Pada tanggal 24 Juli 2013, Komunitas Rumah Baca Pamotan mengadakan diskusi bulanan dengan tema "Etika Berbusana Di Hari Raya. Diskusi bulanan ini dihardiri 30 lebih peserta komunitas rumah baca pamotan. Diskusi ini dipandu oleh Dea Ageng Kretia (siswa SMA Negeri 1 Pamotan) dengan nara sumber Abdul Khamim (pendiri Komunitas Gentong Miring, Sluke).
Dikusi diawali dengan pemutaran film dokumenter yang berjudul "Etika Sosial dan Baju Baru". Film ini disuguhkan sebagai pengantar diskusi. Isi dari film ini yaitu berisikan tentang pandangan para pelajar tentang busana di hari raya. Film dokumenter tersebut dapat dilihat pada link berikut ini.
Dea Ageng Kretia dalam mengawali diskusi ini, menyampaikan gagasan awal kenapa dikusi dengan tema busana di hari raya ini di gelar. Menurut Dea, panggilan akrap gadis cantik dari SMA Pamotan ini, pada akhir-akhir ini banyak anak-anak muda menggunakan busana yang melampaui batas etika, moral, dan bahkan norma agama, tidak dihiraukan.
Menurut Dea, batasan penggunaan busana saat ini cenderung dikendalikan oleh batasan tren, mode, yang cenderung mengeksplotasi tubuh dari pemakai busana itu sendiri. Dan patut di duga, lanjut Dea, dalam kasus-kasus kecil, busana malah menjadi pintu awal masuknya aspek sensualitas yang berlebihan, erotisme, dan konsumerisme.
Dalam kasus-kasus kecil pula, menurut Dea, busana tidak lagi menjadi memancarkan fungsi keamaan, keselamatan, kesantunan, dan kehormatan dari pemakainya. Menarik kemudian, ungkap Dea, untuk kita diskusikan bersama dengan nara sumber, Abdul Khamim, Budayawan Rembang, tentang bagaimana berbusana. Untuk itu, lanjut Dea, saya persilahkan mas Khamim dalam memulai diskusi kali ini.
(film diskusi dalam proses editing)
Abdul Khamim dalam memulai diskusi ini, menyapa dengan hangat kepada para peserta diskusi. Sebelum menyampaikan gagasanya, Pegiat Komunitas Gentong Miring Sluke ini memberi apresiasi kepada Komunita Rumah Baca Pamotan, yang telah menggelar diskusi ini. Khamim mengaku sangat terhormat ketika mendapatkan kesempatan sebagai nara sumber dalam diskusi kali ini.
Menurut mas Khamim, menggunakan busana apa saja di hari itu sifatnya syah-syah saja, yang penting busana itu tidak melukai dari tradisi dan kepercayaan setempat. Khamim menegaskan, berbusana di hari raya merupakan representasi (wujud) dari kegembiraan mereka yang telah melangsungkan ibadah puasa selama satu bulan. Ungkap Khamim, Rosulullah (Muhammad SAW) pun memperbolehkan ummatnya merayakan setelah ibadah puasa. Luapan kegembiraan itu, Khamim mencontohkan, dapat diwujudkan dengan perilaku memakai baju baru di hari raya.
Namun Khamim sangat prihatin dengan busana yang dipakai anak muda saat ini. Menurut Khamim, tren busana saat ini telah dijajah oleh budaya konsumerisme yang tidak memiliki tautan (hubungan) dengan tradisi kita. Lihat saja tren busana korea, ungkap Khamim, yang sangat marak digandrungi (disenangi) oleh anak muda. Tren busana tersebut tentu saja tidak hanya melanggar batasan aurat lak-laki dan perempuan, tegas khamim, tren busana tersebut juga telah membangun kontruksi (pikiran) anak muda asat ini untuk meninggalkan kekayaan tradisi busana masyarakat lokal. Masyarakt lokal yang dimaksud Khamim adalah masyarakat Jawa yang Islam, atau dalam istilah Khamim, Islam Jawa.
