Selamatkan Anak dari Korupsi (Sumber: Ilustrasi) |
Oleh: Suhadi Rembang
Dalam suatu tatanan sosial yang ideal, memang tidak ada yang membenarkan bahwa korupsi dan seks bebas, itu benar. Korupsi dan seks bebas adalah perilaku salah. Namun kenyataannya, korupsi dan seks bebas malah diproduksi oleh suatu lingkungan sosial.
Artikel ini merupakan buah pengamatan tentang fenomena sosial korupsi dan sek bebas pada keluarga anak yang ada di bangku SMA. Saya memandang, dalam kasus-kasus tertentu, perilaku korupsi dan seks bebas telah dalam keadaan tindakan populer. Semoga artikel singkat ini mendorong kepekaan sosial akan berbagai permasalahan sosial yang ada. Terlebih dewasa ini, terjadi kemerosotan kepekaan sosial diantara kita.
Sebagai lembaga sosial yang bergerak di bidang pendidikan yang berperan mencerdaskan siswa, Sekolah Menengah Atas (SMA) juga berperan sebagai media interaksi sosial siswa untuk mencukupi berbagai kebutuhan selain kecerdasan.
Di lembaga SMA inilah, ada suatu legalitas pembenar bahwa para siswa saling berinteraksi satu sama yang lain, adalah suatu keniscahyaan. Hubungan siswa satu sama yang lain inilah, kemudian menjadi pintu awal untuk saling mencukupi kebutuhan satu sama yang lain.
Memang pada awalnya, interaksi mereka memiliki dasar ideal. Mereka saling bertemu untuk saling meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan. Namun dalam perkembangannya, pola interaksi sosial yang memiliki pijakan dasar ideal ini, menyimpang. Hal ini dapat dilihat fenomena pacaran siswa SMA. Beberapa kasus dilapangan, fenomena pacaran anak SMA telah malampaui batas kewajaran. Dalam temuan di lapangan, hubungan seks acapkali mejadi perilaku yang diharapkan dalam pacaran mereka.
Proses interaksi sosial yang awalnya dilandasi dengan pijakan norma yang ideal, ternyata telah melampaui kaidah-kaidah sosial yang ada. Interaksi sosial antara mereka yang harusnya memacu peningkatan pengetahuan dan ketrampilan, telah digunakan untuk mencukupi kebutuhan kasih sayang yang melanggar norma sosial. Untuk itu, perlu dikembalikan pada konsep awal, bahwa intekasi sosial mereka harus memacu pada pengetahuan dan keterampilan kecerdasan.
Memang beberapa faktor bermunculan silih berganti dalam mendorong fungsi interaksi sosial siswa ke arah penyimpangan.
Media televisi bisa menjadi kitab suci para siswa dalam melakukan pacaran. Berbagai adegan pacaran didapat dari media televisi. Tiap-tiap keluarga yang telah memiliki televisi, seakan memberikan lampu hijau, bahwa pacaran merupakan hal yang wajar yang dilakukan oleh anak seusia SMA.
Selain media televisi, media yang tidak kalah hebatnya adalah handphone, khususnya handphone yang telah dilengkapi jaringan internet dan media pemutaran file film. Dengan alat teknologi dan informasi inilah, para siswa SMA mampu mengunduh dan memutar berbagai file film yang mengajari mereka untuk berpacaran secara menyimpang.
Namun media di atas hanyalah alat, bukan cara. Sehingga menjadi penting untuk didiskusikan adalah pelaku dari pacaran menyimpang itu sendiri. Terlebih media tersebut sangat dekat dengan sumber belajar dan teknik pembelajaran di sekolah dewasa ini.
Dalam sisi lain, proses interaksi sosial terbuka, dan didorong dengan televisi serta handphone inilah, sedikit banyak telah mengantarkan para anak-anak SMA berpacaran dengan menyimpang. Proses pengenalan tentang perilaku pacaran, terkesan cenderung tergesa-gesa. Sehingga anak-anak yang harusnya masih menikmati dua anak, harus menyelami perilaku sosial yang tidak harus dilakukan. Berangkat dari pintu inilah, kebutuhan akan kasih sayang cenderung mendominasi perilaku pacaran menyimpang.
Kebutuhan afeksi (kasih dan sayang) anak-anak, pada umumnya telah dipenuhi oleh keluarga. Namun pada saat ini, lembaga keluarga terkesan mengesampingkan perannya dalam mencukupi dalam memproduksi nilai-nilai kasih dan sayang. Lembaga keluarga pada saat ini telah disibukkan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi para anggota keluarganya.
Orang tua dan penanggung jawab keluarga merasa bersalah, jika tidak mampu mencukupi kebutuhan ekonomi anggota keluarganya. Namun tidak merasa bersalah, jika tidak mampu mencukupi kebutuhan afeksi para anggota keluarganya. Mereka juga sepakat, materi lebih penting daripada kasih sayang hingga mengontrol perilaku dan prestasi akademik para anak-anaknya.
Perilaku orang tua dalam mencukupi kebutuhan ekonomi, tentu tidak serta merta terjadi begitu saja. Perilaku orang tua demikian karena adanya perubahan sistem ekonomi. Jika dahulu, sistem ekonomi cenderung berfungsi pada kesejahtaraan sosial. Namun sekarang berbeda, sistem ekonomi cenderung dimaknai sebagai kesejahteraan individual. Perubahan pandangan ini berangkat pada perubahan semangat sosial kekeluargaan ke arah semangat materialis individual.
Fungsi keluarga semakian hari semakin banyak. Selain fungsi ekonomi, juga fungsi afeksi, dan pengendalian sosial. Namun kenyataannya, tiga fungsi utama keluarga yang diharapkan oleh anak, tidak optimal. Kenyataan di lapangan, jika fungsi ekonomi berhasil, maka ada fungsi yang lain terabaikan.
Ironisnya, seorang anak belum dapat menerima kenyaatan itu. Anak usia SMA cenderung berharap bahwa orangtuanya mampu mencukupi kebutuhan afeksi dan ekonomi. Sehingga yang terjadi adalah adanya kekosongan ruang afeksi anak, dan rendahnya kontrol orang tua kepada anak, karena orang tua cenderung menghabiskan waktunya untuk ekonomi. Jika potret suatu keluarga dalam masyarakat demikian, maka yang terjadi adalah rendahnya kasih sayang dan kontrol sosial dalam suatu lingkungan sosial.
Keadaan ini masih ditambah dengan adanya perubahan orientasi perubahan sistem ekonomi dari pertanian menuju industri jasa. Jika sistem ekonomi pertanian suatu keluarga masih kental dengan ruang afeksi dan kontrol soaial, sebaliknya, dalam sistem ekonomi berbasis jasa, ruang afeksi dan kontrol sosial menjadi barang dagangan yang harus di jual belikan dengan sangat mahal.
Dengan demikian, orang tua menghadapi masalah ekonomi yang penuh dengan tantangan. Begitu juga anak-anaknya, mencari afeksi yang ditinggalkan peranannya oleh orang tua, dan disisi lain, terjadi rendahnya ruang kontrol yang terkesan bebas tanpa aturan.
Perilaku menyimpang pada ruang orang dewasa (orang tua) dan anak (siswa SMA) tidak dapat terhindarkan. Kedua-duanya saling mendapatkan sesuatu yang berlimpah. Materi melimpah dan kasih sayang melimpah. Saat itulah terjadi suatu kondisi penyimpangan sosial yang diharapkan. Sehingga realitas korupsi dan seks bebas menjadi tontonan dalam keseharian sosial.
Dalam tatanan sosial yang ideal, memang tidak ada yang membenarkan bahwa korupsi dan seks bebas, itu benar. Korupsi dan seks bebas adalah perilaku salah. Namun kenyataannya, korupsi dan seks bebas malah diproduksi oleh suatu lingkungan sosial. Sungguh suatu realitas sosial yang pelik dan rumit.
Apa, siapa, dan bagaimana dalam mengatasi korupsi dan seks bebas pada anak-anak SMA, sudah saatnya untuk kita bicarakan dalam keluarga dan pertemuan-pertemuan lingkup lokal.
Pamotan, 17 Desember 2011