Para pengunjung sedang menikmati sungai dasun (doc. exsan, 2016) |
Perahu-perahu nelayan desa Dasun dengan tenang bersandar di tambatan. Ternyata di tambatan perahu yang memanjang di sayab kiri dan kanan sungai inilah, menjadi kunci ketenangan hidup nelayan Dasun. Mereka tidak lagi risau dengan gelombang besar di laut. Sungai dasun telah menjelma menjadi pengendali kerisauan gelombang besar. Dengan gagah berani, sungai dasun juga telah menyapu riak-riak gelombang laut yang terkadang tidak beraturan. Di sungai dasun inilah, kami belajar tentang hidup tenang dan penuh dengan kepastian.
Barisan perahu yang berjajar dengan tenang nan dalam itu, sesekali ujung badannya dielus lembut oleh angin yang menerobos sepoi di sela-sela dahan bakau. Terkesan deretan perahu saling bercengkerama, sembari diperdengarkan alunan pentas tradisi di altar desa Dasun sore itu. Deretan perahu yang ada ditambatan sungai sore itu, juga seakan sedang mementaskan pagelaran bahari. Pagelaran bahari di tambatan sungai dasun itu terasa semakin harmoni, dengan iringan desir gelombang air yang berliuk tenang, suara burung nan indah, dan juga kibar warna-warni bendera perahu yang sedang merayakan keberagaman. Sebenarnya, di sungai dasun inilah, telah terjadi pagelaran ekspresi kebaharian yang beragam, dinamis, dan tentu penuh dengan karakter kemandirian.
Bergegas sore itu kami lanjutkan menyusuri jalan setapak menuju ke pintu gerbang desa dasun, yaitu muara sungai dasun. Sesekali kami merasakan detak kaki yang rumit karena jalan setapak menuju pantai dasun tampak masih awal. Jalan setapak itu berkelok, jalan itu sesekali harus dipaksa menyesuaikan bidang tambak ikan. Alur jalan terkadang terlalu ke kanan, terkadang juga terlalu ke kiri. Tampak roda-roda bergerigi layaknya stempel tanpa tuan, juga membekas disepanjang jalan setapak ini.
Sesampai di paruh jalan, tapak jalan itu semakin mengecil. Bahkan jalan tapak itu diputus oleh bekas alur air. Disinilah kami merasakan bahwa jalan darat itu penuh dengan ketidakpastian. Jalan darat harus patuh dengan para penguasa dan yang ingin berkuasa. Jalanan di daratan juga terkesan tidak ramah. Mereka yang melintas di jalan darat, juga saling berlomba pemegang kendali. Jalan dan pengguna jalan, masing-masing memiliki alur hukum sendiri. Hingga kemudian sampailah kami di bibir pantai desa dasun. Kami sore itu adalah mas Noto, mas Agus, mas Udin, mas Adi, saya sendiri, enca, dan mas Exsan.