Khamim mencontohkan tren busana dengan istilah busana tutik. Busana tutik yang dimaksud adalah busana yang jika dipakai, anunya metu sitik. Tutik itu metu sitik, tegas Khamim. Khamim juga mencontohkan tren busana SMS. Istilah busana SMS ini dipinjamnya dari temannya, yaitu Habib Mutohar. Dengan memohon maaf kepada peserta diskusi, Khamim menjelaskan kepanjangan sms, sms yang dimaksud adalah silite metu sitik.
Pegiat Komunitas Genting Miring Sluke ini menyarankan kepada peserta diskusi, dalam mengenakan busana harusnya tidak keluar dari khazanah lokal dan pondasi religi (keyakinan). Khamim menegaskan, busana yang dipilih harusnya ketika busana itu dipakai, pemakainya merasa nyaman. Seperti busana yang dia kenakan, dengan menunjukkan busana yang dia pakai saat mengisi diskusi kali ini. Saya kemana-mana selalu menggunakan celana kolor warna hitam dan atasan kaos oblong, tegaspengakuan dari pelukis Rembang ini. Aspek kenyamanan dalam berpakaian inilah yang menurut saya, tegas Khamim, perlu didahulukan. Bukan pengenaan busana yang jauh dari akar budaya masyarakat kita, tegas mas Khamim.
Dalam sesi tanya jawab, Dea mempersilahkan para peserta mengajukan pertanyaan seputar masalah busana yang sedang dihadapi anak muda. Pertanyaan pertama diajukan Alia Yuli Aatutik. Alia mengajukan pertanyaan yaitu bagaimana pandangan mas Khamim tentang seorang muslim menggenakan baju ketat hingga kelihatan body tubuhnya. Pertanyaan kedua disampaikan Mega Sabela, yaitu bagaimana cara mengatasi penggunaan pakaian yang terbuka tetapi itu sebagai tuntutan pekerjaan, misalnya pekerjaan sebagai model.
Berikut ini merupakan jawaban mas Khamim tentang dua pertanyaan di atas.
Untuk pertanyaan pertama, seorang muslim yang baik adalah muslim selalu memegang teguh norma religi yang diyakininya. Jika mengenakan pakaian yang membuat body tubuh pemakai busana itu tereksploitasi, jelas itu bukan pilihan, tegas Khamim. Menurut Khamim, jangan gunakan busana yang jika dipakai, malah mengakibatkan mudharat (akibat buruk). Semua perbuatan yang mengakibatkan efek yang buruk, tidak diperbolehkan agama. Gunakankah busana yang mengakibatkan pemakain busana itu mendapatkan suatu akibat yang maslakhat (kebaikan). Jadi, tegas Khamim, gunakan busana yang tidak mengeksplotasi tubuh dari pemakain busana itu sendiri.
Untuk pertanyaan kedua, ada dua solusi, ungkap Khamim. Solusi pertama, silahkan bekerja saja, namun setelah mendapatkan penghasilan, pilihlah model fashion yang menurut anda nyaman. Sebagai model, anda harus memiliki karakter busana yang relevan dengan akar tradisi masyarakat serta memiliki pondasi keyakinan yang kuat. Pilihan kedua, silahkan tinggalkan pekerjaan sebagai model fashion yang membawakan model pakaian terbuka. Untuk apa memiliki pekerjaan, tetapi kehidupan anda tidak nyaman, tidak nyaman di dunia, dan tidak nyaman di akhirat, tegasnya.
Demikian liputan diskusi dengan tema "etika busana di hari raya". Semoga liputan diskusi bulanan dari Komunitas Rumah Baca Pamotan ini menjadi inspirasi para peserta diskusi sekaligus para pembaca dalam mengenakan busana yang memanusiakan manusia, terimakasih.
Komunitas Rumah Baca Pamotan mengucapkan penghargaan komuntias kepada mas Abdul Khamim pendiri Komuntias Gentong Miring Sluke) , bapak Suroto (Guru SMA N 1 Pamotan), Moh. Tohir (pemilik warung penyet pamotan), mas Mahsun (aktivis pecinta alam) serta peserta diskusi dan masyarakat Palan Wetan, yang telah mendukung terselenggaranya diskusi bulanan kali ini.
