Kali ini saya ingin berbagi informasi tentang satu situs pertanian yang ada di dusun Sambikalung, desa Pamotan, kabupaten Rembang. Untuk yang sudah tahu, mohon untuk berbagi informasinya ya. Dan yang belum tahu, sempatkan segera berkunjung di situs ini. Tulisan ini juga bagian dari sekelumit hasil dari pengamatan saya sejak awal tahun 2009 hingga sekarang (2015).
Tidak jauh dari bangunan Kawedanan Pamotan, situs Sambikalung berada. Menurut Mathoya, Direktur Paguyuban Pelestari Pusaka, Bhree Lasem, keberadaan Situs Sambikalung ini berhubungan erat dengan Pamotan sebagai bagian dari kerajaan Bhree Lasem tempo dulu. Pamotan yang berlimpah hasil tani dan beras, dipilihkan kerajaan Bhree Lasem menjadi lumbung pangan.
Situs Sambikalung Pamotan, bukti prasasti dan simbol kedaulatan pangan (Doc. Suhadi, 2015) |
“Kemandirian dan kedaulatan pangan kerajaan Bhree Lasem yang bagian dari Kerajaan Majapahit saat itu, tidak akan terwujud jika tidak ada Pamotan”, tegasnya. “Majapahit memalui Bhree Lasem, menugaskan pemahat untuk membuat prasasti Sambilakung”, paparnya. “Namun belum sempat diresmikan, prasasti tersebut tertinggal begitu saja, seiring terjadinya konflik internal Majapahit dan runtuhnya kerajaan Bhree Lasem”, pungkas Mathoya (30/12).
Keberadaan Situs Sambikalung tepat di tengah-tengah pemukiman warga. Persis dengan pola pemukiman masyarakat Jawa, dengan bentangan rumah yang menghadap utara dan selatan, yang ditengahnya terdapat jalan penghubung menuju pusat pemerintahan, pusat ibadah, pasar, dan persawahan.
Beda dengan penjelasan Agus Sunyoto, ketika mengisi Pengajian Sejarah di Sluke baru-baru ini (07/12). Menurut Agus Sunyoto, bahwa posisi Pamotan dengan Lasem adalah sama. Sunyoto menjelaskan, dalam sumber tulis yang ditemukan, Majapahit menunjuk tiga perwakilan untuk mengatur kuasa. Tiga kuasa tersebut adalah Bhree Lasem, Bhree Pamotan, dan Bhree Panohan. Jika demikian, tentu Pamotan akan membuka lembaran sejarah baru. Pamotan tidak hanya menjadi suplai ketahanan pangan kerajaan Lasem. Namun jauh dari itu, memiliki kuasa di atas kekuasaan pangannya. Hanya saja perlu kajian mendalam tentang kesetaraan Lasem dan Pamotan.
Terlepas dari Pamotan adalah sebuah Kerajaan di atas kendali Majapahit, termasuk Panohan, Pamotan memiliki unsur-unsur penting sebagai pintu masuk mengenali posisi Pamotan dalam perpolitikan masa lalu, yaitu Situs Sambikalung. Dengan keberadaan situs sambikalung ini, tidak berlebihan kemudian kita bicara tentang wacana “Pamotan, Desa Pusaka Pertanian”.
Bagi masyarakat Pamotan, air tak lagi soal. Ketersediaan air tanah mumpuni, mungkin juga berlimpah air bawah tanah yang tersimpan ruah didalamnya. Sesekali banjir tak jadi soal, karena banjir adalah masalah bagaimana mengelola air yang tidak ramah saja. Kembali tentang kedaulatan air, jelas Pamotan adalah gurunya. Lihat saja berapa air yang disalurkan ke Lasem dan Rembang melalui PAM. Hitung saja berapa truk pengangung air yang bolak-balik ambil air dari sini. Jelas, Pamotan adalah juara dalam hal keberlimpahan air. Misal saja, masyarakat Pamotan menstop air itu, dijamin masyarakat Lasem dan Rembang kelabakan memasok air untuk pencukupan kebutuhan sehari-hari.
Kondisi air yang melimpah ini harus di jaga lho ya. Jangan sampai tindakan-tindakan kecil dapat memutarbalikkan air. Hari ini memang berlimpah, tapi bagaimana dengan lima puluh tahun yang akan datang. Apalagi ada kabar bahwa gunung gunem akan dieksplorasi. Dan juga semakin banyaknya galian C dan pemecah batu yang ada di sekitar Pamotan, harus diawasi dengan ketat pula. Karena itu semua, jelas sedikit banyak akan mempengaruhi debet air yang ada di Pamotan. Satu hal yang ingin saya sampaikan, Pamotan saat ini memiliki nilai tawar yang strategis dalam memiliki, menggunakan, dan mendistribusikan air. Masyarakat Pamotan harus bangga lho dengan ini.
