Satu Indonesia: Masyarakat Majemuk

Satu Indonesia: Masyarakat Majemuk


Oleh: Prof. Dr. Parsudi Suparlan
Masyarakat majemuk adalah sebuah masyarakat negara yang terdiri atas masyarakat-masyarakat suku bangsa yang dipersatukan dan diatur oleh sistem nasional dari masyarakat negara tersebut. Dalam masyarakat majemuk, seperti masyarakat Indonesia, penekanan keanekaragaman bukan terletak pada kebudayaan tetapi pada suku bangsa dan kebudayaan suku bangsa. Setiap suku bangsa mempunyai wilayah tempat hidupnya yang diakui sebagai hak ulayatnya yang merupakan tempat sumber-sumber daya dimana warga suku bangsa tersebut memanfaatkan untuk kelangsungan hidup mereka.
Permasalahan yang terutama dihadapi oleh masyarakat majemuk adalah hubungan antar pemerintah nasional dan masyarakat-masyarakat suku bangsa yang diperintahnya dan diantara warga suku-suku bangsa yang berbeda. Permasalahannya terletak pada siapa atau pihak mana yang paling berhak atas sumber-sumber daya yang ada didalam wilayah-wilayah atau hak ulayat suku bangsa, yang sebenarnya tercakup dalam wilayah kedaulatan dan kekuasaan system nasional. Bila pemerintah nasional kuat dibandingkan dengan kekuatan politik yang dipunyai masyarakat-masyarakat suku bangsa, seperti pemerintahan Soeharto yang otoriter Militeristik, maka sistem nasional dengan tampa adanya sesuatu ristensi akan menghendaki semua wilayah Indonesia sebagai wilayah hak milik dan hak guna dari pemerintah nasional tampa mengindahkan adanya  hak ulayat yang berlaku. Berbagai kebijakan yang telah dilakukan dalam pemerintahan Presiden Soeharto yang mengungkapkan hal ini antara lain, HPH, Kontra eksploitasi tambang mineral dengan investor asing, dsb.
Masalah lain yang tidak terlihat pada permukaan kehidupan sosial, tetapi yang mendasar dan mendalam didalam kehidupan warga suku-suku bangsa di Inonesia adalah jati dir suku bangsa atau kesukubangsaan. Kalau kita mendifinisikan suku bangsa sebagai sebagai sebuah kategori atau golongan sosial yang askritif, suku bangsa adalah sebuah pengorganisasian  sosial yang askritif  yakni warga suku bangsa mengaku dan diakui sebagai warga sesuatu suku bangsa karena dilahirkan oleh orang tua dari suku bangsa tertentu  atau dilahirkan dan berasal dari daerah tertentu. Berbeda dengan berbagai jati diri yang dipunyai oleh seseorang yang diperoleh, sebagai setatus-setatus dalam berbagai struktur  sosial  dalam masyarakatnya, yang sewaktu-waktu dapat dibuang atau tidak berfungsi dalam interaksi, jatidiri suku bangsa atau kesuku bangsaan tidak dapat dibuang untuk diganti dengan sesuatu jati diri lain yang diperolehnya. Jati diri suku bangsa atau asal yang askritif ini tetap melekat  dalam dirinya sejak kelahirannya. Kesukubangsaan dapat disimpan  atau tidak digunakan dalam interaksi tetapi tidak dapat dibuang atau dihilangkan.
Dalam setiap interaksi, jatidiri akan tampak adanya atribut-atribut yang digunakan olehpelaku dalam mengekspresikan jatidirnya. Dalam hubungan antar suku  bangsa atribut dari jatidiri suku  bangsa adalah kebudayaan suku bangsanya. Seseorang yang dilahirkan dalam keluarga sesuatu suku bangsa, akan sejak kecil  mau atau tidak mau terpaksa harus hidup dengan berpedoman  pada kebudayaan suku bangsanya yang diajarkan oleh orang tuanya untuk menjadi manusia  menurut konsepsi kebudayaan suku bangsanya tersebut. Sehingga setelah dia dewasa akan menggunakan kebudayaan suku bangsanya sebagai pedoman  bagi kehidupan yang dinyakini  kebenarannya. Ia juga akan mengekspresikannya dalam interaksi dengan warga suku  bangsa lainnya sebagai atribut bagi jatidirinya, untuk menunjukan apa dan siapa dirinya dalam interaksi tersebut.