Gbr. Tampak dari kiri, Dea Ageng Kretia memandu diskusi, dan Abdul Khamim selaku nara sumber dalam diskusi bulanan di Komunitas Rumah Baca Pamotan
Dikusi diawali dengan pemutaran film dokumenter yang berjudul "Etika Sosial dan Baju Baru". Film ini disuguhkan sebagai pengantar diskusi. Isi dari film ini yaitu berisikan tentang pandangan para pelajar tentang busana di hari raya. Film dokumenter tersebut dapat dilihat pada link berikut ini.
Dea Ageng Kretia dalam mengawali diskusi ini, menyampaikan gagasan awal kenapa dikusi dengan tema busana di hari raya ini di gelar. Menurut Dea, panggilan akrap gadis cantik dari SMA Pamotan ini, pada akhir-akhir ini banyak anak-anak muda menggunakan busana yang melampaui batas etika, moral, dan bahkan norma agama, tidak dihiraukan.
Menurut Dea, batasan penggunaan busana saat ini cenderung dikendalikan oleh batasan tren, mode, yang cenderung mengeksplotasi tubuh dari pemakai busana itu sendiri. Dan patut di duga, lanjut Dea, dalam kasus-kasus kecil, busana malah menjadi pintu awal masuknya aspek sensualitas yang berlebihan, erotisme, dan konsumerisme.
Dalam kasus-kasus kecil pula, menurut Dea, busana tidak lagi menjadi memancarkan fungsi keamaan, keselamatan, kesantunan, dan kehormatan dari pemakainya. Menarik kemudian, ungkap Dea, untuk kita diskusikan bersama dengan nara sumber, Abdul Khamim, Budayawan Rembang, tentang bagaimana berbusana. Untuk itu, lanjut Dea, saya persilahkan mas Khamim dalam memulai diskusi kali ini.
(film diskusi dalam proses editing)
Abdul Khamim dalam memulai diskusi ini, menyapa dengan hangat kepada para peserta diskusi. Sebelum menyampaikan gagasanya, Pegiat Komunitas Gentong Miring Sluke ini memberi apresiasi kepada Komunita Rumah Baca Pamotan, yang telah menggelar diskusi ini. Khamim mengaku sangat terhormat ketika mendapatkan kesempatan sebagai nara sumber dalam diskusi kali ini.
Menurut mas Khamim, menggunakan busana apa saja di hari itu sifatnya syah-syah saja, yang penting busana itu tidak melukai dari tradisi dan kepercayaan setempat. Khamim menegaskan, berbusana di hari raya merupakan representasi (wujud) dari kegembiraan mereka yang telah melangsungkan ibadah puasa selama satu bulan. Ungkap Khamim, Rosulullah (Muhammad SAW) pun memperbolehkan ummatnya merayakan setelah ibadah puasa. Luapan kegembiraan itu, Khamim mencontohkan, dapat diwujudkan dengan perilaku memakai baju baru di hari raya.
Gbr. Abdul Khamim dengan semangat menjelaskan cara pandang berbusana di hari raya kepada peserta diskusi bulanan di komunitas rumah baca pamotan
Namun Khamim sangat prihatin dengan busana yang dipakai anak muda saat ini. Menurut Khamim, tren busana saat ini telah dijajah oleh budaya konsumerisme yang tidak memiliki tautan (hubungan) dengan tradisi kita. Lihat saja tren busana korea, ungkap Khamim, yang sangat marak digandrungi (disenangi) oleh anak muda. Tren busana tersebut tentu saja tidak hanya melanggar batasan aurat lak-laki dan perempuan, tegas khamim, tren busana tersebut juga telah membangun kontruksi (pikiran) anak muda asat ini untuk meninggalkan kekayaan tradisi busana masyarakat lokal. Masyarakt lokal yang dimaksud Khamim adalah masyarakat Jawa yang Islam, atau dalam istilah Khamim, Islam Jawa.
Khamim mencontohkan tren busana dengan istilah busana tutik. Busana tutik yang dimaksud adalah busana yang jika dipakai, anunya metu sitik. Tutik itu metu sitik, tegas Khamim. Khamim juga mencontohkan tren busana SMS. Istilah busana SMS ini dipinjamnya dari temannya, yaitu Habib Mutohar. Dengan memohon maaf kepada peserta diskusi, Khamim menjelaskan kepanjangan sms, sms yang dimaksud adalah silite metu sitik.
Gbr. Dea Ageng Kretia sedang meminta Abdul Khamim untuk mempertajam konsep busana terhadap kemandirian khazanal lokal
Pegiat Komunitas Genting Miring Sluke ini menyarankan kepada peserta diskusi, dalam mengenakan busana harusnya tidak keluar dari khazanah lokal dan pondasi religi (keyakinan). Khamim menegaskan, busana yang dipilih harusnya ketika busana itu dipakai, pemakainya merasa nyaman. Seperti busana yang dia kenakan, dengan menunjukkan busana yang dia pakai saat mengisi diskusi kali ini. Saya kemana-mana selalu menggunakan celana kolor warna hitam dan atasan kaos oblong, tegaspengakuan dari pelukis Rembang ini. Aspek kenyamanan dalam berpakaian inilah yang menurut saya, tegas Khamim, perlu didahulukan. Bukan pengenaan busana yang jauh dari akar budaya masyarakat kita, tegas mas Khamim.
Dalam sesi tanya jawab, Dea mempersilahkan para peserta mengajukan pertanyaan seputar masalah busana yang sedang dihadapi anak muda. Pertanyaan pertama diajukan Alia Yuli Aatutik. Alia mengajukan pertanyaan yaitu bagaimana pandangan mas Khamim tentang seorang muslim menggenakan baju ketat hingga kelihatan body tubuhnya. Pertanyaan kedua disampaikan Mega Sabela, yaitu bagaimana cara mengatasi penggunaan pakaian yang terbuka tetapi itu sebagai tuntutan pekerjaan, misalnya pekerjaan sebagai model.
Berikut ini merupakan jawaban mas Khamim tentang dua pertanyaan di atas.
Untuk pertanyaan pertama, seorang muslim yang baik adalah muslim selalu memegang teguh norma religi yang diyakininya. Jika mengenakan pakaian yang membuat body tubuh pemakai busana itu tereksploitasi, jelas itu bukan pilihan, tegas Khamim. Menurut Khamim, jangan gunakan busana yang jika dipakai, malah mengakibatkan mudharat (akibat buruk). Semua perbuatan yang mengakibatkan efek yang buruk, tidak diperbolehkan agama. Gunakankah busana yang mengakibatkan pemakain busana itu mendapatkan suatu akibat yang maslakhat (kebaikan). Jadi, tegas Khamim, gunakan busana yang tidak mengeksplotasi tubuh dari pemakain busana itu sendiri.
Untuk pertanyaan kedua, ada dua solusi, ungkap Khamim. Solusi pertama, silahkan bekerja saja, namun setelah mendapatkan penghasilan, pilihlah model fashion yang menurut anda nyaman. Sebagai model, anda harus memiliki karakter busana yang relevan dengan akar tradisi masyarakat serta memiliki pondasi keyakinan yang kuat. Pilihan kedua, silahkan tinggalkan pekerjaan sebagai model fashion yang membawakan model pakaian terbuka. Untuk apa memiliki pekerjaan, tetapi kehidupan anda tidak nyaman, tidak nyaman di dunia, dan tidak nyaman di akhirat, tegasnya.
Demikian liputan diskusi dengan tema "etika busana di hari raya". Semoga liputan diskusi bulanan dari Komunitas Rumah Baca Pamotan ini menjadi inspirasi para peserta diskusi sekaligus para pembaca dalam mengenakan busana yang memanusiakan manusia, terimakasih.
Komunitas Rumah Baca Pamotan mengucapkan penghargaan komuntias kepada mas Abdul Khamim pendiri Komuntias Gentong Miring Sluke) , bapak Suroto (Guru SMA N 1 Pamotan), Moh. Tohir (pemilik warung penyet pamotan), mas Mahsun (aktivis pecinta alam) serta peserta diskusi dan masyarakat Palan Wetan, yang telah mendukung terselenggaranya diskusi bulanan kali ini.