Karena memiliki ketersediaan air yang cukup, wajar jika Pamotan memiliki hamparan sawah luas dan strategis. Satu daerah yang selalu ada kegiatan menanam padi, dan kita juga bisa menikmati pemandangan padi yang sedang menguning, hanya Pamotan-lah satu-satunya di Rembang ini. Mungkin ada tempat lainnya, Sale misalnya. Namun perlu di ingat, irigasi sale saat ini semakin tipis dan kalah jauh dengan sawah tetangganya, yiatu Tuban.
Tentu tak hanya padi. Urusan hasil tani apa yang dapat dipanen, jika ada airnya, beres semuanya. Didukung dengan sistem irigasi yang cukup (yang akhir-akhir ini tampak tidak terurus karena faktor pembangunan jalan yang tidak tanggung jawab), kita dapat melihat para petani yang cakap menanam sayuran, dan buah-buahan juga tak kenal musim panennya. Tanpa merendahkan posisi dna fungsi para penyuluh pertanian, tak ada penyuluhpun, pertanian Pamotan sudah jalan. Yang penting distribusi pupuk, obat-obatan, dan alat tepat guna lainnya, adil dan transparan.
Masyarakat Pamotan juga terbilang cukup kreatif. Hasil palawijo mereka sulab menjadi jajanan khas Pamotan, satu contoh misalnya emping jagung. Oleh-oleh khas Pamotan ini cukup banyak home industrinya. Setiap toko yang ada di Pamotan, mudah untuk kita beli jajanan yang satu ini. Ada lagi, oleh-oleh khas Pamotan, yaitu mete. Sungguh lengkap olahan khas hasil tani Pamotan.
Melihat apa saja yang menjadi hasil tani Pamotan, Pasar Tradisional Pamotan adalah tempatnya. Mulai pukul tiga pagi, hasil tani Pamotan siap dijajakan para tengkulak dan didistribusikan di semua pasar di Rembang. Mulai pasar Sarang, Kragan, Pandangan, hingga pasar Rembang, kerap kali kulakan di pasar Pamotan. Para petani cukup dimanjakan dengan keberadaan pasar baru pindahan dari pasar dekat Kawedanan Pamotan ini. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah tata ruang dan tata kelola harus ketat. Tampak baru-baru ini, pasar ini berjubel karena aturan kendaraaan dan tempat parkir yang tidak memadai. Dan juga pada musim hujan tiba, ada beberapa genangan yang cukup mengganggu proses transaksi di sana. Namun ini hanya soal kecil saja. Urusan ini cukup mudah jika pihak struktural pasar mendapatkan dana yang cukup untuk perawatan dan pembangunan fasilitas pasar tradisional Pamotan. Karena bagaimanapun, pasar ini telah mensuplai pendapatan daerah Rembang dan juga yang terpenting adalah sebagai hulu dari kewirausahaan hilir yang ada di Rembang.
Tidak kalah dengan pasar tradisional, Pamotan juga memiliki sejarah panjang terhadap keberadaan pasar sapi. Pasar sapi Pamotan dikenal oleh banyak pemulia ternak, mulai dari tuban, pati, jepara, purwodadi, hingga jakarta. Terlebih mereka yang pekerjaannya berhubungan dengan daging. Dari beberapa informasi, sapi Pamotan banyak dipilih para pemulia ternak karena bakalan sapi yang cukup mudah dan cepat digemuk dan di-kembangbiak-kan. Sapi Pamotan juga menjadi idola para pedagang bakso di Rembang. Hal ini dikarenakan pakan sapi Pamotan adalah rumput, bukan bahan pakan pabrikan yang tampak segar namun dilidah hambar. Ternak kecil, kambing, juga banyak ditemui di Pasar Sapi Pamotan. Saking banyaknya ternak yang transaksikan, setiap hari Selasa, jalanan pasar dijamin macet total. Lagi-lagi ini bukan masalah, namun ini berkah, hanya bagaimana pihak pasar hewan, polisi lalu lintas, dan para polang (sebutan untuk pembeli ternak) dalam berperan di hari Selasa itu.
Apalagi dengan rutinitas perayaan sosial pentas hasil tani masyarakat Pamotan dengan arak-arakan gunungan hasil tani yang menjulang, semakin wow melihat pamotan sebagai basis pengetahuan dan gudangnya para pemulia tani. Tepat pada bulan Agustus paruh akhir, arak-arakan gunungan hasil tani diselenggarakan. Praktis mengalahkan gunungan di Solo dan kraton Ngayogyakarto dalam hal jumlahnya. Namun tidak penting masalah menang jumlah gunungannya, karena itu semua dapat diatur dengan dana. Tetapi yang menjadi menarik adalah bagaimana alam seni masyarakat pamotan bisa mengekspresikan dengan gunungan hasil tani tiap-tiap RT dan kelompok sosial, jika tidak ada sambung dan temunya dengan alam budaya masa lalunya. Dalam pikiran saya, saat-saat inilah masyarakat Pamotan menunjukkan alam pikir, alam rasa, dan alam masa lalunya.
Satu hal yang cukup penting dikabarkan juga, yaitu tentang keberadaan Komunitas Tari Orek-Orek Sambikalung Pamotan. Sekedar mengingatkan kembali pada diri penulis (dan juga pembaca) bahwa keberadaan tari orek-orek ini tampaknya disalahgunakan. Jelas tari orek-orek itu milik pemulia sawah, dengan orek-orek tanah artinya sedang mengolah tanah, menanam, dan memuliakan tanaman. Namun yang terjadi adalah tari orek-orek untuk menyambut tamu. Ini jelas tari orek-orek telah diredefinisikan (ditafsirkan) oleh penguasa yang memandang rendah para petani. Apa yang dilakukan Komunitas Tari Orek-Orek Sambilakung Pamotan, semoga menjadi tindakan mulia dan benar-benar memuliakan petani. Tidak hanya memuliakan para penguasa yang tidak jelas orek-orek apa dan untuk siapa. Informasi yang penulis dapat, komunitas tari orek-orek sambilakung pamotan saat ini sedang masif. Menurut pegiat tari orek-orek sambilakung, dan juga pegiat teater asa semarang ini menegaskan bahwa regenerasi pemulia tari orek-orek akan dimasifkan. “Tari orek-orek adalah formasi turbo yang siap menghadang monster-monster kapitalis yang bengis. Ciat... ciat... ciat... “ dalam beranda BBM Warih beberapa detik yang lalu (15/12).
Dan ada satu hal belum terbahas. Satu hal yang menjadi primadona masyarakat diluar tentang Pamotan, yaitu gamping pamotan. Satu hal ini memang tidak menarik untuk di bahas, karena efek dari eksplorasi gamping yang kebablasan. Dahulu, gamping pamotan itu diperuntukkan bahan cat kayu, bahan nginang, dan campuran untuk mengolah olahan jagung. Namun seiring berkembangan penelitian, kegunaan gamping telah disedot oleh perusahaan kosmetik, obat-obatan, perkakas rumah tangga, dan bahan pernak-pernik lainnya, akibatnya stok gamping ini semakin berantakan. Saat ini bahan gamping di pamotan tak lagi banyak. Malahan banyak bahan dasar yang didatangkan dari Sale (sebelah timur selatan jauh dari Pamotan). Dampak dari galian C ini pula banyak yang memutus aliran air Pamotan. Untuk yang satu ini, tentu perlu ada perhatian. Terlepas dampak negatif yang cukup kental, namun masih banyak penduduk yang menggantungkan rejekinya dalam proses pembakaran batu gamping ini. Yang perlu diperhatikan misalnya tentang besaran produksi batu gamping, beserta mendirikan home industri tepat guna agar batu gamping tak dijual murah ke luar, namun mahal saat menjadi barang jadi kemudian.
Dari rangkaian kalimat panjang lebar di atas, penulis hanya ingin mengatakan (jika di-ijin-kan) secara historis, ekologis, kuliner, sistem mata pencaharian, dan seni budaya, Pamotan cukup menarik untuk dicanangkan menjadi desa pusaka pertanian.
Bagaimana tidak, untuk mencanangkan Pamotan jadi Desa Pusaka Pertanian. Beragam unsur dan turunannnya lengkap dalam mendukung wacana tersebut. Mulai dari situs pertanian sambikalung, tari orek-orek, ketersediaan air, hamparan sawah yang strategis, sistem irigasi yang cukup, berlimpah hasi tani, kekhasan mete dan emping jagung, keberadaan pasar tradisional dan pasar sapi, arak-arakan gunungan hasil tani, dan posisi strategis, kiranya menjadi pertimbangan awal dalam membuka diskusi Desa Pusaka Pertanian itu adalah Pamotan.
Koreksi selalu penulis nantikan untuk menuai mimpi, Pamotan menjadi Desa Pusaka Pertanian.