah, kami termotivasi untuk membaca buku.
Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui
ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu menulis. Hasil
tulisan itu, selalu di bawa di dalam kelas. Tulisan tangan yang agak
jelek itu, selalu dipamerkan kami. Sejak itulah, kami termotivasi untuk
menulis.
Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya. Guruku yang mengakui
ketidakmampuannya. Dengan pengakuan itu, guruku selalu mengajakku
berkunjung ke lapangan. Membaca situasi, mengamati, bertanya tentang
berbagai hal yang berhubungan dengan apa yang Beliau tulis dan apa yang
Beliau bacakan di dalam kelas itu. Aku dan kawan-kawanku diajarkan
tentang mencari kebenaran, menguji kebenaran, mengumpulkan kebenaran,
dan mengabarkan kebenaran.
Sungguh aku rindu guruku yang apa adanya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/es_lodheng/aku-rindu-guruku-yang-apa-adanya_58f416ec127f61f7079eb207
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/es_lodheng/aku-rindu-guruku-yang-apa-adanya_58f416ec127f61f7079eb207