Kalau kesuku bangsaan terbentuk  melalui proses pewarisan yang askritif, maka kepemilikan sesuatu kebudayaan oleh seseorang  adalah melalui proses belajar mengenai kebudayaan tersebut. Setiap orang dapat mempelajari kebudayaan apapun yang diinginkannya untuk dijhadikan pedoman bagi kehidupannya dalam menghadapi dan memanfaatkan lingkungan beserta isinya. Selain itu juga bisa dijadikan  atribut bagi diri budayanya sesuai dengan  dan didalam interaksi-interasi dimana dia terlibat di dalamnya.
Tetapi, dalam proses pembelajaran kebudayaan suku bangsa yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak, si anak tidak mempunyai pilihan lain, kecuali harus hidup menurut kebudayaan suku bangsa yang di punyai orang tuanya. Kebudayaan ini diajarkan kepadanya untuk diyakini kebenarannya dan di jadikan pedoman bagi kehidupannya agar dia menjadi manusia menurut konsepsi kebudayaan suku bnagsanya. Sehingga, kebudayaan suku bangsa juga bersifat askritif dalam hal nahwa kebudayaan suku bangsa tersebut didapat seseorang melalui suatu proses pembelajaran yang “dipaksa” termasuk pembelajaran agama sebagai keyakinan keagamaan oleh anak yang dilakukan oleh orang tua dan masyarakatnya. Keyakinan keagamaan menjadi nilai-nilai budaya yang menjadi inti dari kebudayaan suku bangsa si anak yang primodial, atau yang pertama dipelajari dan diyakini serta yang utama dalam kehidupan.
Dalam masyarakat majemuk yang penekanannya adalah pada perbedaan-perbedaan suku bangsa dan kesuku bangsaan, warga yang dilahirkan, dididik dan dibesarkan dalam sauna yang askriptif  dan primodial. Warga masyarakat tersebut juga mengembangkan  dan memantapkan chauvinisme dan etnosentrisme, dan memahami serta memperlakukan serat kelompok suku bangsa lain secara stereotype dan penuh dengan prasangka. Sehingga, masyarakat majemuk adalah sebuah masyarakat yang rawan konflik, terutama konflik antar suku bangsa yang saling menghancurkan. Dalam masyarakat majemuk termasuk Indonesia, sistem nasional  yag seharusnya dibangun berdasarkan pada nassionalisme atau ideology kebangasaan yang rasional dan terbebas dari kesuku bangsaan yang primodial justru bercorak primodial  karena para pejabatnya mewakili berbagai suku bangsa yang askritif hakikinya. Karena itu ideology suku bangsa sering kali terwujud  dalam berbagai kebijakan social, politi, dan ekonomi  yang dibuatnya, baik secara sadar ataupun berdasarkan intuisinya yang primodial untuk memperoleh dukungan social  dan politik baik secara langsung maupun tidak langsung dari golongan suku bangsanya.
Karena dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, yang sistem nasionalnya juga askritif dan karena itu diskriminatif, maka seseorang itu tidak mungkin dapat menjadi dapat menjadi seorang Indonesia tampa menjadi warga sesuatu suku bangsa yang digolongkan sebagai “Pribumi”.  Permasalahan ini menjadi suatu permasalahan yang serius dan bertentangan  dengan model multikulturalisme, pada waktu kitta berbicara mengenai masalah Cina. Apapun yang dilakukan orang Cina, seperti berasimilasi menjadi orang Indonesia atau beragama Islam, tetap saja mereka itu digolongkan sebagai orang Cina dan yang pendatang dan yang karena itu “Wajib” untuk didiskriminasi.
Tulisan ini pernah dimuat Media Indonesia, Senin 10 Desember 2001, Indonesia Baru Dalam Perspektif Multikulturalisme
Sumber: http://fkai.org/satu-indonesia-masyarakat-majemuk/
Photo: Koleksi Pusat Kajian (Puska) Antropologi UI

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama