Abangan dan Masjid Mewah

Abangan dan Masjid Mewah



Masjid bukan sekedar bentangan batu bata yang simetris dengan ditata rapi. Masjid juga bukan sekedar tanda kubah yang mirip dengan balon tertua yang terbuat dari usus hewan yang siap dikenakan setiap saat dengan direndam air susu hangat. Beberapa tahun terakhir ini, bangunan masjid mengalami metamorfose besar-besaran dalam hal arsitektur dan aksesorisnya yang terkadang tidak senafas dengan kondisi sosial budaya. Selagi ada produksi strata sosial dan sesuatu yang dianggap adiluhung (high art atau art of the culture elite), tembok dan genteng masjid tidak akan dibiarkan lusuh dan berjatuhan begitu saja, walaupun kian hari aktivitas ketaatan dalam menjalankan sholat lima waktu di masjid kian sepi. Pada kesempatan ini akan dihantarkan beberapa data riset sederhana yang beraroma tentang pandangan di atas.

Terdapat masjid di satu desa yang dibangun di atas 100 m di atas permukaan laut, tepatnya di kampung kawasan pesisir yang masyarakatnya sebagian besar bermata pencaharian sebagai tenaga kerja di luar negeri seperti di Malaysia, Thailand, Arab Saudi dan beberapa negara sebagai tempat tujuan mengadu nasib. Kehidupan di kampung itu terlihat sepi. Segerombol ibu-ibu yang sedang ngrumpi di teras rumah mewah dan telah menjadi janda rantau serta para lansia lebih mendominasi, dari pada para bapak-bapak dan anak muda dan anak gadisnya. Di tengah perkampungan ini berdiri megah bangunan masjid dengan ragam aksesoris kaligrafi yang mencolok dan ornamen-ornamen kearab-araban, serta sekilas mirip dengan fisik bangunan masjid alam makkah. Pada saat saya tiba di sana, terdengar suara muazhin. Sempat saya tidak percaya dan tersipuh malu, suara muazdin itu terdengar tidak jelas dalam melafalkan huruf alif bak tak dan seterusnnya. Fonetik dan keberbahasaan masyarakat yang dikenakan terdengar syarat dengan cengkok tembang macapat yang meliuk-liuk seakan mengundang setiap orang untuk bergegas ke tempat tidurnya.

Tak  lama kemudian datanglah jamaah sholat dzuhur yang didominasi lansia. Ibu-ibu lansia datang ke masjid dengan mengenakan jarit dan selembar kemben untuk menutupi bagian kulit dada yang semakin mengkirut. Jamaah sholat siang hari itu tidak lebih dari sepuluh orang, itupun didominasi dari ibu-ibu, bahkan lebih ramai warung kopi diseberang jalan yang kebanyakan dari mereka masih duduk di kelas SMP dan SMA. Maklum pemilik warung kopi itu seorang janda perantauan yang parasnya masih cantik dan terkesan genit.

Tidak lama kemudian imam masjid datang lebih akhir dan langsung memposisikan di ruangan favoritnya, ruang imam masjid, untuk segera memimpin sholat di siang yang terik itu. Terbayang, imam  masjid megah ini adalah sosok yang taat dan alim, namun kenyataannya sang imam tidak jauh beda dengan muazdin-nya. Dalam melafalkan suatu ayat dalam surat pendek yang dipilihnya, terdengar keluar dari langgam. Walaupun demikian, kampung janda perntauan ini selalu dielu-elukan bagi segenap masyarakat desa sekitar. Bagi mereka yang ingin merenovasi, membangun ulang, dan mendirikan baru bangunan masjid, selalu berkiblat dan berkunjung di masjid tersebut. Dengan mewahnya bangunan masjid itu pula, tokoh-tokoh masyarakat di kampung itu tidak lepas dari label ketaatan dalam menjalan rukun ketaatan dan kesalehan. Predikat seperti orang sholeh juga bertengger pada diri mereka, walaupun pengetahuan tentang agama dan perjalanan hidup akan kesalehannya masih dipertanyakan.

Masjid mewah pada masyarakat abangan itu telah tampil sebagai industri kesalehan bagi masyarakat sekitar masjid. Konon katanya, arsitektur masjid di kampung ini adalah arsitek masjid ternama yang kebetulan akrab dengan salah satu anggota kampung karena kenal dan ketemu di bangku bis pada saat pulang dari negeri rantau. Semenjak pertemuan itu, laki-laki perantauan itu menggalang dana pada teman senasibnya yang kebetulan berlimpah materi, untuk merobohkan masjid yang sudah reot dan membangun ulang menjadi masjid yang megah dan mewah untuk ukuran bangunan masjid sekitar.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama