Sumber: http://www.kompasiana.com/es_lodheng/599bb5207312155cb62f0722/madin-mantab-jiwa
Hal menarik untuk dicermati bersama, perihal isu pendidikan dalam tiga bulan terakhir adalah kebijakan Full Day School (FDS). Permendikbud No. 23 tahun 2017 adalah dasar untuk menjadikan penyulut dari semua polemik bersama ini. Bahkan tidak tanggung-tanggung, polemik ini telah menyeret dua raksasa struktur sosial di Indonesia, NU dan MD. Pengaitan NU dan MD ini sesuai dengan tren berita dewasa ini yang cenderung menghubungkan dua ormas di atas (lihat link).
Mengapa hal ini terjadi?
Hingga saat ini posisi Menteri Pendidikan di Indonesia masih menjadi barang mewah. Ibarat buah, kursi panas ini sedang ranum-ranumnya. Mereka yang hobby politik, jabatan Menteri Pendidikan adalah penyokong suara terbesar saat Pilpres. Bayangkan saja, jika semua lini lembaga pendidikan dapat dikendalikan cara pandang politiknya, maka muaranya akan tertuju pada satu kepentingan, tapi itu kalau mulus rencananya.
Selain itu, mereka yang hobby melirik investasi, juga cukup interest dengan kursi panas struktur kementrian ini. Bayangkan saja, ketika semua sekolah diberbagai jenjang melakukan renovasi gedung, ketika semua sekolah belanja barang, dan ketika semua sekolah belanja tenaga kerja. Jelas, ini adalah sasaran empuk.
Dari dua pandangan di atas, maka cukup masuk akal jika ide Full Day School di masak dan di goreng dengan lembut hingga menjadi sebuah kebijakan. Karena dengan mulusnya kebijakan di atas, akan memanen dua keuntungan, yaitu keuntungan kekuasaan dan keuntungan kesejahteraan.
Selain dua hal di atas, ada juga faktor pemicunya, yaitu faktor tren dan gaya hidup. Faktor tren dapat dilihat banyaknya instansi yang dihari sabtu dan minggu, libur. Mereka yang libur di hari tersebut, biasanya digunakan untuk berlibur ke sana dan kemari. Tren inilah yang mau tidak mau, suka tidak suka, banyak memberi pengaruh terhadap kebijakan struktur yang ada, termasuk sekolah. Bayangkan saja, dengan libur di hari sabtu dan minggu, para guru dan keluarganya, para siswa dan keluarganya, dapat berlibur ke sana ke mari. Minimal kalau tidak berlibur, mereka dapat mensantai ria di rumah masing-masing. Bagian ini juga menarik untuk dicermati, khususnya bagi kalangan politisi. Dengan libur di hari sabtu dan minggu, para politisi dapat berkumpul bersama, mulai dari rapat partai hingga merapatkan barisan untuk memenangkan pemilu. Konsolidasi dan suksesi semakin marak, terlebih mendekati ajang pilpres. Beda dengan pedagang asongan yang biasa jualan di depan sekolah, dijamin gigit jari karena pangsa pasarnya hilang sehari.
Namun ada faktor lagi yang menarik untuk dicermati, yaitu faktor pemuas diri guru. Dapat dibilang, walau belum ada survey tentang ini, semua guru yang kurang jam mengajar, akan gembira menyambut kebijakan ini. Terlebih sekolah-sekolah yang guru sertifikasinya masih lari ke sana dan ke mari untuk menggenapi jam wajib mengajar sertifikasi. Cukup di satu sekolah, tidak susah wirawiri, tidak kehilangan uang bensin, cukup stanbay di satu sekolah, sertifikasi dijamin cair ngacir.
Jika faktor-faktor di atas memang benar dalam memicu lahirnya kebijakan Full Day School dan pemberlakuannya, maka yang perlu diluruskan adalah menanyakan kembali pesan dari faktor-faktor tersebut. Dengan menanyakan kembali faktor-faktor di atas, kualitas sang menteri akan diuji dan teruji. Mari kita uji.
Pertama, faktor politik yang jelas bermuara pada kekuasaan. Kedua faktor investasi yang bermuara pada kesejahteraan. Ketiga faktor tren dan gaya hidup yang bermuara pada kefoya-foyaan. Keempat faktor pemuas yang bermuara pada keberlimpahan. Jika kita setuju dengan hal tersebut, maka ada empat karakter yang dibangun dalam diri menteri pendidikan, yaitu ingin berkuasa, ingin sejahtera, ingin foya-foya, dan ingin berlimpah harta. Entah benar atau tidak, yang jelas empat karakter di atas akan diteruji dengan bagaimana nasib kebijakan Full Day School di esok hari.
Mengapa polemik ini terkesan ada pembiaran?
Hal menarik yang perlu diperhatikan adalah adanya dua raksasa organisasi sosial yang terlibat kecamuk kebijakan Full Day School, yaitu NU dan MD. Bagi yang hobby memainkan struktur politik, dua organisasi ini cukup istimiwir. Bagaimana tidak? Pedagang pulsa saja tahu kalau dua organisasi ini memiliki pengikut yang cukup banyak. Ujung-ujungnya, dalam hal struktur politik, dua organisasi inilah nantinya yang memilih siapa calon presiden terpilih. Bagi Penguasa saat ini, sebut saja pemerintah, fenomena kebijakan Full Day School adalah barang dagangan yang ciamik. Dengan fenomena kebijakan Full Day School, menjadi alat bantu dalam memetakan kekuatan organisasi tersebut. Seberapa kuatkah argumentasi mereka bangun? Seberapa kuatkah konsolidasi mereka tempuh? Hingga seberapa militankan pengorbanan jiwa raga dan harta mereka dalam memperjuangkan kepentingan organisasi mereka. Dengan menggantungkan kebijakan Full Day School ini, pemerintah yang berkuasa saat ini, telah mendapatkan peta terkini tentang ke mana arah pilihan mereka diberikan saat pemilu. Sebut saja ini politik test water, hehehe...
Selain ada nikmat dalam sebuah pertengkaran, dalam kubu dua organsasi sosial di atas juga ada udang di balik batu. Alih-alih iklan gratis, semua tokoh yang ingin moncer di kontes pemilu esok hari, muncul dari kubangan misteri. Dan tokoh yang belum yahut di media sosial, dapat dengan mudah mem-branding dirinya sendiri untuk muncul dipermukaan semu ini. Inilah isu menarik di cermati. Semua saling memanfaatkan situasi dan kondisi. Bahkan tidak hanya NU dan MD, semua underbow partai politik dari lini pelajar, petani, mahasiswa, buruh, perempuan, kaum intelektual, hingga kaum marginal, dapat diikat dalam satu situasi yang seakan penuh dengan nuansa perjuangan dan kemuliaan yang abadi.
Benarkah MD menjual Sekolah, NU menjual Madin?
Yang perlu dihawatirkan dalam polemik kebijakan Full Day School adalah kebijakan yang transaksional. Yang dimaksud kebijakan yang transaksional adalah mereka yang mengusung Full Day School ingin menguasai sekolah. Dan mereka yang menolak Full Day School ingin menguasi madin. Dalam hal managerial, itu sah-sah saja. Namun dalam etika berbangsa dan bernegara, selaku bangsa yang unik karena multikulturalnya, jelas memiliki niat untuk menguasai lembaga pendidikan yang mencerahkan ini tidaklah elok, apalagi hinggi menjual.
Siapapun dan kapanpun menteri pendidikannya, harus memiliki karakter melayani, berani miskin, berkoban, dan suka berbagi. Seorang menteri pendidikan Indonesia, harus tahu bangsanya. Status menteri pendidikan adalah terkunci pada peran dalam memuliakan para siswa untuk berfikir santun dan beretika sopan. Santun untuk semua gagasan yang dihasilkan. Dan sopan untuk semua tindakan yang contohkan. Peran menteri pendidikan sudah dikunci oleh Ki Hajar Dewantara. Jika menteri pendidikan saat ini memiliki terobosan yang melebihi kemuliaan Ki Hajar Dewantara, monggo...!
Sekolah formal apapun, harus dimaknai dengan rasa. Semua Sekolah dan Madin dan apapun yang ada di Indonesia, harus bermuara pada pengabdian kepada masyarakat, bukan mengadu domba masyarakat. Bangsa ini harus segera bangun dan lari. Bukan sebaliknya, menggunakan lembaga pencerdasan ini dalam ruang transaksi. Tidak elok lah di lihat anak cucu nanti.
Siapa yang lebih Kuat?
Namun beda alur jika para penguasa negeri ini tidak santun dalam bergagas dan berlaku. Jika fenomena kebijakan Full Day School ini dibiarkan, maka tetap saja konflik struktur ini akan berimbas pada konflik horizontal. Pertanyaannya adalah siapa yang lebih kuat? Ada empat hal yang perlu diketahui ketika terjadi adu kuat antara MD dan NU.
Pertama, siapa pemilik tradisi Full Day School. Mereka yang hobby menarik-narik fenomena sosial dalam situasi masa lalu, pasti akan tahu bahwa setelah madin adalah ekspresi tradisi pendidikan hindu buddha. Sedangkan sekolah adalah ekspresi tradisi pendidikan eropa. Mencoba melesat jauh dari situasi masa lalu, tradisi belajar dengan durasi banyak waktu, hingga menginap dalam suatu ruang, adalah tradisi pendidikan hindhu buddha. Namun dalam keistimewaannya, tradisi belajar berbanyak waktu dan tinggal dalam waktu yang lama ini harus dilanjutkan oleh para fisuluf Islam, dalam ceritanya, karena ketika pewaris kerajaan Majapahit disibukkan dengan berebut tahta. Saat itu, ketika Majapahit melakukan pembiaran dan pengosongan layanan pendidikan, situasi ini kemudian dimanfaatkan oleh para filufuf Islam / guru multidisplin untuk mengambil alih. Dan dalam cerita yang berkembang, tradisi belajar siang malam menyatu dengan masyarakat ini tidak diubah oleh para guru. Hingga kemudian muncullah konsep pondok pesantren yang hari ini pewarisnya adalah NU.
Terlepas ada apa dibalik ini semua, cerita di atas adalah strategi kebudayaan akan bagaimana kita mengelola sebuah layanan pendidikan. Memang layanan pendidikan tidak lepas dari dinamika struktur. Namun yang perlu diketahui, siapapun pewaris tradisi belajar, harus memiliki sopan santun dalam bergagas dan bertindak.
Dari cerita di atas, konsep dukuh, konsep biara, konsep surau, konsep langgar, konsep padepokan, adalah konsep pembelajaran yang sebenarnya telah melampaui batas konsep Full Day School. Namun anehnya, mengapa MD ingin melaksanakan Full Day School? Ada apa dibalik ini semua?
Terlepas juga dari ada apa di balik ini semua, lantas siapa yang lebih kuat? Secara tradisi, jelas jawabnya ada di NU, bukan MD. Namun MD juga punya andil dan hingga berpeluang. Kali ini, NU dan MD adalah 1 -- 0.
Kedua, siapa yang paling banyak pengikutnya? Siapa yang banyak pengikutnya? Mengacu hasil hobby memandang pada bagian atas, bahwa Full Day School adalah trend an gaya hidup saat ini. Pengikutnya adalah para siswa dan termasuk para guru sekolah formal, bukan madin. Indikator ini dapat diuji dengan menanyakan kepada semua siswa dan guru di sekolah formal, pasti jawabnya memlikih libur sabtu dan minggu. Namun pengikut yang banyak ini masih dalam kategori semu. Mengapa demikian? Karena para siswa dan guru di sekolah formal hanya suka libur sabtu dan minggu, namun tidak suka ketika jam belajarnya di tambah.
Lantas bagaimana dengan pengikut madin? Pengikut madin memang militan. Seolah-olah, relasi yang terbangun antara struktur suci, yaitu antara guru ngaji dan santri. Guru ngaji adalah santri dari Kyai. Dan tokoh-tokoh sosial yang ada di Indonesia, apalagi tokoh politik, biasanya juga dikendalikan oleh Kyai. Pengikut madin semakin hari juga tampak terancam. Hal ini dapat dilihat semakin sedikitnya santri di madin. Memang ada beberapa kasus, dimana ada situasi madin berlimpah santrinya, namun hanya beberapa saja.
Walaupun hanya beberapa saja, keberadaan madin tidak dapat lepas dari pondok pesantren. Mereka yang hobby mengamati pondok pesantren, pasti akan tahu apa rahasianya. Dari hasil hobby mengamati, madin yang besar pengikutnya adalah madin yang dinaungi oleh pondok pesantren dengan tokoh sang Kyai. Bahkan madin yang ada telah dikembangkan dengan model madrasah formal. Hal ini menarik untuk dijadikan pembelajaran bersama. Ketika bangsa ini membutuhkan nilai-nilai agama yang kuat, setidaknya belajar dari para pengasuh pondok pesantren yang telah menyediakan layanan pendidikan madin dan madrasah yang sudah ada.
Berdasar pemetaan di atas, siapa yang paling banyak pengikutnya? Jawabnya adalah MD, bukan NU. Namun yang perlu diketahui, walaupun MD menang jumlah pengikut, tetapi pengikutnya semu. Dan yang lebih rawan lagi, legalitas benyaknya pengikut ini juga masih semu. Bayangkan jika menteri pendidikan bukan dari MD? Hahaha....
Ketiga, siapa yang paling banyak sumber dananya? Semua sudah tahulah, siapa pemegang dana sekolah dan madin. Sekolah didanani oleh pemerintah dan masyarakat. Sedangkan madin didanai oleh swadaya masyarakat. Secara pendanaan, MD menang karena minta pemerintah dan masyarakat atas dasar legalitas undang-undang. Sedangkan NU seret akan dana, itupun masih ditambah dengan tidak adanya legalitas yang kuat dari mana sumber dana harus digali.
Selain adanya perbedaan yang sangat jomplang, MD memiliki kepiawaian dalam mengelola dana. Lihat saja koperasi semacam BMT atau apalah namanya. Lihat saja model perbankan syariah atau apalah namanya. Semua yang menggawangi adalah tokoh-tokoh dari MD. Sungguh piawai dalam hal jaringan pendanaan. Ketika kepiawaian ini ditambah dengan akses anggara dari struktur, maka jelas mantab jiwa. Kali ini MD menang telak dari NU. Namun ada sumber dana semi struktur yang kemungkinan akan diaktifkan oleh NU. Bagian ini akan terbahas pada ulasan akhir.
Keempat, siapa yang bernasip baik? Untuk mengurai hal ini tidak mudah. Karena tidak banyak orang yang memiliki hobby menjadi pengamat nasib. Untuk itu kita serahkan kepada para santri, filusuf, para normal, guru ngaji, hingga sang Kyai saja. Hehehe... intinya, silahkan nilainya di skor sendiri. Hahaha...
Dua menteri pendidikan (semu) dalam kabinet Jakowi
MD dan NU terbukti sukses berjalan sendiri-sendiri. Tidak hanya dalam hal struktur, dalam hal yang paling fundamental, yaitu dalam hal tradisi, sudah sukses teruji, yaitu beda hari hari. Dan MD memiliki militansi yang cukup mumpuni dalam menjaga alur darah bedanya, hingga berseberangan penentuan hari raya dengan struktur negera, juga siap. MD di dalam struktur dan di luar struktur, tampaknya sudah siap.
Sedangkan NU berbeda. NU cenderung dekat dengan struktur kuasa negara. Alasan tokoh NU cenderung ingin menyatu dengan negara. Negara adalah final. NU sangat dekat dengan TNI. NU sangat dekat dengan POLRI. NU juga sangat dekat dengan para politisi non-MD.
Dari gambaran di atas, dimungkinkan, ketika tidak ada titik temu, dimana MD ada dibalik pemberlakuan Full Day School yang meyakini mampu ini dan itu. Pun juga dengan NU yang ada di balik Madin yang terkesan hawatir akan mati suri dari kebijakan Full Day School. Maka kemungkinan yang terjadi adalah adanya terbangunnya dua struktur komando dalam mengelola lembaga pendidikan di tingkat sekolah dan madin.
Jika demikian, maka akar masalah dari semua ini bukanlah sekolah dan madin, namun posisi menteri pendidikan yang diperebutkan oleh MD dan NU. Hahaha....
Ok, kalau demikian, bagaimana nasib kebijakan Full Day School? Sebeleum membahas nasib kebijakan Full Day School, kita bahas dulu nasib menteri pendidikan? Hahaha... maksudnya adalah nasib menteri pendidikan setelah suksesi pilpres esok hari.
Berdasarkan rasa dan firasat, Pak Jakowi akan menjadi presiden lagi. Untuk menjaga rasa dan firasat itu, kemungkinan pak Jakowi tidak akan mengganti menteri pendidikan saat ini. Jadi MD aman dalam struktur. Dan untuk meraup suara yang besar, penguasa akan memainkan isu-isu yang sensitif dan kontroversial seperti Full Day School kali ini. Dengan memainkan isu tersebut, muaranya jelas, yaitu meraup suara di pilpres nanti. Dari pada mendamaikan dua raksasa yang telah teruji mampu hidup sendiri-sendiri, lebih baik penguasa sekarang memanfaatkan situasi ini dengan menaikkan pajak dan membangun infrastruktur. Pilihan akan hak itu sangatlah jelas, realistis, dan penuh harap.
Dan penguasa dimungkinkan akan memainkan semangat perbedaan dua organisasi raksasa ini dengan meningkatkan sumber daya pengajar yang ada. MD dengan lembaga keuangannya yang cukup maju, serta NU dengan tabungan haji yang cukup berlimpah, akan mudah dimainkan dengan isu beasiswa para pengajar dan para anak didiknya. Inilah strategi jitu pemerintah Jakowi, yaitu halus, lembut, namun mengena. Nyaris tidak ada noda. Memang tidak ada noda, karena sebenarnya pak Jakowi telah memainkan langgam kebudayaan yang dikemas dengan kabinet mapan.
Namun yang perlu diperhatikan pak Jakowi adalah luapan ekspresi yang tidak terbendung dari organisasi besar ini, NU dan MD. Khususnya ekspresi dalam muatan kurikulum kebencian di lembaga pendidikan masing-masing ormas raksasa ini. Pak Jakowi harus pasang badan, harus menyiapkan banyak ahli. Jangan salah pilih dalam memilah ahli. Pilih dan pilahlah ahli yang sensitif, yang penuh dengan rasa, ahli yang penuh dengan firasat, yang peka dengan firasat, berkarakter melayani, berani miskin, rela berkoban, dan suka berbagi. Hahaha ...
Madin, mantab jiwa
Kembali pada judul. Karena judulnya "Madin, Mantab Jiwa" maka dalam akhir ulasan ini, perlu adanya kesadaran sepakat bersama bahwa anak didik kita perlu madin. Madin, madrasah diniyah, yaitu lembaga pendidikan berbasis sosial yang menjadi pewaris tradisi lembaga pendidikan nusantara ini, adalah sebuah investasi bangsa. Tak hanya anak didik kita, bangsa dan negara ini sangat membutuhkan madin, bukan madin yang membutuhkan kita. Untuk itu, mari semuanya, menjaga makna madin kita, bahwa madin adalah mantab jiwa.
Salam membaca, menulis, dan cinta lingkungan.
Link liputan berita terkait;
Liputan Ihsanuddin. Judul berita: Muhammadiyah Harap Jokowi Tak Batalkan Program Sekolah 8 Jam. Dalam http://nasional.kompas.com/read/2017/06/19/21451341/muhammadiyah.harap.jokowi.tak.batalkan.program.sekolah.8.jam. Diakses pada tanggal 22 Agustus 2017, pukul 11.25 WIB.
Liputan Ihsanuddin. Judul berita: Mendikbud Sebut Presiden Setuju Program Penguatan Pendidikan Karakter Saat Ratas. Dalam http://nasional.kompas.com/read/2017/06/19/15361271/mendikbud.sebut.presiden.setuju.program.penguatan.pendidikan.karakter.saat.ratas. Diakses pada tanggal 22 Agustus 2017, pukul 11.24 WIB.
Liputan Ihsanuddin. Judul berita: Jokowi Tata Ulang Program Sekolah 8 Jam Sehari. Dalam http://nasional.kompas.com/read/2017/06/19/14420391/jokowi.tata.ulang.program.sekolah.8.jam.sehari. Diakses pada tanggal 22 Agustus 2017, pukul 11.23 WIB.
Liputan Moh. Anas. Judul: Santri dan Guru Madin Pasang 1.000 Spanduk Tolak "Full Day School". Dalam http://regional.kompas.com/read/2017/08/21/05165211/santri-dan-guru-madin-pasang-1.000-spanduk-tolak-full-day-school-. Diakses pada tanggal 22 Agustus 2017, pukul 11.28 WIB.
Liputan Ahmad Faisol. Judul berita: Tolak "Full Day School", NU Siapkan Aksi Lebih Besar dari Aksi 212. Dalam http://regional.kompas.com/read/2017/08/09/20210051/tolak-full-day-school-nu-siapkan-aksi-lebih-besar-dari-aksi-212. Diakses pada tanggal 22 Agustus 2017, pukul 11.28 WIB.
Liputan Nazar Nurdin. Judul berita: Warga Nahdliyin Unjuk Rasa Tolak "Full Day School". Dalam http://regional.kompas.com/read/2017/07/21/17023721/warga-nahdliyin-unjuk-rasa-tolak-full-day-school-. Diakses pada tanggal 22 Agustus 2017, pukul 11.30 WIB.